Salah
satu yang tersulit dalam proses menjadi seorang Kristen adalah melakoni setiap
doa dan mazmur yang kita panjatkan. Hal ini terlihat nyata dalam setiap
pekerjaan kita. Beberapa orang selalu meminta rejeki kepada Tuhan atas setiap
yang dia kerjakan dan usahakan. Saat Tuhan memberikan rejeki menurut takaranNya,
maka tidak jarang diantara kita yang mengeluh atas pemberiannya tersebut. Lalu kita
meronta meronta dan mempertanyakan kebaikan Tuhan atas hidup kita.
Ironis
bukan? Tapi demikianlah yang sering kali terjadi,
Dalam
satu kesempatan saya pernah bertanya, siapakah yang paling beriman diantara
penjudi dan petani. Bagaimana menurut saudara? Siapakah yang paling beriman
bagi saudara?
Tahukah
kita, seringkali iman itu terfokus dengan hasilnya. Tentu ini tidak salah,
seperti Yoel 2:23-27 yang mengisahkan dan mengajuk bangsa Israel untuk bertobat
agar dipulihkan.
Tapi
apakah “hasil” yang menjadi proses utama dalam beriman?
Setiap
orang yang mengutamakan “hasil” pada proses keimananya itu sangat mirip dengan
seorang pejudi. Ia memberikan uangnya kepada “bandar” dengan harapan dapat dilipatkan
lebih banyak dari pemberiannya. Alhasil, para pejudi sering tidak merasa rugi
atas uang yang telah dia pertaruhkan. Sebab baginya janji “bandar” lebih nyata
ketimbang pemeliharaan Tuhan.
Namun
realitasnya? Saudara melihat sendiri, “bandar” semakin kaya dan penjudi semakin
melarat.
Bagaimana
dengan petani?
Seperti
kita ketahui, saat ini petani tak ubahnya dengan para penjudi. Mereka menanam
lalu mengharapkan, agar apa yang mereka tanam dapat membiayai semua
perlengkapan keluarga. Perbedaanya, tentu berada pada prosesnya. Seorang petani
menyerahkan seutuhnya kepada janji Tuhan. Walaupun pada realitas saat ini,
Petani sering kali ditipu oleh para pekerjanya, ditipu oleh para penjual pupuk
dan tengkulaknya.
Namun,
keyakinan seorang petani menjadi bentuk keimanannya. Terbukti, kegagalan dan
kekecewaan yang sering mereka hadapi tidak tergerumus oleh hasil yang tidak
sesuai dengan harapannya. Sebab imannya menyatakan bahwa pemeliharaan Tuhanlah
yang mencukupkan.
Benar,
saudara mungkin beranggapan bahwa petani yang saya sebutkan itu adalah petani
yang beriman. Berbeda cerita dengan para petani yang tidak beriman dan sering
kali menyerah pada proses juga hasil.
Untuk itulah,
dalam kesempatan ini saya ingin mengajak kita berefleksi bersama seteguk kopi. Adapun
filosofis ini saya dapat dari suatu kisah yang menceritakan seorang anak
laki-laki yang mengeluh pada sang ayah tentang kehidupannya yang sangat berat.
Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan bermaksud untuk menyerah. Ia
merasa capai untuk terus berjuang dan berjuang. Bila satu persoalan telah
teratasi, maka persoalan yang lain muncul.
Lalu,
ayahnya yang seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air
kemudian menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu
mendidih. Pada panci pertama dimasukkannya beberapa wortel. Ke dalam panci
kedua dimasukkannya beberapa butir telur. Dan, pada panci terakhir
dimasukkannya biji-biji kopi. Lalu dibiarkannya ketiga panci itu beberapa saat
tanpa berkata sepatah kata.
Anak
laki-laki itu mengatupkan mulutnya dan menunggu dengan tidak sabar. Ia
keheranan melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Setelah sekitar dua puluh menit,
ayahnya mematikan kompor. Diambilnya wortel-wortel dan diletakkannya dalam
mangkok. Diambilnya pula telur-telur dan ditaruhnya di dalam mangkok. Kemudian
dituangkannya juga kopi ke dalam cangkir.
Segera
sesudah itu ia berbalik kepada putrinya, dan bertanya: "Sayangku, apa yang
kaulihat?"
"Wortel,
telur, dan kopi," jawab anaknya.
Sang ayah
membawa anaknya mendekat dan memintanya meraba wortel. Ia melakukannya dan
mendapati wortel-wortel itu terasa lembut. Kemudian sang ayah meminta anaknya
mengambil telur dan memecahkannya. Setelah mengupas kulitnya si anak
mendapatkan telur matang yang keras. Yang terakhir sang ayah meminta anaknya
menghirup kopi. Ia tersenyum saat mencium aroma kopi yang harum. Dengan rendah
hati ia bertanya "Apa artinya, bapa?"
Sang ayah
menjelaskan bahwa setiap benda telah merasakan penderitaan yang sama, yakni air
yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras,
dan tegar, ternyata setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan
lemah. Telur yang rapuh, hanya memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan
di dalamnya. Namun setelah dimasak dalam air mendidih, cairan yang di dalam itu
menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah dimasak dalam air
mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.
"Yang
mana engkau, anakku?" sang ayah bertanya. "Ketika penderitaan
mengetuk pintu hidupmu, bagaimana reaksimu? Apakah engkau wortel, telur, atau
kopi?"
Bagaimana
dengan saudara?
Apakah
saudara seperti sebuah wortel, yang kelihatan keras, tetapi saat berhadapan
dengan kepedihan dan penderitaan menjadi lembek, lemah, dan kehilangan
kekuatan?
Apakah
saudara seperti telur, yang mulanya berhati penurut? Apakah engkau tadinya
berjiwa lembut, tetapi setelah terjadi kematian, perpecahan, perceraian, atau
pemecatan, Anda menjadi keras dan kepala batu? Kulit luar Anda memang tetap
sama, tetapi apakah Anda menjadi pahit, tegar hati, serta kepala batu?
Atau
apakah saudara seperti biji kopi? Apabila saudara seperti biji kopi, maka
ketika segala hal seolah-olah dalam keadaan yang terburuk sekalipun saudara
dapat menjadi lebih baik dan juga membuat suasana di sekitar saudara menjadi
lebih baik.
Jadi,
bagaimana cara saudara menghadapi penderitaan? Apakah seperti wortel, telur,
atau biji kopi?
Komentar
Posting Komentar