Semakin kemari, semakin
mengerikan. Kira kira demikianlah yang saya rasakan ketika mendengar dua cerita
dari dua posisi yang berbeda. Bayangkan saja, ketika kamu mendengar cerita dari
seorang karyawan, maka yang mempekerjakannya adalah orang-orang yang tidak
memiliki hati dan pengertian pada karyawannya. Sedang, dalam tempat lainnya dan
versi berbeda, seorang pengusaha mengeluhkan karyawannya yang telah membuat
kerugian besar kepada perusahaan yang telah ia bangun bertahun tahun.
Sungguh...
semakin kemari, semakin mengerikan.
Bila mendengar kata '
Bekerja ' teringat akan pepatah yang dilantunkan oleh seorang sastrawan juga
seorang ulama besar Indonesia yang mengatakan " Kalau hidup sekedar hidup,
babi dihutan pun hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja ".
Ironis memang,
aktivitas yang dilakukan seorang manusia yang mana derajatnya paling tinggi
diantara makhluk hidup lainnya disamakan dengan seekor hewan. Namun, bukankah
ini merupakan sindiran level tertinggi ? coba kita renungi kembali kata-kata
bijak dari putra Minangkabau Buya Hamka itu, sebagai manusia kita memang diberi
kenikmatan untuk hidup di dunia, memanfaatkan segala yang tersedia yang telah
Tuhan persembahkan.
Namun apakah selama ini
kita mencari arti untuk apa kita hidup ? bila kita tak mencari hakikat hidup
ini, maka tak ada bedanya kita dengan babi-babi liar di hutan belantara sana.
Lalu tentang bekerja, selama ini apa tujuan kita bekerja selain untuk
mendapatkan imbalan untuk memenuhi kebutuhan perut? bukankah kera juga bekerja
untuk mendapatkan pisang atau sekedar kacang untuk kebutuhan perutnya? ia
bekerja menjadi pemanjat pohon kelapa yang menjulang tinggi itu atau menjadi
penghibur dibalik topeng monyet dengan segala macam atraksinya yang mampu
memukau anak-anak ?
“AKU SELAMAT DAN
MEMBAWA BERKAT”, judul ini seketika terlintas dalam
benakku ketika melihat kisah Rut, tepatnya pada Kitab RUT 2. Dalam kisah itu,
kita melihat bagaimana Rut dinarasikan mengambil inisiatif untuk memungut jelai
di ladang untuk menyambung kehidupan dia dan Naomi. Sesuatu yang membuat saya
kagum atas apa yang dilakukannya. Mengingat Rut adalah seorang Janda yang tetap
mengikuti Mertuanya. Bahkan ketika suaminya tidak ada sekalipun, Rut tetap
terus memberikan penghormatan dan tanggung jawab dengan bekerja.
Bahkan tidak berhenti
pada hal itu saja, Boas yang menjadi tuan atas ladang tempat Rut bekerja juga
memberikan kepercayaan dan tanggung jawab besar kepadanya. Sampai-sampai
memberikan jaminan bahwa Rut tidak akan mengalami gangguan dari para pekerja
laki-laki selama Rut bekerja di ladangnya.
Sungguh, RUT tidak
hanya survive! Ia juga menjadi berkat bagi Mertuanya dan Pemilik ladang
tempatnya bekerja. Ini sangatah MANUSIA dan tidak terbandingkan bahkan tidak
layak dibandingkan dengan binatang!
Nah, bagaimana
dengan kita? Apakah kita memiliki Loyalitas dalam Bekerja? Apakah kita dapat
menjadi berkat dalam pekerjaan dan lingkungan pekerjaan kita?
Sadarkah kita? Kebanyakan
keluh kesah kita bukanlah mengenai sesuatu yang tidak kita miliki, melainkan
mengenai sesuatu yang telah kita miliki tetapi kita anggap tidak menarik.
Kebosanan atas pekerjaan, gereja, rumah, atau pasangan membuat kita mengeluh
bahwa semua itu bukanlah yang kita inginkan atau butuhkan. Seandainya benar
demikian, lalu apa yang sebenarnya kita inginkan dan kita anggap menarik?
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada
Februari 2023 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,99 juta orang. Data
pengangguran ini mencakup empat kelompok penduduk, yakni:
- Penduduk yang tak punya pekerjaan
dan sedang mencari pekerjaan;
- Penduduk yang tak punya pekerjaan
dan sedang mempersiapkan usaha;
- Penduduk yang tak punya pekerjaan dan
tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan;
dan
- Penduduk
yang sudah punya pekerjaan, tapi belum mulai bekerja.
Dalam pengalaman sehari
hari, diantara 4 kelompok ini yang manakah paling banyak kita temui? Saya
sendiri sering bertemu dengan kelompok ketiga. Tanpa bermaksud apapun, dalam
perjumpaan dengan orang-orang di kelompok ini (walau tidak semua), kehidupan
mereka sangat menarik dalam analisa saya. Tentu, ada pula orang-orang yang
masuk dalam kelompok ini dikarenakan Musibah ataupun situasi yang merenggut
harapan mereka untuk melangkah dan bangkit kembali. Memberikan kesempatan, kehadiran
dan kepedulian bagi orang-orang seperti ini sangatlah baik untuk kita lakukan.
Tetapi, mereka yang lain daripada ini kehidupannya sangatlah menarik, bayangkan saja;
Beberapa diantara
mereka sebenarnya memiliki peluang yang baik. Tetapi mereka memilih tertidur
pada keputusasaan dan hancur didalamnya. Bahkan hal ini berdampak bagi sekitar
mereka yang menemukan secercah harapan dalam hidupnya. Diantara mereka dengan
cara tidak langsung menghancurkan secercah harapan itu. Tentu, mereka bukan
iblis ataupun setan. Mereka manusia yang kehilangan harapan dan melihat segala
sesuatunya dengan sudut pandang yang negatif.
Ada juga diantara
kelompok ini, pintar memberikan banyak narasi untuk kita dengarkan. Tapi
faktanya narasi itu berisikan kekosongan, sebab mereka lebih memilih untuk
memperdebatkan sesuatu yang dapat menghabiskan waktu juga kebosanan mereka. Tak
jarang, orang-orang yang masuk dalam kelompok ini lebih sering mengganggu daripada
jadi manfaat bagi orang lain.
Sungguh
mengerikan.... Sudah tak selamat, tak membawa berkat pula!!
Tentu, refleksi ini
sedang tidak ingin menghakimi siapapun dan kelompok manapun. Bahkan tidak
bermaksud untuk mendiskreditkan mereka yang masih menganggur. Sebaliknya, saya
ingin menyampaikan bahwa Tuhan telah bekerja dengan semestinya dalam kehidupan
kita. Seringkali yang terjadi adalah kita yang selalu meminta dan memaksa Tuhan
untuk melakukan sesuka hati kita. Ini menjadi hal utama untuk kita renungkan.
Tidak ada yang selalu
berhasil, tidak ada yang selalu gagal. Bila hidup tanpa kegagalan, keberhasilan
tidak mungkin dapat kita nikmati. Semua pengalaman adalah Guru dan pengalaman
yang kita miliki, belum tentu dapat dirasakan orang lain. Tapi orang lain juga
pernah mengalami kegagalan sebelum dia akhirnya bangkit dan kembali melangkah
bersama Tuhan. Daripada mengukutuki diri ataupun mengukutuki orang lain? Apalagi
mempersalahkan orang lain sebagai penyebab kegagalan hidup? Mengapa kita tidak
memilih untuk memaafkan diri, lalu bangkit dan melangkah kembali?
Komentar
Posting Komentar