“Siapa yang mampu menentukan kesetian seseorang?” Faktanya tidak ada yang
bisa menentukan ataupun menilai kesetian seseorang selain daripada “Akhir”.
Saat seorang menjadi suami-istri, sekalipun umur pernikahan mereka sudah sampai
25 tahun. Namun, bila diumur pernikahan yang ke-26 seorang tersebut selingkuh.
Maka ia pun tetap dikatakan tidak setia. Sebaliknya, sekalipun umur pernikahan
tersebut hanya 3 tahun, dan mereka masih bersama. Maka diapun dapat dikatakan
setia. Dengan kata lain, satupun diantara kita tidak ada yang berhak menilai
satu dengan yang lainnya sebagai orang yang setia atau tidak. Karena penilaian
kepada kesetian itu adalah akhir dari setiap proses yang dijalani. Termasuk
saat kita menjalani proses keimanan ini, apakah kita tetap setia kepadaNya atau
tidak. Penentuannya ada pada kedatangannya nanti. Apakah saat Ia datang
kembali, kita masih memiliki iman percaya kepadanya?
Tentu, mempertahankan keimanan kita itu bukan suatu hal yang mudah.
Terlebih mempertahankan sesuatu hal yang kita anggap benar, di situasi dan
tempat dimana kebenaran tersebut tidak banyak yang memegangnya. Tapi menarik
rasanya bila kita merenungkan tentang, Seorang anak kecil memegang prinsip yang
disampaikan Bapanya. Lalu semua teman-temannya mennghina dan menertawakan
prinsip yang dipegang oleh dirinya. Tapi anak tersebut tidak pernah
mengkhianati apa yang disampaikan oleh Bapaknya, sekalipun dia harus menangis
karena apa yang diperbuat oleh teman-temannya kepadanya. Dia justru berkata
“Lihat saja, nanti Bapa ku akan datang kembali kepadaku. Dia akan menjadi
pembelaku atas semua yang terjadi pada saat ini.”. Pertanyaannya sekarang
adalah, maukah kita memiliki iman seperti anak tersebut? Maukah engkau tetap
setia dan berpegang kepadaNya?
Karena demikianlah yang
menjadi bahan refleksi kita, dimulai dengan Mazmur 85:2-8 sebagai penyataan iman pemazmur dalam bentuk
ratapan. Ratapan tersebut bukan menunjuk pada keputusasaan pemazmur, tetapi
sebaliknya menjadi nyata benar sikap pemazmur yang tetap memiliki iman kepada
Tuhan Allah di dalam penderitaannya di negri asing (Babilonia) dan dalam
setatus tertindas, dijajah bangsa lain. Inilah salah satu bentuk ratapan umat
Israel yang sedang berada di pembuangan. Sedangkan Mazmur 85:9-14 adalah
penyataan iman pemazmur dalam bentuk profetis (kenabian) yang mengharapakan
sesuatu yang baik dari Tuhan terjadi kelak. Barangkali, mazmur 85 ini
dinyanyikan di hadapan Tuhan pada masa pembuangan di abad VI SM, saat umat
Tuhan tergoda untuk mempercayai bahwa Tuhan Allah telah meninggalkan mereka
untuk selama-lamanya.
Tapi perlu diingat
pula, seperti yang dituliskan dalam ayat 10, bahwa pemazmur mengingatkan kita
tentang Keselamatan umat Allah dan
Kemuliaan Allah yang akan dinyatakan dalam hidup umat-Nya tidak datang secara
otomatis. Hal itu (keselamatan dan kemuliaan) akan datang bilamana umat menjadi
dan terus menerus takut akan TUHAN. Umat yang takut akan TUHAN adalah umat yang
memiliki tekad yang kuat di dalam hatinya untuk bertaqwa (tunduk, bersandar,
mengandalkan dan taat) kepada TUHAN. Umat akan bertaqwa bila hatinya telah
berubah dari pemberontak menjadi penurut Allah. Walaupun mereka sudah hidup
dalam takut akan Tuhan, bukanlah barti mereka sudah memiliki keselamatan yang
utuh dan sempurna. Mereka baru “dekat” dengan keselamatan yang dari Tuhan. Arti
keselamatan dari Tuhan itu dekat pada orang yang takut akan Tuhan adalah bahwa
keselamatan itu belum secara utuh dan sempurna dialami oleh mereka yang takut
akan Tuhan.
Terakhir, ada sebuah
kisah Pasar malam dibuka di sebuah kota . Penduduk
menyambutnya dengan gembira. Berbagai macam permainan, stand makanan dan
pertunjukan diadakan. Salah satu yang paling istimewa adalah atraksi manusia
kuat. Begitu banyak orang setiap malam menyaksikan unjuk kekuatan otot manusia
kuat ini.
Manusia
kuat ini mampu melengkungkan baja tebal hanya dengan tangan telanjang. Tinjunya
dapat menghancurkan batu bata tebal hingga berkeping-keping. Ia mengalahkan
semua pria di kota itu dalam lomba panco. Namun setiap kali menutup
pertunjukkannya ia hanya memeras sebuah jeruk dengan genggamannya. Ia memeras
jeruk tersebut hingga ke tetes terakhir. ‘Hingga tetes terakhir’,
pikirnya.
Manusia
kuat lalu menantang para penonton : “Hadiah yang besar kami sediakan kepada
barang siapa yang bisa memeras hingga keluar satu tetes saja air jeruk dari
buah jeruk ini!”
Kemudian
naiklah seorang lelaki, seorang yang atletis, ke atas panggung. Tangannya
kekar. Ia memeras dan memeras dan menekan sisa jeruk tapi tak setetespun air
jeruk keluar. Sepertinya seluruh isi jeruk itu sudah terperas habis. Ia gagal.
Beberapa pria kuat lainnya turut mencoba, tapi tak ada yang berhasil. Manusia
kuat itu tersenyum-senyum sambil berkata : “Aku berikan satu kesempatan
terakhir, siapa yang mau mencoba?”
Seorang
wanita kurus setengah baya mengacungkan tangan dan meminta agar ia boleh
mencoba. “Tentu saja boleh nyonya. Mari naik ke panggung.” Walau dibayangi
kegelian di hatinya, manusia kuat itu membimbing wanita itu naik ke atas
pentas. Beberapa orang tergelak-gelak mengolok-olok wanita itu. Pria kuat
lainnya saja gagal meneteskan setetes air dari potongan jeruk itu apalagi ibu
kurus tua ini. Itulah yang ada di pikiran penonton.
Wanita
itu lalu mengambil jeruk dan menggenggamnya. Semakin banyak penonton yang
menertawakannya. Lalu wanita itu mencoba memegang sisa jeruk itu dengan penuh
konsentrasi. Ia memegang sebelah pinggirnya, mengarahkan ampas jeruk ke arah
tengah, demikian terus ia ulangi dengan sisi jeruk yang lain. Ia terus menekan
serta memijit jeruk itu, hingga akhirnya memeras dan “ting!” setetes air jeruk
muncul terperas dan jatuh di atas meja panggung. Penonton terdiam terperangah.
Lalu cemoohan segera berubah menjadi tepuk tangan riuh.
Manusia
kuat lalu memeluk wanita kurus itu, katanya, “Nyonya, aku sudah melakukan
pertunjukkan semacam ini ratusan kali. Dan, banyak orang pernah mencobanya agar
bisa membawa pulang hadiah uang yang aku tawarkan, tapi mereka semua gagal.
Hanya Anda satu-satunya yang berhasil memenangkan hadiah itu. Boleh aku tahu,
bagaimana Anda bisa melakukan hal itu?”
“Begini,”
jawab wanita itu, “Aku adalah seorang janda yang ditinggal mati suamiku. Aku
harus bekerja keras untuk mencari nafkah bagi hidup kelima anakku. Jika engkau
memiliki tanggungan beban seperti itu, engkau akan mengetahui bahwa selalu ada
tetesan air walau itu di padang gurun sekalipun. Engkau juga akan mengetahui
jalan untuk menemukan tetesan itu. Jika hanya memeras setetes air jeruk dari
ampas yang engkau buat, bukanlah hal yang sulit bagiku”.
Lanjut
perempuan tersebut,”Selalu ada tetesan setelah tetesan terakhir. Aku telah
ratusan kali mengalami jalan buntu untuk semua masalah serta kebutuhan yang
keluargaku perlukan. Namun hingga saat ini aku selalu menerima tetes berkat
untuk hidup keluargaku. Aku percaya Tuhanku hidup dan aku percaya tetesan
berkat-Nya tidak pernah kering, walau mata jasmaniku melihat semuanya telah
kering. Aku punya alasan untuk menerima jalan keluar dari masalahku. Saat aku
mencari, aku menerimanya karena ada pribadi yang mengasihiku.”
Setiap orang pasti memiliki pengalaman
hidup beraneka ragam: mulai dari yang menyenangkan, indah, manis, sampai
kepada yang pahit, getir dan menyakitkan. Banyak di antara kita ketika
dihadapkan pada pengalaman-pengalaman hidup yang tidak mengenakkan
(masalah, ujian, kegagalan, penderitaan, tekanan, kesengsaraan, sakit-penyakit,
krisis dan sebagainya) cenderung memiliki respons negatif: kecewa,
putus asa, marah, mengeluh dan bersungut-sungut. Sikap-sikap yang
demikian justru akan menjadi musuh terbesar dan penghalang utama kita berjalan
dalam tujuan Tuhan bagi hidup kita. Padahal, adakalanya Tuhan memakai
peristiwa-peristiwa yang menurut penilaian kita sebagai hal yang buruk tersebut
sebagai cara dan sarana untuk membentuk, mempersiapkan dan menggenapkan
rencana-Nya
Ingatlah ini, bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu. Kata segala sesuatu berarti segala situasi dan kondisi, termasuk hal-hal yang buruk dan tidak mengenakkan sekalipun. Karena itu penting sekali kita belajar memahami cara Tuhan bekerja, karena Ia tidak pernah menjanjikan bahwa hidup orang percaya itu bebas dari masalah. Ingatlah! “Bila Anda memiliki alasan yang cukup kuat, Anda akan menemukan jalannya”, demikian kata seorang bijak. Seringkali kita tak kuat melakukan sesuatu karena tak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menerima hal tersebut. Tapi sekarang kita punya alasan kuat untuk tetap setia, yakni CINTA dari Tuhan.
Komentar
Posting Komentar