Photo by Brett Jordan on Unsplash |
Siapa
yang tidak ingin dan merasa bahagia, ketika doanya dikabulkan? Tentu semua bahagia
akan hal itu. Tak mengapa, ayat yang menjadi renungan kali ini sangat populer
di kalangan orang-orang Kristen. Sebab, bagi beberapa diantara kita ayat ini
meneguhkan tentang setiap doa kita “Pasti” dan akan dikabulkan oleh Tuhan.
Namun,
benarkah demikian? Apakah perkataan di ayat ini, menegaskan tentang semua
permintaan kita dalam doa, sudah dan pasti dikabulkan? Pernahkah kita berfikir,
bila seluruh doa kita akan dikabulkan Tuhan maka dunia ini akan jadi chaos?
Jim Carey
dalam filmnya Bruce Almighty yang rilis tahun 2003 pernah mengisahkan dan
memvisualisaikan hal ini. Ketika seorang manusia menjadi Tuhan dan berkuasa.
Maka semua permintaan yang datang kepadanya dikabulkan, alhasil dunia chaos.
Termasuk ketika ia mencoba mewujudkan semua permintaannya pula.
Nah,
menarik bukan? Hal yang menjadi pertanyaan tentu, mengapa perkataan tersebut
muncul dalam renungan kita hari ini, kalau pada akhirnya doa manusia sering
kali merugikan orang lain dan menguntungkan diri sendiri?
Pada akhirnya
saat kita membaca seluruh isi percakapan Yesus dengan murid-muridnya dalam
konteks Yohanes 14, kita akan mengerti bahwa sebenarnya bukan doa tentang semua
permintaan kita dikabulkan, ataupun semua hal dapat kita lakukan bahkan
melebihi apa yang Yesus lakukan. Sebaliknya, semua doa yang kita sampaikan dengan
tujuan untuk kemuliaan Tuhan. Maka semua hal itu dilakukan. Sebaliknya, bila
doa kita hanya untuk menyenangkan hati kita dan mempermuliakan diri kita, Tuhan
tentu tidak akan mengizinkannya.
Ada suatu
kisah yang menceritakan tentang seorang anak yang bersekolah dan telah berupaya
sedemikian rupa untuk belajar sebelum ujian berlangsung. Bahkan dia belajar dan
mengerjakan semua itu dengan mudah serta sukacita. Lalu dikemudian hari, hasil
ujian dibagikan kepada semua siswa dalam kelasnya. Didapati, maka anak itu
ternyata tidak mendapatkan predikat terbaik dari keduapuluh temannya. Sebab,
menurut hasilnya anak tersebut mendapat urutan ke 21. Lalu ia stress dan sedih,
karena ketidakberhasilannya pada ujian tersebut. Bahkan ia merasa sedih, ketika
melihat orangtuanya yang mendapati bahwa dia tidak mendapatkan predikat terbaik
dari keduapuluh temannya.
Dengan rasa
sedih dan perasaan gagalnya, ia belari keluar rumah. Ia meratapi kehidupannya
yang kelam karena kegagalan tersebut. Sampai akhirnya, seorang Bapa Tua
mendatangi dan melihat situasinya. Bapak tua tersebut, menanyakan peristiwa apa
yang terjadi padanya sampai membuat dirinya begitu murung. Si anak
menceritakannya dengan meluapkan seluruh emosinya kepada Bapak Tua tersebut.
Menariknya,
Bapak Tua tersebut berkata kepadanya, “Wah, hebat sekali kamu nak. Tuhan
memberikan kamu anugerah dan kekuatan untuk membahagiakan keduapuluh temanmu”.
Anak itu terheran-heran dengan jawaban dari Bapak Tua tersebut. Sebab, baginya hasil
ujian itu menentukan dirinya yang gagal, sementara Bapak Tua mengatakan
sebaliknya.
Lalu Bapak
Tua tersebut melanjutkan ungkapanya, “ Bayangkan bila diantara keduapuluh temanmu
yang mendapati hasil seperti dirimu. Apakah ia akan sekuat dan sehebatmu untuk
menerimanya? Bagaimana bila akhirnya hal itu, justru membuat dia menghakimi
diri? Apakah kamu bahagia akan hal tersebut?”. Anak itu seketika terdiam
mendengar penjelasan Bapak Tua itu dan lalu tersenyum menerima kenyataannya.
Bagaimana
dengan kita, apakah kita juga pernah berfikir demikian? Apakah kita pernah
melihat hal lain dari setiap kegagalan, penolakan atau apapun yang tidak sesuai
dengan harapan kita ternyata berguna baik untuk orang lain dan memuliakan
Tuhan?
Ingatlah ini,
yang terpenting dalam doa kita sebenarnya bukan apakah
doa itu terkabul atau tidak, tetapi bahwa dengan berdoa kita menyerahkan segala
sesuatu termasuk keinginan dan pergumulan kita kepada Tuhan. Artinya, memang
kita sudah seharusnya membawa keinginan dan kepentingan pribadi kita harus kita
tempatkan di bawah kepentingan Kerajaan Allah. Kalau apa yang kita inginkan itu
ternyata merugikan kemuliaan Tuhan atau merusak suasana Kerajaan Allah:
perdamaian, kasih dan keadilan maka kita harus rela jika doa kita tidak
dikabulkan Tuhan, seperti sikap Paulus ketika Tuhan menolak mengabulkan doanya
untuk kesembuhan dirinya atau kisah Daud yang berkeinginan untuk membangun bait
Allah.
Inilah
yang tersulit dalam berdoa, memberikan diri untuk benar-benar berserah kepada
kehendakNya. Kita sering tidak terlalu ikhlas ketika mengatakan: “Jadilah
kehendak-Mu”. Sebaliknya, kehendak Tuhan hanya kita perhatikan kalau itu menunjang
kehendak kita. Alhasil, kata-kata seperti “Indah pada waktunya” sering menjadi
bentuk ego tertinggi dari manusia yang tidak menerima kehendak Allah.
Jadi,
bagaimana?
Komentar
Suka tdk suka,mau tidak mau..
Harus memuji Tuhan dlm hal apa pun ,sekalipun dlm situasi terburuk.
Karena itulah yg terbaik buat cibtaanNya
Posting Komentar