Saudaraku,
izinkan saya bertanya kepadamu. Sekiranya, hari ini aku berbicara tentang
Firman Tuhan dan Berdoa untukmu. Apakah yang engkau pilih, makanan keras atau
halus? Jika makanan keras yang saudara pilih maka izinkanlah aku berdoa untukmu;
Tuhan
yang baik dan penuh belas kasih
Melalui
tulisan ini, aku ingin berdoa bagi pembacaku
Sekiranya
Tuhan memberikan pengarahan dan petunjuk kepadanya
Apabila
dirinya masih tidak mau bertobat, maka pukulah dia dengan tongkatMu
Agar
dia mengerti dan datang kepadaMu
Sekiranya
dia tidak juga bertobat. Tunjukkanlah belas kasihanMu
Pukullah
dirinya kembali, agar dia datang kepadaMu.
Amin..
Kira-kira,
demikianlah doa seorang Nabi Mikha bagi Bangsa Israel yang tegar tengkuk. Pada
ayat 14, ditulis tentang Gembala dan tongkatnya. Seorang Gembala dengan
tongkatnya sering digunakan bukan hanya untuk mengarahkan, tetapi juga memukul dombanya
sampai kakinya patah. Demikianlah kebiasaan para Gembala masa itu, setelah memukul
dombanya dengan tongkatnya maka Gembala akan menggendong domba itu. Demikian
juga lukisan-lukisan yang terkenal tentang Yesus dan dombanya yang digendong.
Hal
yang menarik dan tampaknya sulit diterima oleh banyak orang, ketika dia harus
belajar untuk berjalan kembali, agar dapat diarahkan oleh Tuhan. Mengapa?
Karena penderitaan tidak pernah diinginkan oleh siapapun. Tapi dalam perikop
tersebut, Nabi Mikha berdoa agar Tuhan memberikan pelajaran itu kepada
bangsanya. Sesuatu yang bagi saya, sebenarnya tidak mungkin didoakan di atas
mimbar untuk jemaat yang tegar tengkuk. Tetapi kenyataanya, justru hal ini
sering terjadi dan kerap dilakukan untuk kepentingan pribadi bukan dasar Firman
Tuhan.
Karena
itu, hari demi hari perkembangan Gereja-Gereja yang kerap melakukan tindakan-tindakan
semacam ini justru menghambat perkembangan dari Gereja tersebut. Nah,
bagaimana keadaan Gereja saudara? Coba evaluasi kembali, jangan-jangan………….. ???
Berbicara
tentang kehidupan Mikha juga menarik, mungkin bila dibandingkan dengan
pengalaman Yunus di Niniwe. Hal ini tentu akan jadi berbeda, karena Yunus pasti
akan membiarkan Bangsa Israel sampai pada kehancuran karena tegar tengkuknya. Seumpama
orang-orang yang telah sakit hati dan meninggalkan Gerejanya, demikianlah Yunus
akan menatap kehancuran dari Gereja tersebut. Sedang Mikha, dia tetap memohon
belas kasih Tuhan. Walaupun seperti yang telah dibahas sebelumnya, permohonan
Mikha itu unik.
Bagaimana
dengan saudara saat ini? Apakah saudara memilih menjadi Yunus untuk membiarkan
Tuhan menghancurkan Gereja yang telah berbuat salah kepada saudara? Atau sebaliknya,
saudara justru mengambil pilihan untuk bertobat dan setia dalam pelayanan saudara
yang sering justru membuat saudara sering sakit hati dan menangis?
Atau
kita ambil kondisi yang tidak terlalu ekstrim. Misalnya, ketika saudara sebagai
Gereja yang berada ditengah-tengah Masyarakat yang memiliki kesenjangan ekonomi
dan Pendidikan. Sebagai, Gereja apa tindakan saudara untuk mereka?
Saya
teringat tentang kisah Paulus dalam Kisah Para Rasul 22:17-29 dan Para Misionaris
Belanda di masa Penjajahan. Kedua kisah ini menarik, karena mereka dianggap
berbicara kepada orang lain yang mencurigai diri mereka dikarenakan masa lalu
atau misionaris Belanda dengan anggapan sebagai penjajah. Namun, apakah mereka
berhenti? Tidak, mereka terus memberikan dirinya sampai Injil diberitakan.
Bagaimana
tantangan kita dalam pelayanan? Seberat apa yang kita alami saat ini? Saya tidak
ingin membandingkan dengan tokoh alkitab lainnya, namun jika memang itu sangat
berat bersyukurlah karena saudara telah benar-benar melayani Tuhan. Sebab
hanya, mereka yang memikirkan, memberitakan dan mengajarkan Firman Tuhanlah yang
merasakan beban tersebut. Namun, tetap perlu diingat bahwasanya beban itu bukan
untuk dipikul dengan otak. Tapi pikulah dalam iman bersama Tuhan agar beban itu
terasa ringan dan nyaman,
Tentu,
saya juga tidak ingin berhenti pada nasihat-nasihat klise seperti ini saja. Pertanyaan reflektif yang
paling penting untuk saat ini kita refleksikan adalah, “Bagaimana kehadiran
Gereja bagi jemaat juga masyarakat diambang krisis yang semakin nyata terlihat?”.
Apakah Gereja melulu hanya berbicara tentang rohani saja, dan diam dalam retorika-retorika
belaka? Atau Gereja kembali pada masa lampau Bait Allah mula-mula yang menjadi wadah
untuk bicara tentang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan agama? Atau Gereja
masih terlalu asing melihatnya?
The world looks at preachers out of church to know what they mean in it.
Richard Cecil
Komentar
Posting Komentar