Mazmur 46
menjadi pengingat bagi kita yang sering kali berfikir dan merasa mampu
mengontrol segala sesuatunya. Pengingat kepada orang-orang yang berlindung pada
akal dan sehat mereka. Namun bukan, menjadi penghakiman bagi orang-orang yang
terkena bencana dan musibah. Dua hal ini yang layak untuk kita renungkan dan refleksikan
bersama dalam kondisi dan situasi sekarang ini.
Mengapa?
Pertama,
Kekhawatiran ternyata telah merasuki diri banyak orang masa kini, telah merubah
manusia bermusuh dengan manusia dan alam sekitarnya. Seolah-olah manusia lain
dan alam menjadi alat untuk mencukupi dan mengimbangi kekhawatirannya akan
kehidupan. Sedang Tuhan diabaikan menjadi label bahwa diri masih seorang beragama.
Bahkan
hal yang paling ekstrim lagi, anggapan bahwa dunia ini hanya tempat penderitaan
telah jadi sajian menarik bagi orang-orang Kristen. Seolah-olah karya dan
penyertaan Tuhan, hanya terletak di Surga, dan dunia Tuhan tidak berkuasa sama
sekali untuk memberikan kedamaian dan kenyamanan bagi orang-percaya. Ironis,
tapi ingatlah bahwa hal ini nyata dan sering menjadi sajian Gereja masa kini untuk
meninabobokan orang-orang dalam proses kehidupannya di dunia.
Kedua, Kesaksian-kesaksian
manusia masa kini akan perlindungan Allah sering kali justru menjadi
penghakiman bagi orang lain. Kita contohkan pada apa yang terjadi di Mentawai
dan Aceh. Dalam salah satu dokumentasi diperlihatkan bagaimana Gereja tetap
teguh berdiri sekalipun gelombang besar menghantam daerah Mentawai. Sebaliknya,
di Aceh terdapat bangunan yang masih tetap berdiri teguh sekalipun gelombang
besar menghantam daerah tersebut. Apakah peristiwa ini menunjukkan tentang keberpihakan
Allah pada manusia? Tentu, analogi semacam inilah yang sering merusak dan
membatasi perlindungan Allah pada manusia.
Pernahkah diantara kita berfikir bahwa terkadang, kesenangan
tidak selalu berarti menjadi perlindungan Allah dan penderitaan bisa menjadi cara
Allah untuk melindungi kita manusia.
JIKA DOSA MENDATANGKAN PENDERITAAN, MAKA SEMUA MANUSIA ADALAH
BERDOSA DAN TIDAK PERNAH MENDAPATKAN PENEBUSAN. SEBAB DALAM KEHIDUPAN, SELALU
ADA PENDERITAAN.
JIKA PENDERITAAN ADALAH BAGIAN DARI PROSES
KEHIDUPAN. MAKA MANUSIA TELAH BERPROSES DARI SEORANG BERDOSA MENJADI ORANG YANG
DITEBUS OLEH KARENA DARAH ALLAH. – AGM
Siapa
yang tidak menginginkan kesenangan, tapi siapa yang menginginkan penderitaan?
Manusia sering lupa, bahwa kesenangan adalah upah dari hikmat. Sedang
penderitaan adalah bagian dari proses pencarian hikmat. Alhasil, banyak yang
mati dalam penderitaan. Bukan karena beban yang begitu berat, sebaliknya
ketidaksanggupan untuk berproses dalam pencarian hikmat.
Jika
hidup hanya dipenuhi oleh kesenangan, maka sejatinya manusia itu tidak pernah
menikmati kesenangan. Sebab, penderitaanlah yang mendatangkan kesenangan.
Takkan pernah ada kesenangan yang muncul selain dari penderitaan. Seumpama
pahit dan manis, kedua rasa ini muncul dikarenakan adanya pembanding. Bila rasa
pahit tidak pernah ditemukan, maka manusia tidak pernah merasakan nikmatnya
rasa manis.
Dengan
kata lain, tidak ada penderitaan yang abadi dan demikian pula dengan kesenangan
abadi. Karena itu pilihan hanya terbagi menjadi dua yakni “Give Up” or “Get
Up”. Ibarat roti tadi, kita hanya
mencicipi sepotong dan merasakan tidak enak, lalu mencampakkannya. Padahal bisa
saja, bagian yang saudara cicipi itu adalah bagian pinggiran yang hambar. Ada
bagian lain dari kue yang bisa saudara nikmati. Jika saudara berusaha lebih
keras lagi, mungkin hasil yang manis akan kamu rasakan tak lama lagi.
Namun,
sanggupkah seseorang melakukannya? Sanggupkah seseorang keluar dari perasaan
putus asa ? Untuk “saat itu” juga mungkin bukanlah hal yang mudah. Karena itu
setiap orang perlu mengambil waktu untuk jeda.
Tahukah
saudara, para peneliti di Universitas Virginia mendapati bahwa kebanyakan orang
melihat kemiringan suatu bukit lebih terjal dari kenyataannya, khususnya ketika
mereka sedang lelah atau membawa barang berat. Tatkala mereka mengira
kemiringan bukit 30 derajat, ternyata kenyataannya hanya 10 derajat; dan yang
diduga memiliki kemiringan 20 derajat, ternyata hanya 5 derajat. Taksiran
mereka kerapkali salah. Mereka bahkan tak percaya dugaan mereka dapat meleset
sejauh itu. Saat kita berbeban berat dan mengalami keletihan, masalah yang
kecil sekalipun bisa tampak begitu besar sehingga sulit dipecahkan. Ketika
menghadapi ujian kehidupan, kita tergoda untuk duduk di kaki bukit yang terjal
dan berdiam diri di sana, karena lereng bukit itu tampak terlalu terjal untuk
dilalui.
Ingatlah
ini selalu kenyataan yang datang tidak sesuai dengan harapan akan diikuti
dengan Rancangan dariNya yang lebih baik untuk kita. Sesuatu yang jarang sekali
disadari, hanya karna fokus kita pada kekecewaan atas pencapaian tidak sesuai
dengan harapan. Karena itu, berhentilah memikirkan apa-apa yang belum terjadi.
Apa yang sudah terjadi saat ini juga membutuhkan solusi.
Komentar
Posting Komentar