Albert
Nolan mengungkapkan diri Yesus dalam cirinya yang memiliki ‘kesatuan’ atau ‘ketunggalan’,
yakni Kesatuan dengan Allah, diri sendiri, sesama, dan alam ciptaan. Namun
semuanya itu tidak dapat dipisah-pisahkan karena mereka adalah satu, dan
dialami bersama-sama sebagai satu. Kesatuan inilah pengalaman tingkat tertinggi
dalam dunia mistik.[1]
1. Satu
dengan Allah
Banyak
mistikus Kristen yang mengalami Allah tanpa kata, nama, ide atau pengetahuan,
atau disebut mistisime apopatik. Prosesnya melalui unknowing dengan meninggalkan semua gambaran kita akan Allah, semua
yang kita ketahui tentang Allah.[2]
Karena Allah bukanlah sebuah objek pengetahuan, mestinya melampaui semua
gambaran kita mengenai Allah. Karena Allah adalah Sang Misteri, tidak diketahui
dan tidak dapat diketahui, dan apa yang kita pikir kita tahu ternyata jauh dari
sempurna, bahkan kita juga mulai menemukan betapa misteriusnya diri kita dan
betapa misteriusnya seluruh ciptaan Allah.[3]
Belajar
dari kemanusiaan Yesus, terdapat
kesadaran bahwa Allah adalah tidak jauh tetapi dekat, sangat dekat. Itu
sebabnya relasi Yesus dengan Allah adalah relasi yang sangat dekat dan
mendalam. Penggunaan kosa kata keluarga seperti Bapa menyatakan bahwa Allah
begitu dekat dengan-Nya. Kedekatan-Nya dengan Allah membuat-Nya berani
berbicara bahwa Kerajaan Allah sudah dekat dan ada di tengah-tengahmu. Yesus
memiliki kesadaran penuh bahwa Allah di sini dan sekarang ini. Para mistikus
Sufi Islam berkata “Allah adalah lebih dekat padaku daripada urat merihku”,
bahkan Meister Eckhart mengamini “Allah lebih dekat kepadaku daripada diriku
sendiri”.[4]Namun
menurut Nolan Allah tidak hanya lebih dekat dengan diri saya daripada diri saya
sendiri, Allah justru satu dengan saya. Kesadaran akan kesatuan misterius ini
ada pada pusat setiap pengalaman mistik. Namun, kesadaran akan kedekatannya
bersama dengan Allah, tampaknya bisa sedikit dicurigai. Sebab kesadaran yang
demikian juga bisa mengakibatkan pada tindakan untuk melarikan diri dari dunia
dan menganggap dunia ini salah. Selayaknya kaum Esseni yang menjauhi kehidupan
kala itu, dan membentuk kehidupannya sendiri dengan kebenarannya sendiri pula.
Untuk
menjwab hal ini, Albert Nolan melihat kesatuan Yesus dengan Allah terlihat
ketika Dia mengidentikkan diri-Nya dengan Allah sebagai yang lembut, berbelas
kasih, pengasih, pelayan, dan Yesus yakin dan tegas dalam berkata dan bertindak
sebagai sosok yang Ilahi seperti itu.[5] Selain
dekat, Yesus meyakini bahwa Allah mengasihi kita, kasih Allah yang tanpa syarat
merupakan dasar spiritualitas Yesus. Itu artinya ada Sang Misteri yang dekat
dengan kita sekaligus mengasihi kita. Kita menyadari bahwa misteri dimana saya
hidup, bergerak, dan berada tidaklah memusuhi saya. Ia lebih perhatian kepada
saya dibandingkan diri saya sendiri. Itu artinya kita tidak perlu dilumpuhkan
oleh ketakutan, sebab kita dipelihara dalam segala situasi. Bahkan apa pun yang
terjadi akan menjadi yang terbaik. Karena kita dikasihi tanpa batas, sebab kita
satu dengan keutuhan misteri kehidupan. Dari kesatuan ini kita mengerti bahwa
Allah mengasihi kita seperti Ia mengasihi diri-Nya sendiri, sebab kita adalah
satu dengan-Nya[6].Sehingga
jelaslah dari hal ini, bahwa kecenderungan akan kehidupan seperti kaum Esseni
dapat dikurangi, bahkan ditutupi degan mengindetikkan diri pada Allah yang
kasih dan turut campur dalam bela rasanya pada dunia.
2. Satu
dengan Diri Sendiri
Kesatuan
dengan diri kita berarti kita juga mencintai diri kita, karena tantangan
spiritualitas Yesus adalah untuk ‘mengasihi sesama seperti dirimu sendiri’.
Cinta terhadap diri sendiri bukan berarti egois atau terpusat pada diri
sendiri. Karena egois mendahulukan diri sendiri dari pada orang lain. Namun di sini kita diundang untuk berdamai
dengan diri kita sendiri, sebagaimana Yesus damai dengan diri-Nya sendiri dan
memeluk seluruh kebenaran mengenai diri-Nya. Ia tidak hidup dalam sebuah
konflik batin, itu sebabnya mengapa Ia integral dengan diri-Nya sendiri. Dia
sungguh mengasihi siapa Dia dan orang apakah Dia itu. Pengalaman mendalam bahwa
Ia dikasihi oleh Bapa-Nya berarti bahwa Dia mengalami diri-Nya sebagai yang
pantas dikasihi.[7]
Sebagaimana Yesus kita juga dikasihi oleh Allah tanpa syarat, bahkan Ia
mengasihi kita lebih daripada kita mengasihi diri kita sendiri. Bahkan karena
kasih Allah tanpa syarat inilah kita melihat mengapa Yesus juga melakukan hal
yang sama kepada setiap orang yang Ia jumpai, tak terkecuali siapapun itu.
Tantangan
kita ialah belajar mengasihi diri kita tanpa syarat, yaitu menerima diri kita
sebagaimana adanya. Bahkan kita pun harus belajar untuk mengampuni diri
sendiri, terlebih kesalahan-kesalahan di masa lampau. Kita pun harus belajar
menerima kelemahan-kelemahan kita, keterbatasan-keterbatasan kita, dan juga
rasa malu kita. Ini semua hendak berbicara tentang bagaimana kita memeluk dan
mencintai sisi gelap sebagai bagian dari diri kita. Proses seperti ini sama
seperti yang diungkapkan oleh Jung mengenai mengintegrasikan sisi gelap kita
dengan kepribadian kita.[8]
Menjadi
damai dan satu dengan diri kita sendiri tidaklah mungkin tanpa belajar untuk
mengasihi tubuh kita dengan segala kerentanannya, memeluk keunikan di dalam
diri kita,[9]baik
itu kekurangan ataupun kelebihan di dalam diri kita, apapun itu. Bahkan kitapun
mau memeluk kematian kita, karena cepat atau lambat kita akan mati. Kesadaran
akan kematian ini akan membuat keegoisan kita dapat dipangkas sedemikian
efektifnya. Itulah sebabnya Yesus bebas, karena Dia telah memeluk kematian-Nya.
Dia berdamai dengan diri sendiri antara lain karena Dia berdamai dengan
kematian-Nya.[10]
3. Satu
dengan Sesama
Kesatuan
dengan sesama manusia dapat dilihat dari Yesus. Kasih-Nya akan sesama dan Allah
secara jelas merupakan pusat spiritualitas-Nya. Untuk dapat sampai pada tahap
yang dihidupi Yesus, dibutuhkan sebuah perubahan fundamental kesadaran,
bagaimana kita melihat sesama manusia. Permasalahan yang kerap muncul adalah
bahwa keegoisan kita memperlakukan setiap orang, bahkan mereka yang dekat
dengan kita, sebagai objek untuk dipergunakan, dimiliki, dibenci, dan ditolak.
Mereka menjadi objek-objek kepentingan. Padahal kita dapat belajar untuk
melihat sesama sebagai pribadi seperti saya, atau perluasan diri saya, sebagai
pribadi yang lebih besar, sebagai sesama yang mengasihi, sesama adalah bagian
dari darah dan daging kita sendiri, keluarga yang satu. Hal ini membuat
mengasihi sesama akan lahir secara natural dan spontan seperti kita mengasihi diri
kita sendiri. Termasuk musuh kita pun adalah pribadi yang perlu kita kasihi.
Jika kita sadar orang lain sebagai pribadi, sebagai subjek, satu daging kita
mengalami sejenis kesatuan dengan mereka.[11]
Inilah intimitas, yaitu kedekatan yang memampukan kita membagikan diri kita,
perasaan-perasaan kita, atau keunikan-keunikan kita. Dari sini Nolan mengajak
kita untuk dapat menyadari bahwa pentingnya mengidentifikasikan diri kita
dengan orang lain, sebagaimana Yesus “Apa pun yang kau perbuat untuk saudaraku
yang paling hina ini, ini kaulakukan untuk-Ku.” Apa pun yang dilakukan untuk
setiap manusia dialami oleh Yesus sebagai sesuatu yang dilakukan untuk
diri-Nya, sebagai diri yang lain. Ini adalah sebuah tantangan bagi pengikut
Yesus untuk mengidentifikasikan diri seutuhnya dengan semua saudara-saudari
umat manusia sehingga dapat berkata “Apa pun yang kau lakukan bagi setiap orang
dari mereka, kau lakukan untukKu! Dengan kata lain, identitas saya adalah diri
yang lebih besar dari umat manusia.[12]
Jika kita menghargai akan kesatuan ini maka empati dan solidaritas kita akan
bertumbuh. Solidaritas ini membawa kita pada semangat berbagi, kita berangkat
dari titik bahwa kita satu daging, berbagi menjadi sealamiah memberi makan pada
anak-anak kita.[13]
Dengan
hal demikian sebagai warga berkebangsaan yang hidup bersama-sama dengan
masyarakat lainnya, di dalam Gereja atau di luarnya, dari kristoogi yang
dihidupi ini membuat kita bisa sampai pada pengalaman akan sesuatu tentang apa
artinya diperlakukan sebagai pribadi dan memperlakukan orang lain juga sebagai
pribadi dengan kasih yang timbul secara spontan. Dari dasar semacam ini juga
kita akan sampai pada semua sesama kita manusia, dalam solidaritas dan dalam
kasih.
4. Satu
dengan Alam Semesta
Kesatuan
Yesus sangat dalam dengan Allah, namun Ia tidak hanya mengidentifikasi diri
dengan semua manusia, melainkan juga dalam kesatuan-Nya dengan alam. Yesus
tidak mengalami alam sebagai sebuah sumber untuk dieksploitasi, atau sebagai
sebuah mesin untuk dimanipulasi. Yesus mengalami diri-Nya sebagai satu bagian
dari alam, termasuk manusia-manusia, sebagai ciptaan Allah. Dia hidup dalam
sebuah harmoni yang sempurna dengan alam dan dengan diri-Nya sendiri.[14]Fransiskus
Asisi juga menghidupi hal yang sama ia mengasihi burung-burung dan bunga-bunga,
matahari dan bulan, batu dan hutan sebagai saudara dan saudarinya. Bahkan
kepada manusia terutama orang lapar dan penderita kusta, sikap ini mengalir
dari pengalaman kesatuan dengan Allah dan semua ciptaan-Nya.
Dalam
spiritualitas mistik, mengidentifikasi alam dan semesta sebagai sebuah keutuhan
merupakan bagian esensial. Tidak ada cara di mana saya menemukan identitas
saya, diri sejati saya, selain berkontak atau memiliki pengalaman dengan alam.
Karena kita adalah bagian dari alam; kita ini menjadi milik sebuah komunitas
makhluk hidup yang lebih besar. Matahari adalah saudara kita, bulan adalah
saudari kita, dan bumi adalah ibu kita. Kita menjadi milik dari keluarga besar
seluruh ciptaan.[15]
Jika
kita tidak menyadari kesatuan ini, maka kita hanya akan melanjutkan kebudayaan
baru akan terpisahnya orang dengan alam, seperti dunia industri yang banyak
melakukan pengeksploitasian dengan motif
egois terhadap alam. Nolan mengetengahkan pendapatnya bahwa dibutuhkan sebuah
paradigma yang baru akan alam, kita tidak hidup di alam semesta, tetapi kita
adalah bagian dari proses alam semesta. Itu sebabnya Nolan menyadari dinamika
alam semesta sebagai kesatuan, maksudnya semua hal berasal
dari sebuah singularitas yang satu dan kecil yang darinya muncul sebuah ledakan
energi yang dahsyat, Big Bang. Itu
sebabnya sebagai makhluk hidup, kita menjadi bagian dari keluarga dekat
organisme-organisme hidup yang berevolusi satu dari yang lain sepanjang empat
miliar tahun terakhir, kita merupakan produk dari sebuah proses yang sangat
spektakuler dari benda-benda dan roh-roh yang berkembang, kita satu dengan
semuanya.[16]
Itulah yang membuat semua bagian alam semesta memiliki keterhubungan dan
kesalingtergantungan. Dinamika kedua adalah keragaman,
alam semesta bukanlah impelementasi sebuah cetak biru yang sudah dirancang
sebelumnya, melainkan sebuah kreativitas artistik yang mengagumkan yang terus
menerus berlangsung, karena itulah, setiap orang dari kita unik. Kita (alam)
adalah sebuah karya seni yang unik, bukan sebuah produk masal.[17]
Selain itu dinamika ketiga adalah
subjektivitas, bahwa alam semesta
bukanlah objek-objek tetapi subjek-subjek atau seperti sistem-sistem yang
mengorganisasikan diri. Kita merupakan
bagian dari alam semesta, sebagai subjek-subjek yang berpartisi di dalam
subjektivitas alam semesta. [18]
Kesatuan
dengan Allah, diri sendiri, sesama dan alam semesta membentuk sebuah
keseluruhan tanpa sambungan, tidak dapat dipisahkan. Kesatuan ini sebenarnya
membawa kita pada sebuah pengalaman
tanpa sambungan dari keterpusatan pada diri dan isolasi menuju kesatuan dengan
semua. Gerakan itu merupakan gerakan dari keterpisahan ke kesatuan, dari
egoisme ke kasih, dari ego ke Allah.[19] Kesatuan
inilah yang dihidupi oleh Yesus.
Bagi
Nolan Allah pun mengalami kesatuan dengan Alam semesta, tetapi hal itu bukan
dialami sebagai Ia yang adalah bagian ciptaan, melainkan Sang Subjek yang
mencipta alam semesta. Dari pengalaman ini kita dapat mengontemplasikannya
sehingga timbul kesadaran bahwa kita dengan Allah dan alam semesta adalah satu,
dan tak terpisahkan.
Dari
pengalaman kesatuan Yesus dengan Allah, dirinya, sesama manusia, alam semesta
Nolan menawarkan kepada kita untuk bergerak pada kebebasan radikal yang
dimiliki oleh Yesus dalam melakukan kehendak Allah. Dari sinilah komitmen untuk
mengasihi terhadap sesama manusia dan ciptaan itu dapat bertumbuh.
[1]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 208.
[2]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 211.
[3]Albert
Nolan, Harapan di tengah Kesesakan Masa
Kini, h.40.
[4]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 214.
[5]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 216.
[6]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 217.
[7]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 222-223.
[8]Albert
Nolan, Jesus Today, h 224.
[9]Keunikan
membawa manusia pada peran yang berbeda-beda dalam kelangsungan misterius
semesta ini, Keunikan inilah yang disadari Yesus ada pada setiap individu.
Yesus tidak memandang orang di depan-Nya hanya sebagai seorang pengemis, atau
hanya sekedar sebagai prajurit Romawi, atau hanya sebagai seorang Farisi, atau
juga hanya sebagai seorang pemuda kaya. Yesus melihat mereka sebagai
individu-individu yang unik. Itulah sebabnya mengapa Yesus dapat mengasihi
setiap orang dari mereka tanpa memandang label-label yang mereka miliki, tanpa
memandang penampilan, derajat, status atau juga dosa mereka. Yang
diperhitungkan Yesus adalah pribadi yang unik ( Albert Nolan, Jesus Today, h.229)
[10]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 232.
[11]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 235-236.
[12]Albert
Nolan, Jesus Today, h.239.
[13]Albert
Nolan, Jesus Today, h.245.
[14]Albert
Nolan, Jesus Today, h 250.
[15]Albert
Nolan, Jesus Today, h 252.
[16]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 256.
[17]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 258.
[18]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 259.
[19]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 260.
Komentar
Posting Komentar