Gereja ada dan eksis,
bukan untuk dirinya sendiri. Bahkan bukan atas kemauannya sendiri. Ia
dihadirkan oleh Tuhan untuk melaksanakan misi Allah. Dengan kata lain, kita
tidak bertanya tentang apa yang harus kita lakukan. Namun, kita harus bertanya
apa yang IA ingin kita lakukan. Karena itu pula, kita ditugaskan untuk
bersekutu, bersaksi dan melayani. Tugas itu tentu tidak hanya ke dalam, namun
juga keluar. Tugas yang perlu dibedakan, tapi tidak untuk dipisahkan. Kalau
menurut Eka Darmaputera, Gereja harus menjadi persekutuan Ekstrovet, tidak
introvet. Persekutuan inklusif, tidak yang ekslusif (bdk. Yohanes 17:21).
Persekutuan di dalam
dan dengan Kristus inilah yang menjadi sumber identitas Gereja. Yang menjadikan
dirinya sebagai perhimpunan dari sekelompok manusia, bukan kategori organisasi
politik dan organisasi masyarakat, tetapi “Gereja”.
Karena keyakinan ini
pula, Gereja terpanggil untuk melayani. Ia tidak dapat mengklaim ada iman di
dalam dirinya, tanpa mengekspresikannya ke luar. Ia tidak dapat memperdengarkan
suara Tuhan tanpa mendengar erangan dan ratapan seluruh ciptaan. Ia tidak dapat
mengatakan telah menerima terang, tanpa memancarkan terang itu.
Berdasarkan ini juga, Gereja
harus dan terjun dalam Politik. Tentu bukan pada politik kepentingan oknum
tertentu, sebab persekutuan, pelayanan dan kesaksian Gereja adalah tentang
Yesus Kristus. Gereja tidak melayani yang lain, kecuali melayani Kristus.
Gereja tidak bersaksi tentang yang lain kecuali bersaksi tentang Kristus. Karena
itu, saat saat menjelang Pemilu. Jangan pernah menggunakan dan memperalat Gereja
untuk kepentingan pribadi, Sebab Gereja tidak mungkin dan tidak diperbolehkan
untuk melakukan hal tersebut, dan tidak layak untuk mempercayai Gereja sebagai
wadah ataupun sarana memperjuangan kepentingan pribadi.
Tetapi, hal ini tidak
berarti, bahwa Gereja terbatas. Justru karena itulah tugas Gereja menjadi tidak
terbatas. Seperti kekuasaan dan kasih Kristus yang tidak terbatas dan tidak
mengenal tapal batas, kita dapat mengatakan bahwa pada prinsipnya tidak ada
satu manusia atau satu wilayah kehidupan pun yang boleh dikecualikan dari tugas
pelayanan dan kesaksian Gereja.
Karena itu pula, Keterlibatan
gereja dalam politik merupakan bentuk reflektif iman terhadap lingkungan
sekitarnya. Sehingga suara kenabian dapat tersampaikan dan direalisasikan secara
khusus dalam keterlibatan Gereja pada proses pembuatan kebijakan, struktur dan
isu-isu yang mengarah pada kemanusiaan secara luas. Gereja harus berani mengatakan
“setuju” dan “tidak setuju” terhadap kebijakan dan janji pemerintah. Keputusan Gereja
menyatakan ”setuju” berarti mendukung program pemerintah yang komit kepada
penyediaan pendidikan yang bermutu, memberikan akses kesehatan yang baik dan
significant dan hal-hal lain yang membuat kehidupan warga menjadi lebih baik.
“Tidak” ditujukan kepada tindakan penyelengara pemerintahan yang koruptif,
manipulatif, sengaja melakukan kesalahan dan tidak memberikan keuntungan kepada
masyarakat.
Berdasarkan Roma
13:1-3, Makmur Halim dalam tulisannya Terror, Terroris dan Terrorisme
mennyampaikan bahwa: setiap warga negara memiliki tanggungjawab politik, dan
juga sebaliknya pemerintah juga memiliki tanggungjawab terhadap rakyatnya untuk
menegakkan keadilan dan keamanan serta mengatasi semua teror-teror yang besifat
politik maupun agama. Pemerintah juga harus menindak tegas pelakupelaku teror
yang keji. Pemerintah memiliki hati hurani yang baik dan benar. Ciptawilangga dalam
tulisannya yang berjudul Menang dalam Persaingan Gereja, menyarankan,
Gereja perlu terus-menerus mengikuti perkembangan politik. Gereja harus mulai
melihat keluar jendela, bahkan mungkin ikut aktif dalam kegiatan politik,
seyogyanya Gereja tidak hanya pasif menerima apa pun keputusan pemerintah,
tetapi secara aktif memberi sumbang saran bagi perkembangan agama di Indonesia.
Berdasarkan hal ini, tugas Gereja adalah mengarahkan setiap umat Kristen untuk
mempergunakan hak pilih mereka sebaik-baiknya dan secara bertanggung jawab. Bukan
untuk mengarahkan, hanya memberikan wawasan dan keterangan.
Nah, yang menjadi
pertanyaan tentu adalah “Apakah Gereja boleh berpolitik praktis?”
Ungkapan Politik
Praktis, sering disalahartikan sebagai kegiatan money politik. Tentu
ini, pemahaman yang keliru. Sebab bila kita lihat, Gereja justru harus melaukan
Politik Praktis. Karena Politik praktis adalah proses pengambilan keputusan
yang didasarkan pada pertimbangan praktis atau kebutuhan nyata, bukan hanya
pada teori atau ideologi tertentu. Dalam politik praktis, individu atau
kelompok yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan akan mempertimbangkan
berbagai faktor, seperti kemungkinan efektivitas, biaya, dan dampak dari
keputusan yang akan diambil, serta memperhitungkan kepentingan dan tujuan yang
berkaitan dengan keputusan tersebut.
Tentu, dalam
perjalananya Gereja secara individual yang ingin melibatkan diri dalam politik
praktis itu mesti mempunyai prinsip-prinsip bagi keterlibatan itu. Kalau tidak,
mereka hanya akan “terjun bebas”. Apa itu? Andreas A. Yewangoe dalam bukunya
Tidak Ada Ghetto, menuliskan;
1. Kesadaran
yang terus menerus bahwa kekuasaan yang diperoleh itu adalah kekuasaan untuk
melayani
2. Perjuangan
mencapai kekuasaan itu, bukanlah perjuangan kepentingan pribadi, melainkan kepentingan
bersama.
3. Dalam
penyelenggaraan kekuasaan, seharusnya etika dan moral kekuasaan dikedepankan.
4. Dengarkanlah
suara hati yang benar.
Sedangkan pihak Gereja,
diharapkan dapat melakukan pendampingan pastoral yang terus-menerus bagi setiap
warganya yang terlibat di dalam politik praktis. Mereka tidak boleh dibarkan
berjalan sendiri. Gereja tidak boleh hanya mencela warganya yang terlibat
politik, tetapi tidak pernah memahami secara persis apa yang diperjuangkan
warganya. Terlebih sampai pada pencarian suara dan janji suara kepada warga Gereja
yang sedang berjuang. Karena Gereja adalah sebuah instituasi yang berada di
atas semua partai politik dan hanya integritas ini Gereja mempunyai kekuatan
moral, juga menjujung etika dalam berpolitik.
Komentar
Posting Komentar