Saat ini sedang ramai
tren “healing” di kalangan masyarakat, terutama di kalangan muda-muda kini. Istilah
kekinian ini kerap digunakan warganet untuk mengungkapkan sesuatu yang
menyenangkan melalui unggahan media sosial. Namun bagi Rhenald Kasali seorang
Guru Besar di Universitas Indonesia, trend kata healing di kalangan anak muda
kerap disalah artikan. “Apa-apa self healing!,” ujar Guru Besar UI, Rhenald
Kasali, dalam video yang diunggah oleh channel Rhenald Kasali, pada Senin, 21
Februari 2022, dengan judul ‘Tahu Engga Healing Itu Dibutuhkan Siapa?’.
Dalam video tersebut Rhenald
Kasali menjelaskan, bahwa Healing artinya adalah pemulihan atau penyembuhan
yang harus dilakukan oleh seseorang yang mengalami depresi atau penyakit
tekanan mental. Artinya, tidak semua orang yang memiliki masalah, atau memiliki
beban hidup, harus melaksanakan healing atau harus mengganti kata refreshing
menjadi healing.
Menarik bukan?
Saya sendiri tidak
mengerti dari mana awal mulanya, fenomena ini terjadi; namun cara pandang dan
respon Rhenald Kasali, memperlihatkan kepada kita tentang situasi masyarakat
saat ini terlalu mudah mengeluh dan bersungut-sungut. Tentu, sangat “toxic”
bila membanding-bandingkan pergumulan dan permasalahan-permasalahan yang sedang
dihadapi oleh saat ini. Bahkan “kurangnya iman” seseorang juga tidak bisa dikaitkan
dengan keluh kesah yang diungkapkan ataupun dialami oleh orang dalam berbagai
macam pengalaman hidupnya.
Itulah mengapa bahan Renungan
ini terasa menarik bagi saya. Sebab diungkapkan bagaimana sukacita itu nyata dan
hidup dalam orang-orang beriman bukan karena situasi tetapi karena hidup dalam
lingkup kasih juga penyertaan Tuhan.
Sehingga; kesalahan-kesalahan
masa lalu sebagai pencetus permasalahan yang mungkin saat ini sedang saudara
hadapi; atau kehilangan-kehilangan (harta,tahta ataupun orang-orang terkasih)
dipulihkan dalam penghiburan yang Tuhan beri melalui penjagaan dan penyertaanya
kepada orang-orang yang berserah.
Hanya problema saat
ini, kebanyakan diantara kita lebih sering membutuhkan solusi bukan menjalani
proses yang Tuhan beri. Sehingga janji dan penyertaan itu dianggap sebagai suatu
ilusi (hanya khayalan atau penenang semata).
Padahal, sering kali
Tuhan bukan tidak memberikan solusi. Hanya manusia selalu membutuhkan proses
untuk mendapatkan hikmat ataupun pencerahan dalam menyelesaikan segala macam
problem tersebut. Tetapi, kuk yang enak dan ringan (bdk Mat 11:28-30) tersebut
juga kita hindari. Itu mengapa ilustasi ini menarik bagi kita;
Dikisahkan di sebuah
ladang terdapat sebongkah batu yang amat besar. Dan seorang petani tua
selama bertahun-tahun membajak tanah yang ada di sekeliling batu besar itu.
Sudah cukup banyak mata bajak yang pecah gara-gara membajak di sekitar batu
itu. Padi-padi yang ditanam di sekitar batu itu pun tumbuh
tidak baik.
Hari ini mata bajaknya
pecah lagi. Ia lalu memikirkan bahwa semua kesulitan yang dialaminya disebabkan
oleh batu besar ini. Lalu ia memutuskan untuk melakukan sesuatu pada batu
itu.
Lalu ia mengambil
linggis dan mulai menggali lubang di bawah batu. Betapa terkejutnya ia
ketika mengetahui bahwa batu itu hanya setebal sekitar beberapa inchi
saja. Sebenarnya batu itu bisa dengan mudah dipecahkan dengan palu biasa.
Kemudian ia lalu menghancurkan batu itu sambil tersenyum gembira. Ia
teringat bahwa semua kesulitan yang di alaminya selama bertahun-tahun oleh
batu itu ternyata bisa diatasinya dengan mudah dan cepat.
Akhir kata…..
Saya menyadari bahwa perjalanan
kehidupan setiap orang itu berbeda-beda; tidak jarang diantara kita berlari secepat
mungkin untuk terhindar dari berbagai macam problema kehidupan ini dan berharap
cepat sampai pada tujuan. Namun dipertengahan jalan harus terjatuh karena tali
sepatu yang tidak terikat dengan baik. Tak ubahnya dengan kehidupan saat ini, bukan
persoalan “cepat” atau “lambatnya” perjalanan kehidupan. Kesemuanya ini, tentang
bagaimana ikatan tali sepatu kita; siapa teman kita berjalan; dan jalan mana
yang kita ikuti?
Komentar
Posting Komentar