Apakah saudara
terkejut? Ketika seorang Paulus menyampaikan bahwa dirinya pernah mengeluh dan
sampai berputus asa dalam pelayananya? Koq bisa ya? Tapi kenapa tidak bisa,
bukankah Paulus juga manusia biasa yang memiliki kerapuhan dalam dirinya? Tentu
dia juga bisa lemah dan terjatuh! Tapi bagaimana bila seorang yang menjadi gembala
dan para pelayan saudara yang
mengalaminya? Apakah saudara merasa hal itu sebagai kewajaran?
Ada orang mengatakan
bahwa jika kita memutuskan untuk mengasihi sesama, maka juga harus siap
menangis. Itu berarti mengasihi tidak selalu membuat seseorang menjadi tertawa
bahagia, melainkan bisa juga menangis. Hal itulah yang terjadi pada diri Rasul
Paulus saat menuliskan surat yang menjadi bahan renungan kita kali ini. Rasul
Paulus mengatakan bahwa ia menuliskan surat kedua kepada jemaat Korintus sambil
mencucurkan air mata. Narasi tersebut menggambarkan kesedihan mendalam yang
dialami oleh Rasul Paulus. Kesedihan yang mendalam itu ia rasakan karena jemaat
Korintus yang sangat dikasihi oleh Paulus menyakiti hatinya. Mereka menyakiti
hati Paulus setelah termakan hasutan dari orang-orang Kristen di luar jemaat
Korintus. Orang-orang tersebut sengaja menghasut jemaat Korintus untuk memusuhi
Paulus dengan mengatakan hal-hal buruk tentang dia. Dalam situasi seperti itu,
Paulus mengambil keputusan untuk tidak mengunjungi jemaat Korintus. Itu bukan
karena ia membenci jemaat Korintus, namun dia menyadari bahwa kesedihan yang
mendalam bisa membuat emosi diri menjadi tidak stabil sehingga memicu
terjadinya konflik. Rasul Paulus memilih menyelesaikan masalah dengan mereka
melalui surat. Surat itu ditulis sambil mencucurkan air mata untuk menunjukkan
betapa besarnya kasih Paulus kepada jemaat Korintus.
Setelah mendengarkan
hal ini, tentu saudara menganggap sikap dan tindakan Paulus adalah bijak. Tapi
bagaimana bila hal itu terjadi pada para Gembala dan pelaya-pelayan Tuhan di
Gereja saudara? Apa yang kemudian terlintas dalam diri saudara?
Sadarkah kita, bahwa
kenyataanya doa bukanlah alat untuk menodong Tuhan. Sebaliknya doa
adalah alat untuk ngomong dengan Tuhan. Jika demikian, seberapa sulit bagi
kita untuk menyampaikan kepedulian kita kepada Tuhan tentang penderitaan-penderitaan
yang sedang dialami oleh para gembala dan pelayan kita?
Sadarkah kita, bahwa
doa bukanlah alat untuk menghakimi orang lain? Sebaliknya doa adalah alat untuk
mempertunjukkan kasih dan cinta kita kepada orang lain. Bila demikian, maukah
kita berdoa bagi orang-orang yang mungkin saat ini terjatuh karena penderitaan
dan kesesakan yang ia alami? Terlepas dari seluruh jabatan dan status sosial
yang dia miliki! Maukah kita berdoa baginya?
Mungkin hanya tetesan
air, tapi itu sangat berarti bagi mereka yang mendapatkan hal tersebut dari
kekeringan yang dialaminya. Demikianlah kiranya doa itu ketika kita sampaikan
kepada Tuhan. Maukah, saudara melakukannya?
Tak ada yang lebih
membantu memperluas sudut pandang kita selain memperbesar rasa peduli kita
kepada orang lain. Sebab dengan peduli kita berusaha menempatkan diri kita pada
posisi orang lain, tidak memikirkan diri sendiri, dan membayangkan bagaimana
rasanya bila kita yang mengalami kesulitan yang dialami orang lain itu, dan
sekaligus berbelas kasih pada orang tersebut. Dari sikap demikian, kita akan
melihat beberapa fakta seperti persoalan orang lain, rasa sakitnya, dan
frustasinya terkadang persis atau bahkan lebih dari yang kita rasakan. Melihat
fakta tersebut dan berdoa untuknya akan membuka hati kita dan memperbesar rasa peduli
kita.
Aron
Ginting Manik, S.Si Teol C.CM
GBKP Rg Buluh
Awar (085372363155)
Komentar
Posting Komentar