Dalam kehidupan para bintang Film banyak kisah yang mengungkapkan bahwa perjalanan karir mereka tapaki dengan tidak mudah. Ada yang untuk mendapatkan kesempatan berkiprah di dunia Film mereka harus berkorban terlebih dahulu baik tenaga, pikiran, harta bahkan berkorban harga diri. Ada yang sudah berhasil namun akhirnya tenggelam lagi karena pelbagai faktor. Dalam kisah yang lain ada juga kisah dimana mereka yang secara kebetulan dari seorang figuran, karena satu dan lain hal akhirnya mereka mendapatkan kesempatan tak terduga menjadi Bintang utama dan akhirnya menjadi aktor yang terkenal, yang disanjung dan dipuji. Dalam Alkitabpun ada Figur yang justru sering kali dianggap hanya figuran dalam Kekristenan.
Ya, dia adalah Maria,
seorang yang mengatakan kepada Malaikat “Sesungguhnya aku ini adalah hamba
Tuhan; Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Kata-kata yang keluar dalam ketidaksiapannya, ia menerima dengan siap dan
berserah penuh pada kehendak Tuhan. Dalam kesiapannya, ia harus merelakan
anaknya untuk pergi melayani banyak orang. Setelahnya? Bunda Maria, harus
menghancurkan hatinya sendiri untuk melihat anaknya yang mati di Kayu Salib
demi keselamatan banyak orang. Itulah mengapa sosok ini bagi Marianne Kattopo
juga sebagai role model yang sangat peka terhadap ketidakadilan sosial dan
kesediannya mengambil risiko demi suatu perubahan sosial yang diperlukan. Bahkan
juga layak menjadi model utama dari kemanusian yang bertumbuh menjadi citra
Tuhan sepenuhnya. Sebab Maria menerima tindakan Tuhan, ikut serta dalam misi
menyampaikan kabar baik tentang keselamatan kepada dunia, itulah alasan mengapa ia menjadi role model bukan hanya untuk
perempuan, tetapi juga untuk lelaki. Maria merupakan manuisa yang baru
(lelaki-perempuan), bersikap siap menerima di hadapan Tuhan, yang memanggilnya
menjadi imago Dei.
Pertanyaannya, ada kah hal serupa juga kita hidupi,
bersikap siap menerima di hadapan Tuhan, memanggil kita untuk menjadi gambaran
dan rupa Allah yang hidup dalam lingkungan kita?
Tahukah saudara, Betapa banyak di antara
kita yang selalu bertahan pada rasa tidak suka yang bisa menjadi awal
pertengkaran, kesalahpahaman, pemicu kemarahan, atau saat menyakitkan lainnya.
Kita bersikeras menunggu orang lain mendekati kita – percaya bahwa inilah
satu-satunya cara yang akan membuat kita bisa memaafkan atau menghidupkan
kembali sautu persahabatan atau hubungan keluarga.
Salah satu film menarik
dari India, berjudul “Dream Girl” menceritakan tentang seorang laki-laki
bernama Karam yang mampu menirukan suara perempuan. Karena sulitnya mendapatkan
pekerjaan dengan latar belakang akademinya, dan situasi perekenomian keluarga
yang terlilit utang, membuat dirinya bekerja dalam sebuah perusahan legal yang
memanfaatkan suara perempuannya. Perusahan tersebut mempekerjakan
perempuan-perempuan (kecuali Karam) untuk menerima setiap panggilan dari
laki-laki yang merasakan kesepian. Pekerjaan yang diguluti Karam membuat
dirinya banyak disukai oleh para lelaki yang menelponnya. Bahkan, dalam cerita
tersebut adapula seorang perempuan yang sudah tiga kali gagal dalam berumah
tangga dan tidak mempercayai laki-laki mencintai suara Karam. Hal yang
dilakukan Karam, sangatlah sederhana, merubah nama menjadi Pooja dan suaranya
sangat mirip dengan perempuan. Ia memberikan telinganya untuk mendengar setiap
masalah-masalah dan kesukaan-kesukaan dari penelponnya. Selebihnya, tidak ada!
Ia tidak melakukan apapun selain berkomunikasi dengan para penelponya. Kegiatan
tersebut ternyata, membuat dirinya memiliki banyak sekali palanggan.
Menarik dari
refleksinya setelah melakukan kegiatan tersebut adalah Karam memperingatkan
semua orang, bahwa populasi manusia mungkin semakin meningkat, tetapi hal
serupa juga meningkatkan rasa kesepian. Hal tersebut, dia rasakan ketika Karam
memberikan rasa empati dan dirinya bagi pelanggannya. Sesuatu yang sebenarnya
dapat orang lain lakukan, tapi kita berhenti untuk tidak melakukan hal
tersebut.
Mengapa? Karam
mengumpamakannya dengan foto. Fakta yang dilihatnya betapa banyak orang lebih
mementingkan foto selfie kita, bukan foto kebersamaan bersama orang-orang yang
kita sayangi. Bahakan hal tersebut, membuat ego seseorang semakin tinggi,
sampai batas kesepian itu memuncak. Orang-orang dapat membunuh dirinya sendiri,
sembari melupakan lingkungan yang begitu mengasihinya.
Jadi bagaimana dengan
kita? Masihkah kita terjebak pada anggapan akan “Harga diri” “Posisi” “Status” “Jabatan”
sebagai yang terpenting dalam hidup? Bukankah “kebahagian” menjadi utama dalam hidup?
Bila saudara setuju, maukah kita menghilangkan sikap individualis ini? Maukah
kita menyirnahkan kesepian yang diakibatkan karena ego kita?
Komentar
Posting Komentar