Sepanjang pelayanan
saya, pernah sekali terjadi peristiwa yang menyedihkan. Bagaimana seorang Ibu
yang telah mengharapkan seorang anak laki-laki dalam keluarganya. Tapi, justru
diambil kembali atas kehendak Tuhan. Tentu, hal yang wajar bagi saya ketika Ibu
tersebut mengalami kesedihan yang berlarut-larut atas peristiwa kematian
anaknya. Namun proses pemulihan panjang itu, tetap Tuhan nyatakan dan tunjukan
dalam diri seorang ibu tersebut. Lalu bagaimana dengan seorang Maria?
Seperti kita ketahui, di
peristiwa penyaliban Yesus terdapat ‘perempuan-perempuan yang melihat dari
jauh’ menurut Injil Matius dan Markus adalah perempuan-perempuan yang mengikuti
Yesus, di antaranya disebutkan namanya, yaitu Maria Magdalena, Maria ibu
Yakobus dan Yusuf (atau disebut juga Yoses) dan ibu anak-anak Zebedeus.
Sedangkan Injil Lukas tidak menyebutkan nama, hanya mengatakan informasi secara
umum bahwa semua orang yang mengenal Yesus berdiri jauh-jauh namun melihat
semuanya itu. Maka, jika diperhatikan, tidak disebutkan secara khusus di
ayat-ayat tersebut (di Injil Matius Markus dan Lukas), nama Maria ibu Yesus dan
Yohanes Rasul. Injil Yohanes-lah yang menulis secara lebih jelas, tentang di
manakah mereka berdiri, yaitu di dekat salib Yesus
Bisa membayangkan,
bagaimana kuatnya seorang Maria melihat Yesus dibunuh di depan matanya sendiri?
Apakah Maria benar-benar sekuat itu? Tentu, beberapa penafsir berpendapat demikian
tenangnya Maria pada peristiwa tersebut. Namun saya memiliki keyakinan, bahwa
Maria juga manusia. Ia tentu mengalami trauma atas peristiwa penyaliban
tersebut.
Justru yang menjadi
menarik pengakuan atas kemanusian seorang Maria, ketika kita bertanya tentang “Apa
yang membuat Maria pulih dari pengalam traumatis tersebut?”
Orientasi iman yang
seringkali kita hidupi sebagai tindakan iman, terarah pada “trauma kisah Jumat
Agung,” sehingga kita membiarkan kuasa kuasa kematian mencabik-cabik realitas
kehidupan kita. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau beberapa diantara kita
dikuasai oleh pengalaman-pengalaman traumatis sepanjang hidup kita. Sering kali
kita menjumpai orang-orang yang kehilangan makna hidupnya secara tragis karena
kehilangan seseorang yang mereka kasihi sehingga memilih mengakhiri hidupnya
atau menghancurkan kehidupan orang lain. Berulangkali kita menjumpai berita
orang-orang yang bunuh diri di tengah-tengah kesulitan dan persoalan kehidupan.
Mereka telah kehilangan arti dan tujuan hidup serta harapan. Iman paskah bukan
hanya mampu menyikap realitas ketiadaan dengan penuh makna, namun juga mengubah
ketiadaan ke dalam hidup abadi bersama Kristus yang bangkit. Dengan iman
paskah, seharusnya kita bisa memperbaharui diri dari situasi ketiadaan menjadi
ciptaan baru di dalam Kristus.
Nah, pertanyaannya?
Apakah kita mau mengimani hal tersebut?
Menarik dengan
pernyataan dalam kitab Yesaya 53:5, disebutkan “tetapi dia tertikam oleh karena
pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang
mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh
bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”
Menarik
ketika kita melihat, bagaima penulis Surat 1 Petrus 2:24-25 mengenai ayat ini;
demikian :
Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya
kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh
bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah
kembali kepada gembala dan pemelihara
jiwamu.
Bayangkan saja, betapa
banyak diantara kita yang mempertontonkan kekerasan, mendramatisirkan
penyaliban, dan membicarakan kematian Yesus. Tapi, adakah kita yang sembuh?
Atau maukah kita sembuh?
Sembuh yang bukan hanya
sekedar dari menghilangnya penyakit. Tapi kesembuhan jiwa karena Tuhan telah
mengampuni dan memelihara. Kesembuhan dari trauma yang saudara alami dari
setiap kejadian yang begitu mengerikan dalam hidup saudara? Atau, kesembuhan
dari perasaan bersalah dalam diri saudara? Maukah kita datang kepadaNya dan
menyerahkan kesemuanya kepada Yesus?
Komentar
Posting Komentar