Photo by Felix Koutchinski on Unsplash |
Tahukah kita, keberadaan dukun-dukun yang bekerja untuk men-santet orang lain sudah semakin tidak diminati. Mengapa? Sebab pada kenyataanya kebencian tidak dapat disembuhkan dengan santet kepada para pelaku. Walaupun demikian, tidak jarang diantara kita mengutuk orang lain dalam doa kita. Alhasil, ayat-ayat dalam perjanjian lama yang menuliskan tentang kutukan-kutukan kepada orang jahat dan fasik, jadi sangat diminati dan sering kali dikeluarkan dalam setiap doa juga ucapan kita.
Tapi,
pernahkah kita menyadari apabila, hal sebaliknya terjadi kepada dan kutuk
tersebut menimpa kita? Mengerikan bukan? Kita berfikir bahwa diri kita yang
benar, tapi bagi Allah kitalah orang-orang fasik dan jahat tersebut. Alhasil kutuk
yang kita harapkan jatuh kepada orang lain, ternyata mengenai kita
Sadarkah
kita, bahwa sebagai citra Allah, kita dituntut untuk membawa Allah dalam segala
keberadaan kita, dalam setiap perkataan dan perbuatan kita. “Roh Tuhan ada
padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan kepada orang-orang buta, untuk
membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah
datang.” Sangat jelas bagaimana kita sebagai seorang kristiani terpanggil
dengan seluruh diri kita, memberikan “kebahagiaan”, kelegaan, keterlepasan,
sebagai tampilan wajah Allah yang Mahakasih.
Jadi,
mengapa kita masih mengingikan kutuk kepada orang lain?
Terhadap
para pelaku kejahatan yang telah menyakiti kita, Fitzgibbon-Hope (1986) dan
Worthington (1997) pernah mengungkapkan bahwa kita dapat saja memilih bersikap
marah dan tidak mau memaafkan, tetapi kita juga harus mempertimbangkan risiko
yang diakibatkannya. Risiko tersebut dapat berupa antara lain, gangguan emosi,
rusaknya hubungan antar pribadi (interpersonal), dan dapat juga terjadi
gangguan fisik yang berwujud gangguan kesehatan. Sementara Enright dan Coyle
(dalam Worthington: 1998) menemukan bahwa korban yang cenderung mempertahankan
kemarahannya, sebenarnya secara diam-diam sedang membuat dirinya menderita.
Dalam sikap tidak memberi maaf ini korban dihadapkan pada dua pilihan
kemungkinan, yaitu: (1) Mempertahankan kemarahannya secara diam-diam, dan ini
membuat dirinya menderita sampai dengan saat ia membalas pelaku dengan tindakan
tertentu, atau; (2) Mengubah dirinya dengan cara memaafkan pelaku dan berusaha
mengakhiri semua perasaan marah, benci, dan keinginan membalas serta
menggantinya dengan emosi positif.
Dengan
demikian, selalu ada pilihan terbukan untuk kita memaafkan pelaku yang telah
menyakiti kita atau dapat bertahan pada pilihan sikap tidak memaafkan.
Jelasnya, apabila kita memaafkan maka kedamaian hati yang akan kita dapatkan; sebagaimana
Markus 11:25-26 sarankan untuk kita.
Jadi,
bagaimana? Maukah kita mendoakan orang-orang yang bersalah kepada kita? Maukah
kita juga mendoakan dan meminta pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang kita
buat kepada orang lain? Cobalah renungkan ini, “Jangan-jangan semua penghalang
doa kita, justru karena kebencian dan kemarahan kita?”
Komentar
Posting Komentar