Pada umumnya orang
mengatakan bahwa maaf-memaafkan senantiasa membawa kebaikan, namun pada
kenyataanya tidaklah demikian. Akibatnya, sejumlah individu berupaya untuk
bertindak terburu-buru memberi maaf, sebaliknya juga terburu-buru mengharapkan
segera dimaafkan ketika memintanya, namun akhirnya mereka kecewa karena
kenyataanya yang mereka hadapi sama sekali berbeda. Memberi maaf seperti
layaknya membebaskan seorang tahanan dari belenggu kesalahan. Terlalu cepat
memberi maaf menyebabkan tahanan bebas tanpa dikenai sangsi. Sebaliknya ,
individu yang memberi maaf tadi sepertinya menggantikan kedudukan sebagai
tahanan. Dapat dibayangkan jika seseorang terlalu cepat memberi maaf kepada
pihak lain akibat dari peristiwa yang menyakitkan. Tentu saja hal itu tidak
akan mudah dilakukan. Ada beberapa alasan tentang hal ini. Di antaranya
dijelaskan di bawah ini;
Bila terlalu cepat
dimaafkan, apalagi ketika kesalahannya besar, pihak yang bersalah akan merasa
bahwa perilaku yang ia lakukan tidak memiliki bobot yang berarti bagi keretakan
hubungan mereka. Akibatnya, dia akan menganggap
perbuatan tersebut tidak perlu dipermasalahkan sehingga kalaupun terjadi
kembali tidak akan menimbulkan masalah besar.
Sebaliknya, pihak yang
tersakiti berharap dengan memberi maaf akan memperolah penghargaan dari pelaku.
Kenyataannya justru tidak demikian. Ia terbelenggu ucapan maafnya sendiri,
kecewa dengan pemberiaan maaf yang seolah-olah tidak bermakna.
Dengan memberi maaf
pada seseorang secara otomatis menjadikannya sebagai seorang individu yang
baik. Kenyataanya tidak demikian. Banyak yang memberi maaf dengan melakukan
cara martir. Mereka mengorbankan perasaannya sendiri. Adakalanya
mereka memendam perasaan, memaklumi perilaku pihak lain, dan memaafkannya
dengan mudah sekali. Di balik perbuatan ini sesungguhnya terkandung niat untuk
menunjukkan superioritas moral terhadap oranglain melalui perilaku seperti mau
mengorbankan perasaan. Kenyataanya imbalan tcrsebut belum tentu diperolehnya.
Sebaliknya, pihak yang bersalah menjadi kurang tanggap dengan sikap pihak lain
karena merasa bahwa dianggapnya tidak peduli lagi pada dirinya dan sama sekali
tidak berusaha memberikan penghargaan lebih atas perilaku martirnya.
Ada juga anggapan bahwa
memberi maaf secara otomatis dapat mengatasi konflik sehingga kelangsungan
hubungan dapat berjalan terus. Dalam kasus-kasus tertentu memberi maaf sesuai
dengan kewajarannya memang dibutuhkan. Akan tetapi hal ini tidak secara
otomatis mengatasi konflik antar personal, yang menjadi masalah dalam tindakan
memaafkan, maaf dapat diberikan tanpa perubahan sikap dan emosi terhadap orang
yang bersalah.
Proses memaafkan
adalah proses yang berjalan perlahan dan memerlukan waktu. Semakin parah rasa
sakit hati semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk memaafkan.
Kadang-kadang seseorang melakukannya dengan perlahan-lahan sehingga melewati
garis batas tanpa menyadari bahwa dia sudah melewatinya.
Ingatlah, “proses” itu “keharusan”
bukan untuk “pembenaran diri” yang tidak bisa memberikan maaf. Sebab kita
menyimpan kemarahan terhadap orang lain, disadari atau tidak, rasa marah itu
sedikit demi sedikit menggerogoti hati kita, memperdalam luka dan membebani
kita dengan perasaan negatif terus-menerus. Padahal, orang yang menyakiti kita
belum tentu mengingat kesalahan yang telah ia perbuat kepada kita atau
merasakan penderitaan yang sama.
Menurut Dr. Frederic
Luskin dalam bukunya “Forgive for Good”, memaafkan memicu terciptanya
keadaan baik dalam pikiran, seperti percaya diri dan harapan serta mengurangi
beban kemarahan, stres, dan penderitaan yang disebabkan olehnya. Secara fisik,
kemarahan yang terpendam lama juga menyebabkan suhu tubuh meningkat dan
mempersulit kita berpikir jernih. Belum lagi gangguan-gangguan kesehatan
seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke dan lain sebagainya.
Apakah kamu tidak dapat
membalas perbuatan jahatnya? Tentu bisa! Namun, sesungguhnya lebih
banyak ketenangan dan kemuliaan bagi kita ketika kita mau memaafkan. Memaafkan
dengan tulus, lebih dari sekedar kata-kata, memang seringkali terasa sangat
berat, tapi kalau kita berhasil melakukannya, ia akan menyembuhkan kita, secara
fisik dan jiwa. Hati kita akan terasa lebih ringan dan bahagia. Kita tidak lagi
membawa-bawa perasaan negatif atau membiarkan kezaliman orang lain merusak
kebahagiaan kita.
Tak heran, Paulus
menasihatkan hal serupa pada jemaat di Efesus, yakni “Segala kepahitan,
kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu,
demikian pula segala kejahatan.”. Sebab semua ini hanyalah menjadi penghalang
untukmu berkembang sebagai manusia baru dalam Kristus.
Komentar
Posting Komentar