Kalau
kita berbicara tentang Hak Azasi Manusia, sampai saat ini masih banyak
pelanggaran yang terjadi dalam kehidupan kita, terutama kepada perempuan dan
anak. Sebagai contoh pelecehan seksual, pemerkosaan guru terhadap
murid-muridnya. Kejahatan-kejahatan dengan berkedok agama, misalnya penggelapan
dan penipuan donasi dengan cara mengeksploitasi penderitaan orang lain.
Termasuk kebebesan beribadah kaum minoritas sampai saat ini masih dihambat. Dan
masih banyak lagi kasus-kasuh pelanggaraan HAM yang terjadi di Indonesia. Dari
peristiwa-peristiwa tersebut, tentu akan berakibat pada krisis kepercayaan
masyarakat terhadap aparat hukum.
Terlihat
dari beberapa tindakan-tindakan terorisme yang mengatasnamakan HAM sangat marak
dilakukan, termasuk aliran WAHABI yang sangat keras berbicara terorisme, akibat
dari krisis kepercayaan ini. Namun apakah itu berhasil? Faktanya aliran Wahabi
yang telah melakukan kegiatan tersebut, meninggalkan peperangan di beberapa
negara.
Hal ini
mengingatkan saya tentang kisah seorang Hakim Agung bernama Byron White. Ia
sedang berada di Salt Lake City untuk berpidato, ia diserang oleh seorang pria
yang marah. Tersangka mengatakan bahwa ia menyerang hakim itu karena
keputusan-keputusannya di Pengadilan Tinggi. Ia berkata, "Hakim White
menyebabkan sumpah serapah memasuki ruang keluarga saya melalui televisi."
Untuk merasionalisasi serangannya, ia melanjutkan, "Satu-satunya cara yang
saya ketahui untuk menghentikan hal itu adalah dengan mendatangi
sumbernya."
Di
situlah letak kesalahan pria itu. Tentu, ia berhak menyuarakan pendapatnya yang
keras. Ia bahkan dibenarkan untuk marah jika ia yakin keputusan pengadilan
mendorong imoralitas. Namun, sikap yang ia pilih untuk mengungkapkan
kemarahannya sama buruknya, bahkan lebih buruk, dengan keputusan pengadilan
yang salah.
Kembali pada teks, Setelah bangsa
Israel menerima 10 hukum Tuhan dari Tuhan melalui Musa di Gunung Sinai, Tuhan
memberikan aturan-aturan lainnya (Aturan tentang kebaktian 20:22-26, peraturan
tentang jaminan nyawan sesama manusia 21:12-36, Aturan tentang jaminan harta
sesama manusia 22:1-17, Peraturan tentang dosa yang keji, Peraturan tentang
orang yang tidak mampu, peraturan tentang hak-hak manusia 23:1-13). Dan
renungan kita merupakan bagian dari peraturan tentang orang yang tidak mampu.
Tuhan
memanggil bangsa Israel menjadi bangsa pilihanNya agar menjadi umat yang kudus.
Implikasi langsungnya adalah umat harus memiliki gaya hidup yang berbeda dengan
bangsa lain; pola hidup, pola beribadah, pola makan, dll. Sudah pasti, ketika
hal ini dilakukan bisa saja membuat bangsa Israel menjadi eksklusif, di mana
perbedaan gaya hidup ini membuat sekolompok manusia memandang kelompok manusia
lainnya sebagai kelompok manusia yang lebih rendah karena gaya hidup yang
berbeda. Tetapi bukan hal ini yang diinginkan Tuhan. Kalaupun persoalan ini
muncul, hal itu harus diatasi. Tetapi Tuhan menginginkan gaya hidup yang lebih
baik sebagai umat Tuhan.
Aturan
yang diperintahkan Tuhan dalam teks kita, supaya bangsa Israel jangan menindas
atau menekan seorang asing,seorang janda/anak yang yatim. Sabab bangsa Israel
dahulu pun adalah orang asing di tanah Mesir. Artinya, sikap etis terhadap
orang lain didasarkan pada ingatan kolektif bahwa mereka pun dulu pernah
menjadi umat yang tertindas. Tuhan menghendaki agar umatNya berempati kepada
orang-orang yang tersingkir dalam masyarakat, yaitu janda, anak yatim, orang miskin.
Ketika hal itu dilanggar, jelas Tuhan mengatakan, Tuhan yang akan menjadi lawan
dari umatnya sendiri. Tuhan akan mendengar seruan orang-orang yang tertindas
ini, jika mereka berseru-seru kepada Tuhan dengan nyaring (band. Pengalaman
bangsa Israel ps. 2:23b dan mereka berseru-seru sehingga teriak mereka minta
tolong karena perbudakan itu sampai kepada Allah).
Lalu
bagaimana?
Jelasnya
Paulus pernah menyampaikan, “ Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang
hidup untuk dirinya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya
sendiri……………… Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu?” (Bdk Roma
14:7-9)
Berdasarkan
hal ini, kegiatan aplikatif yang perlu dan seharusnya kita lakukan hanyalah
melakukan kebaikan dengan tulus, lalu memberikan hak penghakiman kepada Tuhan.
Alhasil, perjuangan kita bukan untuk menghakimi sebaliknya melakukan kebenaran
dan menyuarakannya secara konsisten dalam kehidupan kita sebagai orang percaya.
Tapi
lebih daripada itu, mari kita kembali bertanya pada diri kita masing masing;
sudah benarkah Gereja kita dalam menjaga
HAM? Atau justru hal sebaliknya yang terjadi. Gereja menjadi tempat yang justru
sangat kurang dalam mejaga HAM. Terbukti dengan kegiatan kegiatan seperti;
·
Menganggap segelintir
jemaat sebagai “tukang kritik” dan berdosa
·
Memilih-milih pelayanan yang
ditujukan pada segelintir umat saja
·
Gereja menjadi asing
terhadap perekonomian dan sosial masyarakat
· Gereja hanya menjadi
penenang bagi umat yang mengalami KDRT, Pelecehan Seksual dan beberapa kasus HAM
lainnya.
·
Gereja tidak bersuara pada
perekonomian umat
· Gereja tidak terbuka pada
persoalan-persoalan masyrakat dan memilih untuk bungkam dalam kasus-kasus
pelanggaran HAM.
·
dsb
Jadi
bagaimana?
Komentar
Posting Komentar