Seorang
anak muda Kristen meminta seorang Kristen lain yang lebih dewasa secara rohani
untuk mendoakannya agar menjadi lebih sabar. Maka orang itu pun berlutut dan
berdoa, "Tuhan, kirimkanlah kesengsaraan kepada anak muda ini di pagi
hari; kirimkanlah kesengsaraan kepadanya di sore hari; kirimkanlah...."
Sampai di situ anak muda tadi segera memotong, "Tidak, tidak, saya tidak
meminta Anda untuk mendoakan saya agar diberi kesengsaraan. Saya minta didoakan
agar saya diberi kesabaran." "Ah," orang Kristen yang bijak itu
menanggapinya, "justru melalui kesengsaraanlah kita belajar
bersabar."
Menarik
ya? Setiap penderitaan mengajarkan kesabaran dan kehidupan jadi pelatih untuk
setiap orang mendapatkan kesabaran.
Namun
siapa yang dapat bertahan?
Saudaraku,
mungkin diantara kita pernah mendengar mengenai ilustrasi iman seperti bambu
cina. Bambu yang tidak akan menunjukkan pertumbuhan berarti selama 6-7 tahun
pertamanya, mungkin hanya tumbuh beberapa puluh cm saja. Namun setelah waktu
tersebut, pertumbuhan bambu cina tidak dapat dibendung, bambu itu akan tumbuh
begitu cepatnya dan ukurannya bahkan bukan hitungan cm lagi melainkan bermeter
meter.
Hal tersebut
dimungkinkan terjadi, dikarenkan selama 6-7 tahun, pertumbuhan terjadi dan
terfokus pada akar. Atau dengan kata lain tumbuhan ini sedang menyiapkan
pondasi yang kuat agar ia bisa menopang ketinggiannya yang berpuluh-puluh
meter. Sehingga ketika pertumbuhan bambu telah sangat tinggi, akarnya akan
sangat kuat untuk membuat bambu tersebut tidak patah sekalipun diterpa oleh
angina yang sangat kencang.
Kira-kira
demikianlah ilustrasi tersebut menjelaskan pembangunan dan pertumbuhan iman
seorang Kristen, tentu dengan dasar yang kuat yakni Firman Tuhan. Dasar yang
menempah dan membentuk pribadi setiap orang Kristen untuk memiliki pondasi yang
benar-benar kokoh. Sehingga, dikala kesengsaraan datang, orang-orang beriman
tidak akan jatuh dan imannya tidak akan patah.
Demikianlah
Renungan ini memperlihatkan bahwa Habakuk dapat memuji dan mengucap syukur
dalam kesengsaraanya dikarena iman. Dengan kata lain, ketika seorang Kristen mengalami
penderitaan maka ia akan menyadari bahwa hal tersebut tidak menggoyahkan
dirinya dan justru membentuk dirinya.
Namun,
apakah demikian yang terjadi? Tidak
Seringkali
anggapan “iman” menjadi seperti kartu ekslusif untuk kita manusia tidak lagi
mendapati penderitaan. Kita berfikir bahwa iman mengeluarkan diri kita dari
kesusahan. Padahal tidak demikian, bahkan hal tersebut sangatlah tidak mungkin.
Siapa
yang tidak menginginkan kesenangan, tapi siapa yang menginginkan penderitaan?
Manusia sering lupa, bahwa kesenangan adalah upah dari hikmat. Sedang
penderitaan adalah bagian dari proses pencarian hikmat. Alhasil, banyak yang
mati dalam penderitaan. Bukan karena beban yang begitu berat, sebaliknya
ketidaksanggupan untuk berproses dalam pencarian hikmat.
Jika
hidup hanya dipenuhi oleh kesenangan, maka sejatinya manusia itu tidak pernah
menikmati kesenangan. Sebab, penderitaanlah yang mendatangkan kesenangan.
Takkan pernah ada kesenangan yang muncul selain dari penderitaan. Seumpama
pahit dan manis, kedua rasa ini muncul dikarenakan adanya pembanding. Bila rasa
pahit tidak pernah ditemukan, maka manusia tidak pernah merasakan nikmatnya
rasa manis.
Dengan
kata lain, tidak ada penderitaan yang abadi dan demikian pula dengan kesenangan
abadi. Karena itu pilihan hanya terbagi menjadi dua yakni “Give Up” or “Get
Up”. Ibarat roti tadi, kita hanya
mencicipi sepotong dan merasakan tidak enak, lalu mencampakkannya. Padahal bisa
saja, bagian yang saudara cicipi itu adalah bagian pinggiran yang hambar. Ada
bagian lain dari kue yang bisa saudara nikmati. Jika saudara berusaha lebih
keras lagi, mungkin hasil yang manis akan kamu rasakan tak lama lagi.
Tentu,
banyak kita memahaminya, namun bagaimana kenyataanya? Seringkali manusia menjadi
sangat tidak sopan, khususnya ketika dirinya mendapati penderitaan. Bahkan hal
yang paling tidak sopan yakni mempertanyakan keberadaan Tuhan saat penderitaan
datang menghampiri kita.
Layakkah kita
mempertanyakanya? Coba renungkan ini, seorang Bapak mendapatkan penderitaan
dalam kehidupannya. Lalu anak-anaknya melihat bagaimana Bapak tersebut
menangisi kehidupan dan mencoba melarikan diri dari penderitaan tersebut dengan
narkoba dan minuman keras lainnya. Alhasil, anak itu berkembang dan menjadi
seorang yang sering mengeluhkan kehidupannya. Berbeda halnya dengan seorang
Bapa lain, dalam penderitaan yang dialami keluarganya IA menghadapi hal
tersebut dan berusaha mengajarkan kepada anak-anak tentang realita kehidupan
ini. Alhasil anak-anak itu tidak pernah lari dari masalah dan memiliki mental
kuat dalam kehidupannya. (bdk. Mat 11:28-30)
Demikianlah,
Bapa kita mengajarkan kita anak-anakNya. Tapi benarkah kita mau mempelajarinya?
Komentar
Posting Komentar