Photo by Alex Alvarez on Unsplash |
Membangun kebersamaan
tidak mudah. Semakin banyak orang di dalam sebuah kelompok, semakin banyak
perbedaan dan potensi konflik. Paulus memahami hal ini dan memberikan nasihat
kepada jemaat bagaimana membangun kebersamaan sebagai anggota tubuh Kristus.
Adapun Paulus
menasihatkannya dalam 3 prinsip menarik yang untuk kita telusuri juga dapat
kita praktikan dalam bersosialisasi dengna lingkungan sekitar kita.
1.
Apa Yang Kita Pikirankan, Percayai
Dan Lakukan Itulah Yang Membentuk Sikap Kita.
Jika atau entah bagaimana, orang yang kita sebut “pembuat
onar” datang ke bisnis Anda, keluarga Anda, atau Anda lahir bersama mereka,
mereka anggota keluarga Anda, atau Anda jadi guru mereka, atau mereka muncul
begitu saja dalam hidup Anda, apa yang bisa Anda lakukan? Bukankah ini adalah
masalah yang setiap dari kita harus hadapi dari waktu ke waktu: berurusan
dengan orang yang kita sebut sebagai “pembuat onar”.
Sejatinya apa yang kita fikirkan, percayai dan lakukan
itulah yang membentuk siikap kita. Kalau saudara menyebut diri sebagai seorang
percaya akan Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus, lalu memberitakan injil
ataupun dalam kasus ini memberikan nasihat kepada orang yang kita sebut
“pembuat onar” dan terganggu dengan penerimaan ataupun penolakan dari orang
tersebut. Tampaknya ada yang salah dengan diri kita, sebab bukankah penerimaan
dan penolakan, baik atau buruk, akan selalu menjadi bagian dari perjalanan
kehidupan kita? Justru dalam hal inilah kita harus membiarkan Roh Kudus bekerja
atas kehidupannya. Atau dengan kata lain, jangan bermimpi untuk mengubah sudut
pandang orang lain. Kalau bukan karena Roh Kudus maka hal itu sangatlah tidak
mungkin terjadi. Maka dari itulah gangguan yang ada dalam diri kita atas respon
dari orang lain atas pelayanan ataupun nasihat yang kita berikan. Justru
menunjukkan, ada hal yang tidak beres dalam kita saat berkata dan mempercayai
Yesus tapi membatasi pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan orang-orang yang hidup
bersama dengan kita.
Terimalah bahwa orang yang kita sebut “pembuat onar” itu
sebagai bagian dari hidup. Alih-alih menjadi galau sendiri, “Aku tidak
menginginkan ini.. ini salah! Mengapa aku harus berurusan dengan ini? Mengapa
harus saya?” Ketimbang segala macam pemikiran negatif yang bikin masalah tambah
rumit, kadanag kita cukup belajar cara hidup yang berdamai bersama orang yang
kita sebut sebagai “pembuat onar” itu.
Sebab, pada akhirnya bila kita mengasihi orang lain
semata-mata didasarkan atas tingkah laku, mungkin tidak akan ada orang yang
pernah merasa dicintai. Karena, kitapun mengetahui bahwa hari ini mungkin kita
dikecewakan orang lain, tapi esok bisa saja kita mengecewakan orang lain. Bukan
hal yang tidak mungkin, kan? Karena setiap harinya kita tidak bisa menyenangkan
siapapun.
2.
Jarak Terdekat Antara Dua Titik
Adalah Perhatian
Diantara
kita pastilah menginginkan kehidupan yang dipenuhi dengan cinta. Untuk
membuatnya terjadi, kita sendiri yang harus mengusahakannya. Daripada menunggu
orang lain memberikan kasih sayang yag kita dambakan, lebih baik kita yang
menjadi visi dan sumber kasih sayang. Kita harus mengisi hidup kita dengan
kasih sayang dan kebaikan yang tulus untuk memberi teladan bagi orang lain
terkhusus dimulai dengan lingkungan terdekat kita
Ada
yang berkata, “Jarak terdekat antara dua titik adalah perhatian.” Ini berlaku
berkenan dengan hidup yang penuh dengan kasih sayang. Titik atau landasan awal
suatu kehidupan yang penuh dengan kasih sayang adalah keinginan dan komitmen
untuk menjadi sumber kasih sayang. Sikap, pilihan, tidakan kebaikan, dan
kerelaan kita untuk menjadi orang yang lebih dahulu menghampiri akan membawa
kita menuju tujuan ini.
Ingatlah
ini, Tidak ada yang lebih membantu memperluas sudut pandang kita selain
memperbesar rasa peduli kita kepada orang lain. Peduili berarti berempati
kepada orang lain. Dengan peduli kita berusaha menempatkan diri kita pada
posisi orang lain, tidak memikirkan diri sendiri dan membayangkan bagaimana
rasanya bila kita yang mengalami kesulitan yang dialami orang lain itu, dan
sekaligus berbelas kasih pada orang tersebut. Harus diakui bahwa persoalan
orang lain, rasa sakitnya dan frustasinya, persis seperti yang kita rasakan –
malahan kadang-kadang lebih parah. Mengakui kenyataan ini dan berusaha
menawarkan bantuan akan membuka hati kita dan memperbesar rasa syukur kita.
Rasa
peduli dapat dikembangkan dengan melatih diri sendiri. untuk melakukannya, kita
membutuhkan dua hal: niat dan tindakan. Dengan berniat berarti kita ingat untuk
membuka hati kita kepada orang lain; menyampaikan apa dan siapa yang jadi
persoalan, dari diri kita ke diri orang lain. Dengan bertindak berarti kita
“melakukan apa yang harus kita lakukan untuknya.” Saudara bisa menyumbangkan
sedikit uang atau waktu (atau kedua-duanya) secara berkala pada hal-hal yang
menyentuh hati. Atau mungkin saudara akan tersenyum manis dan menyapa dengan
tulus orang yang saudara temui di jalanan. Tidak penting apa yang saudara
perbuat, pokoknya lakukan sesuatu. Seperti yang dikatakan ibu Teresa, “Kita
tidak dapat melakukan hal-hal besar di dunia ini. Kita hanya dapat melakukan
hal-hal kecil dengan cinta kasih yang besar.”
3.
“Berdaya Guna” jauh lebih baik
daripada dari “Berdaya Saing”
Percayalah, menjadi
lebih baik daripada orang lain merupakan motivasi yang sangat melelahkan.
Sekalipun demikian, banyak orang telah beranggapan bahwa dunia ini seperti sebuah
Apel. Apabila apel tersebut dibagikan hanya
untuk 2 orang, maka saya dan kamu mendapatkan setengah bagian. Namun, kita
menyadari bahwa bukan hanya 2 orang yang hidup di dunia ini. Sementara Bumi
tidak pernah membesar dan bahkan hanya satu yang kita ketahui. Alhasil, “daya
saing” menjadi sesuatu yang penting untuk setiap orang bisa mendapatkan bagiannya.
Sekalipun ilustrasi ini memiliki dasar yang amat sederhana
tentang mengapa manusia harus memiliki “daya saing” di dunia kita. Setidaknya
dalam berbagai alasan apapun kita tidak lagi perlu menyetujuinya, sebab bila
hidup kita. Sebab hidup demikian ini hanya sibuk dengan memuaskan ego kita
masing-masing untuk mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada orang lain.
Tapi inilah realitanya, sejak kita duduk dibangku pendidikan
kita selalu dicekoki dengan kompetisi antara anak pintar dan bodoh. Setelah
menyelesaikan bangku pendidikan, kita diperhadapkan dengan pengejaran karir dan
status sosial. Apakah itu berhenti? Tidak! Kompetisi itu tanpa kita sadari,
terus berlanjut sampai kematian. Bukankah, ini menjadi tatanan yang paling
rendah dari manusia dengan akal, budi dan imannya. Bayangkan saja, sudut
pandang itu membawa kita pada dunia sangat kompetitif dan selalu akan
menampilkan Si Menang dan Si Kalah. Si
kuat akan memenangi persaingan. Sedang mereka, tanpa “daya saing” akan terjebak
dalam keterpurukan akibat kalah bersaing.
Lalu, saudara yang menyetujui soal “daya saing” memberikan
pembelaan dengan berkata bahwa para pemenang dapat bermanfaat bagi orang-orang
kalah. Para pemenang akan peduli kepada yang kalah dan menyebut perlakuan itu
sebagai tindakan memanusiakan manusia. Bahkan kepeduliannya akan mereka sebut
dengan tindakan baik untuk bersedekah pada si kalah.
Sungguh tragis dunia seperti itu, bukan?
Adapula yang berpendapat bahwa “daya saing” dihapuskan
dengan menjadi “daya guna/manfaat”. Istilah menarik bagi saya, sebab setiap
manusia harusnya memberi manfaat bagi orang lain dan kehidupan. Kemampuan yang
kita miliki diperuntukkan bagi kepentingan bersama. Ketika kita memiliki
kekayaan material berlimpah, kita gunakan untuk membantu sesama yang kekurangan.
Kita bertanggung jawab memberdayakan masyarakat yang miskin secara ekonomi.
Pendidikan yang kita dapatkan bisa turut mencerdaskan dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat yang lemah dan kurang berdaya.
Jika kita membangun sektor perekonomian dan sektor
pendidikan, maka dimaksudkan agar kita memiliki daya guna/manfaat untuk
membangun kehidupan yang dihuni jutaan manusia ciptaan-Nya. Jika negara kita
maju, kita pun ingin negara-negara lain juga maju. Jika kita tak ingin
terpuruk, maka kita juga tak ingin melihat orang lain terpuruk.
Pada bagian mengubah paham antara “daya saing” menjadi “daya
guna/manfaat” saya setuju. Namun, lebih daripada itu setiap orang harusnya
menyadari bahwa dalam dunia ini, kita harus sangat adaptif. Sebab tidak semua
hal di dunia ini dapat terkonsep dengan sempurna seperti yang kita harapkan.
Ada banyak ketidakmungkinan dalam kehidupan ini, akan terjadi. Siap ataupun
tidak, semua orang harus menghadapinya.
Maka dari itu, selain dari pada konsep hidup yang berdaya
guna/ bermanfaat, setiap orang juga perlu menanamkan dalam dirinya tentang
sikap yang selalu dan mampu berdaptasi. Sebab kehidupan ini adalah anugerah
atas belas kasih Tuhan, bukanlah perlombaan keunggulan antara satu dengan yang
lain. Dengan akal dan budi yang diberikan kepada kita, manusia dapat
beradaptasi dengan begitu banyak situasi bahagia ataupun penderitaan. Dengan
iman, kita dapat memelihara, membangun, dan membangkitkan kembali dunia ini
seturut kehendakNya.
Akhir kata…..
Maukah kita menghidupi ketiga prinsip ini untuk hidup
bersukacita dengan semua orang? Sebab pada akhirnya, kita tidak dapat membuat
sukacita semua orang. Tapi, kita dapat menanam bunga sukacita dalam diri kita.
Komentar
Posting Komentar