Kepada Timotius, Paulus
berkata: “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi
keuntungan besar.” (1 Timotius 6:6). Lihatlah bahwa hanya ibadah
yang disertai rasa cukuplah yang akan memberi keuntungan besar. Sebaliknya
ibadah tidak akan bermakna apa-apa apabila rasa tidak pernah puas terus
mewarnai hidup kita sebagai pribadi-pribadi konsumtif yang hanyut dengan arus
dunia yang semakin lama semakin buruk. Jika demikian, seberapa jauh sebenarnya
kata cukup itu menurut Alkitab? Dari rangkaian ayat dalam 1 Timotius 6 ini kita
bisa menemukan jawabannya. “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” (ay 8).
Makanan dan pakaian, keduanya adalah kebutuhan paling mendasar manusia yang
seharusnya mendatangkan kata cukup jika sudah dimiliki. Tapi berapa banyak
orang yang masih bisa bersyukur kalau cuma memiliki makanan dan pakaian?
Kecenderungan manusia adalah kemudian melebarkan kedua kebutuhan vital ini di
dalam balutan kemewahan. Makanan seperti apa? Baju merek apa dan gayanya
bagaimana atau seharga berapa hingga berapa banyak koleksinya. Sesungguhnya
Alkitab sudah mengingatkan kita bahwa setidaknya jika kita masih bisa makan dan
tidak harus telanjang, itu artinya kita sudah layak untuk mengucap syukur kepada
Tuhan. Jika kita lupa akan hal ini kita tidak akan pernah bisa bersyukur. Lalu
rasa tidak puas dan masih kurang akan terus menguasai diri kita. Ayat
selanjutnya berkata: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam
pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang
mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.” (ay
9). Inilah yang terjadi jika kita membiarkan diri kita untuk selalu mengejar
kebutuhan-kebutuhan di luar kebutuhan utama. Karena memburu uang, kita bisa
menyimpang dari iman, terjatuh dalam lubang-lubang dosa dan menjadi seorang
hamba uang. Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan “cinta akan uang
adalah akar segala kejahatan.” (ay 10).
Saya tidak sedang
menganjurkan kepada kita semua untuk menjalani hidup miskin. Tidak. Tuhan pun
tidak bermaksud demikian. Apa yang diingatkan Tuhan adalah agar kita tidak
menjadi orang-orang konsumtif yang tidak pernah puas, melainkan menjadi
orang-orang yang tahu berterimakasih, tahu mengucap syukur atas segala yang
telah Tuhan berikan kepada kita. Sekecil apapun, berkat tetaplah
berkat yang seharusnya kita ucapkan syukur atasnya. Jika kita melihat ayat 1
Timotius 6:10 diatas, kita bisa melihat bahwa bukanlah “uang” nya yang menjadi
akar segala kejahatan melainkan “cinta akan uang”. Mempertuhankan
harta di atas segalanya termasuk di atas Sang Pencipta kita. Dan itulah akar
dari segala kejahatan, the root of all evil. Dan Tuhan Yesus
sudah mengingatkan kita mengenai bahaya akan hal ini. “Seorang hamba
tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci
yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang
dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan
kepada Mamon.” (Lukas 16:13, Matius 6:24). Untuk menghindari
terjebaknya kita dalam hal itu, kita harus belajar mengerti mengenai rasa
cukup. Bukan terus tidak puas dan terus merasa kurang, tetapi mampu bersyukur
atas apa yang kita miliki dengan rasa cukup. Dan itulah yang akan memberikan
keuntungan besar bagi perjalanan hidup kita menuju keselamatan di ujung sana
Sebagai penutup, saya
ingin menceritakan kisah tentang seorang pemuda yang berjalan jauh sampai ke
Surga. Seperti yang banyak yang mengisahkan keadaan surga, demikian jugalah ia
menemukan kenyamanan dan kebahagian di tempat itu. Segala sesuatu yang dia
minta dan fikirkan akan terjadi ditempat itu. Maka dari itu, pemuda itu merasa
menjadi seorang paling beruntung. Sebab perjalanan jauhnya tidak sia-sia dan
terbayar. Lalu ia memikirkan tentang tempat peristirahatan baginya, sebab
pikirnya ia telah melakukan perjalanan yang menghabiskan banyak energinya. Ia
pun menoleh ke sekelilingnya dan menemukan pohon rindang dengan rerumputan
nyaman untuk dia merebahkan badan. Ia tertidur dan membalas seluruh letihnya
saat itu.
Lalu beberapa jam setelah
ia tertidur, perutnya terasa lapar dan membuat ia bangun dari tidurnya. Ia
memikirkan, “seandainya makanan enak ada ditempat ini, mungkin aku akan semakin
menjadi beruntung berada ditempat ini”. Tanpa disangka-sangka, semua makanan
yang dia pikirkan tersedia didepannya. Ia pun merasa bahagia dan menyantap
seluruhnya dengan segara sampai kekenyangan. Lalu, ia berfikir kembali
“Dimanakah letak air yang baik untuk diriku, sebab perutku kenyang dan kini
tubuhku membutuhkan air”. Seperti kejadian sebelumnya, minimuan-minuman yang
dia pikirkan seketika tersedia didepannya.
Sungguh, kembali lagi ia
merasa beruntung berada ditempat tersebut. Sampai beberapa menit setelahnya, ia
mulai berfikir kembali, “darimana asal semuanya ini, makanan dan minuman ini
seketika tersedia dihadapanku. Apakah hantu yang membawa semua ini kepadaku?”.
Seperti sebelumnya ia memikirkan makanan dan minuman, hantupun mendatangi
dirinya. Pikirnya lagi, “Wah, benar hantulah yang membawakan ini semua, maka
matilah aku saat ini juga karena hantu
ini akan menyiksaku dan membunuhku”. Persis seperti yang dia pikirkan, para
hantu menyiksa dan membunuhnya.
Tahukah, saudara bila
sebelumnya ia berfikir bahwa tempat itu membuat dirinya menjadi seorang yang
paling beruntung. Maka pada saat akhir hidupnya, ia merubah pandangannya
tentang tempat itu sebagai sesuatu yang paling buruk.
Kisah ini seharusnya
menjadi pembelajaran bagi kita, bahwa bila kita memfokuskan diri untuk lebi;
berdamai dengan di mana kita berada, bukan berfikir di mana sebaiknya kita
berada, kita akan mulai menemukan kedamaian sekarang juga pada saat ini. Lebih
lagi, kita akan selalu focus pada mengelola yang ada, bukan mengeluhkan akan
yang tidak ada.
Komentar
Posting Komentar