Di suatu desa, hiduplah seorang
Bapak Polan yang memiliki istri dan anak lelaki tunggal. Bp Polan terkenal
dengan kehidupan kelamnya. Ia sering bermain judi, minum-minuman keras dan
melakukan kekerasan pada anaknya Polan. Sampai suatu ketika, ia mendengar suatu
ceramah yang tidak jauh dari tempat dia duduk. Ceramah tersebut menyentuh
hatinya dan singkat cerita, hal tersebut membuat Bp Polan akhirnya memulai
pertobatannya.
Berita itu terdengar di seluruh
desa dan menjadi hot isu. Tentu hal ini membuat Bp Polan sedikit bangga dengan
pertobatannya. Karena cerita pertobatannya membuat dirinya sering dibicarakan
dan dilihat dengan penuh hormat oleh keluarga juga seluruh masyarakat di desa.
Kebanggaan tersebut, menghantarkan
dirinya untuk membangun suatu kuburan yang bertuliskan “Bp Polan Telah
Dikuburkan”. Hal ini semakin menggemparkan masyarakat desa. Karena mereka
melihat Bp Polan masih hidup, tapi kuburannya dibangun olehnya. Ia mengklarifikasi
kepada seluruh masyarakat, bahwa kuburan itu bukti bahwa dia telah menguburkan
masa lalunya dan telah menjadi yang baru. Mendengar hal ini, masyarakat Desa
akhirnya mengerti dan tersenyum dengan klarifikasi yang disampaikan Bp Polan.
Beberapa bulan setelahnya,
terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Kuburan itu seketika hancurkan dan
tertulis “Bp Polan Telah Bangkit Kembali”. Sontak, kejadian itu membuat masyarakat
desa kebingungan dan mencari-cari pelaku penghancuran kuburan tersebut.
Tak disangka-sangka, yang
melakukan hal tersebut adalah anak tunggalnya. Anak itu bercerita kepada
masyarakat, bahwa Bp Pola telah melakukan kejahatan masa lalunya. Bahkan lebih parah
lagi, karena memukul istri dan melakukan kekerasan pada dirinya.
Ilustrasi ini saya bagikan kepada
kita, karena sering kali orang tua mengajarkan dan menceritakan bagaimana
pengalaman mereka dimasa lalu dan kesuksesan mereka. Orang tua sering mempertontonkan
dan bahkan menggunakan masa lalu sebagai pengingat bagi anak anak, tentang
perjuangan dan kebaikan mereka.
Tapi, orang tua sering lupa bahwa
anak-anak melihat kehidupan mereka sekarang. Alhasil, bagaimanapun orang tua
mengajarkan mereka dengan membandingkan kehidupan masa lalunya. Tentu ini tidak
berarti apapun, terlebih ketika masa lalu dan apa yang mereka lihat sekarang
juga sangat berbeda.
Berbanding terbalik dengan
kehidupan seorang Abraham, yang tidak hanya diceritakan oleh orang lain. Tapi sebagai
Bapak, dia sangat komunikatif kepada anaknya dan mewujudnyatakan imannya di
depan anaknya. Suatu hal yang membuat anaknya mendengar dan bangga memiliki
Bapaknya. Bagaimana dengan kita?
Berbicara tentang pola asuh pada
anak juga, ada mitos yang dipercaya dan banyak dilakukan oleh orang tua kepada
anak-anaknya. Mitos itu menyebutkan bahwa kekerasan dan ketakutan akan
mendatangkan hormat dari anak-anak kepada orang tua. Tentu hal ini kita sadari sangat
salah, tapi mitos ini tumbuh dan hidup dari pola asuh dahulu juga sampai
sekarang.
Nyatanya, tidak demikian! - Kekerasan hanya menanamkan kebencian,
ketakutan hanya menghentikan perkembangan anak-anak dan kemarahan hanya
membunuh karakter dalam anggota keluarga. Menebarkan kekerasan dan ketakutan,
sama sekali tidak membantu orang tua mendapatkan hormat. Sebaliknya, itu
melahirkan bom waktu yang cepat atau lambat akan meledak dan menghancurkan
kehidupan banyak orangtua.
Berefleksi dari kegiatan saya
bersama agen-agen literasi di Tanah Karo dalam kegiatan yang dilakukan oleh
Dinas Arsip dan Perpustakaan Kab Karo. Yang mana dalam kesempatan itu, saya
sebagai narasumber berbicara mengenai Literasi Budaya di Zaman AI.
Menariknya, kesempatan itu
anak-anak bercerita tentang bagaimana mereka membutuhkan perhatian dan
pengawasan dari orang tua tanpa kekerasan sama sekali. Tentu, mereka menginginkan
kebebasan. Tetapi, mereka tidak ingin dibiarkan begitu saja dalam menghadapi
perkembangan zaman yang begitu pesat seperti sekarang ini. Mereka membutuhkan
orang tua untuk membantu mereka bersiap dalam menghadapi setiap tantangan yang
akan mereka hadapi ke depan.
Dari curahan ini, akhirnya saya
mengerti bahwa anak-anak membutuhkan Orang tua mereka sebagai orang tua. Mereka
tidak menginginkan Bapak dan Ibunya menjadi teman atau sahabat. Tapi menjadi
orang tua seutuhnya yang mengayomi dan menemani mereka dalam menghadapi
berbagai tantang ke depan.
Tentu, orangtua juga menyadari
bahwa ada banyak kekurangan yang tidak ingin kita pertontonkan kepada anak-anak
dalam menghadapi tantangan zaman. Sesuatu yang juga terjadi pada Abraham,
ketika Sarah istrinya sering kali khawatir dan menurut saya memusingkan hati
dan kepala Abraham. Terlihat dari beberapa kali dia merenungkan janji Tuhan.
Tapi Sarah tetap disebut orang beriman karena bersama Abraham. Dengan kata
lain, “daulat” keluarga juga turun dari seorang Bapak yang mau mendekat diri
pada Tuhan dan melakukan perintahnya. Segala kekhawatiran dan harapan, Abraham
letakkan kepada Tuhan dan janjiNya. Mengapa kita tidak melakukan hal serupa?
Mengakui kelemahan dan kerapuhan kita pada Tuhan. Lalu membiarkan diri tunduk
pada rencana Tuhan?
Terakhir, pertobatan Abraham
bukanlah pertobatan di usia muda. Melainkan di usianya yang menua. Namun,
Abraham sangat diperhitungkan Tuhan. Bahkan telah menjadi nama yang besar bagi
banyak bangsa.
Seharusnya, hal ini memberikan
semangat kembali kita datang kepada Tuhan. Bahwa tidak ada kata terlambat! Tuhan
selalu menerima kita dengan seluruh kekurangan dan kerapuhan kita. Termasuk kepada
kaum Bapak atas setiap kesalahan yang telah dilakukan pada anak dan istri. Tuhan
tetap menerima, dan keluarga juga demikian.
Karena hati seorang istri dan
anak bukanlah seperti kaca yang pecah lalu dipersatukan kembali dan masih
menunjukkan keretakan. Sekalipun demikian, sekarang sudah ada Lem dari CINA
yang mampu menghilangkan keretakan tersebut dan terlihat seperti baru.
Kaum Bapak hanya perlu kata “MAAF”
untuk memperbaiki segala sesuatunya. Kaum Bapak hanya perlu datang dalam
kerendahan hatinya kepada Tuhan yang maha pengasih dan pengampun.
Datanglah dan sampaikanlah kepada
Tuhan untuk mendapatkan kehormatanmu kembali.
Komentar
Posting Komentar