Sebelum berburuk
sangka, tulisan ini bertujuan untuk melihat sudut pandang lain dari fenomena
kesenjangan sosial ini. Apakah Anda pernah mendengar istilah “Yang kaya makin
kaya dan yang miskin tetap miskin’?
Ungkapan ini terdengar
menyakitkan ya, terutama untuk orang – orang yang harus berjuang lebih keras
untuk kehidupannya. Kenyataannya apakah
benar begitu?
Tentu tidak. Orang
miskin sangat bisa menjadi kaya dengan belajar, tekun, dan bekerja keras.
Begitu sebaliknya, orang kaya sangat mungkin menjadi miskin bahkan dalam waktu
yang singkat. Karena pada dasarnya tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Namun, mengapa ungkapan
itu ada bahkan masih berlaku hingga saat ini?
Menurut perencana
keuangan Finansialku, Juan Mahir Muhammad, CFP®, meskipun ungkapan tersebut
seperti menunjukan bahwa ada ketidakadilan dan juga ketidakmampuan untuk bisa
meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah, ada pandangan lain yang
dapat dibilang ‘membenarkannya’. Pasalnya, jika kita lihat dari sudut pandang
yang berbeda, kita justru bisa mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari orang kaya
dalam hal melakukan investasi atau melipatgandakan kekayaan.
Seperti contohnya dalam
hal membeli barang, orang kaya cenderung membelanjakan uangnya untuk membeli
barang atau hal – hal yang sifatnya investasi untuk masa depan, bukan hanya
sekedar memenuhi hasrat konsumtif seseorang.
Bayangkan saja, Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) mencatat warga DKI Jakarta masih utang Rp10,35 triliun
kepada pinjaman online (pinjol) pada April 2023. Angkanya turun 3,9 persen dari
Maret 2023, Rp10,79 triliun.
Menurutmu, kenapa hal
ini dapat terjadi? Bolehkah aku menyebut kalau salah satu faktor yang membuat
ini terjadi adalah kemudahan kredit online , rendahnya minat baca dan rendahnya
kemampuan dalam me-manage uang?
Tak ketinggalan, para
petani yang berada di Kabupaten Karo sebagai wilayah pelayanan saya juga banyak
yang terjerat hutang karena gagal panen dan harga pupuk yang melambung
sementara harga jual justru rendah.
Persoalan ini tentu
sangat kompleks, tapi menarik untuk kita belajar dari Pengkhotbah 11:1-8;
Pertama,
mungkin Anda terheran-heran dengan apa yang dituliskan pada ayat satu; “Lemparkanlah
rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu”.
Bagaimana mungkin roti yang dilempar ke air justru akan kembali lagi, sebab
ketika roti yang masuk ke dalam air tentu akan lenyap, bukan?
Nah, ternyata
salah satu arti dari kata ibrani untuk “roti” adalah “butir-butir gandum” yang
dapat dipakai untuk membuat roti. Sehingga dalam pemahaman tersebut,
dimaksudkan (mungkin) adalah orang Mesir yang menaburkan butir-butir gandum
atas air yang menggenangi lading-ladang mereka ketika sungai Nil banjir setiap
tahun. Kelihatannya butir-butir itu tenggelam dan dilupakan, tetapi pada
saatnya akan panen.
Dengan kata lain,
pengkhotbah memberikan pengajaran kepada kita bahwa setiap orang harus bekerja
dan berusaha. Mengenai hasil dari apa yang telah dikerjakan dan diusahakan, itu
tidak dapat kita pastikan. Hanya satu kepastian, bahwa semuanya akan selalu
menghasilkan. Tentang, apakah yang dihasilkan itu memuaskan hati atau bukan.
Itu sudah kembali pada sikap diri kita masing-masing dalam menerima semua hal
yang terjadi dalam kehidupan kita.
Menariknya, mengenai
hal ini “si kaya” konsisten melakukannya sedang “si miskin” terjebak pada satu
kegagalan dan menyerah. Alhasil, tiba waktunya “si kaya” mendapatkan hasil yang
berlimpah karena perjuangan dan kekonsistenannya. Sedang “si miskin”, sibuk
meratapi kegagalannya dan terjebak pada hal itu.
Kedua, stigma
yang sering kita berikan kepada “si kaya” adalah orang-orang pelit. Sedang “Si
miskin” terlalu dermawan, sampai ia terjebak pada kemiskinan. Namun, benarkah
demikian yang terjadi? Bila kita melihat dari sudut pandang berbeda, ternyata “si
kaya” sebagai sosok seorang pelit juga memberikan dukungan kepada rekan-rekan
bisnisnya dalam bentuk saham yang telah dia percayakan pada rekannya untuk
dikembangkan. Adapula, di antara mereka yang melakukan kegiatan promosi dalam
usaha mereka berbentuk kegiatan-kegiatan sosial. Sehingga “si kaya” memiliki
produk yang banyak dikenal dan bertebaran. Sedang si miskin, pelit untuk
melakukan hal tersebut. Sebaliknya, mereka justru senang untuk bersosial dengan
embel-embel “peduli”. Alhasil, mereka tidak melakukan seperti apa yang
disaksikan oleh Pengkhotbah pada ayat kedua mengenai investasi dan kerja sama
tim dalam pengembangan ekonomi. “Si Miskin” sering kali berpatokan pada satu
hal, lupa bahwa hari-hari yang berdatangan tidak dapat dikendali. Sementara “Si
Kaya” dengan hikmat menyiapkan dirinya untuk berinvestasi dalam bentuk saham
yang dipercayakan kepada rekan-rekan kerjanya. Sehingga ketika satu hal terjadi
pada pekerjaan dan usahanya, “si kaya” masih memiliki peluang untuk mendapatkan
pemasukan dari investasinya.
Ketiga, Tuhan
selalu bekerja dengan semestinya. Faktanya, manusia sering meminta dengan
semaunya. Bahkan ia meminta akan sesuatu yang dia sadar dirinya tidak pantas
untuk mendapatkannya. Tentu, Tuhan selalu berbelas kasih. Tapi, mereka yang
selalu terjebak pada kegagalan dan keputusasaan tidak akan pernah meraih belas
kasih Tuhan. Sebab mereka yang demikian, terlalu sibuk tidur dan hanya
mengharapkan Tuhan untuk mengubah kehidupannya secara instan. Inilah yang harus
selalu menjadi pedoman kita akan sebuah pengharapan. Bahwa, pengharapan itu
bukan berarti tuntutan semata. Sebaliknya, ada usaha dalam penyerahan pada setiap
hal yang kita lakukan dan jalankan, Karena sebagaimanapun, kita mampu mempelajari
hari-hari. Kita tidak pernah mengetahui apapun, kalau kita tidak mencoba dan
melakukan setiap hal yang kita harapkan dan serahkan kepadaNya.
Terakhir, “Si Kaya”
selalu memiliki waktu dan memberikan waktu untuk recharge dalam berbagai bentuk. Sedang “Si Miskin” beranggapan
hal itu justru sebagai tuntutan yang harus dilakukan tanpa mempertimbangkan dan
memperkirakan kondisi juga situasinya. Tidak heran, banyak sekarang orang-orang
terlilit hutang bukan karena memulai usaha yang baru. Sebaliknya, justru karena
membeli tiket liburan, mengikuti fashion dan pemenuhan gengsi semata.
Jelas, di akhir dari
bahan refleksi kita tidak mengajarkan demikian. Selayaknya seorang yang sedang
memotong kayu, “si kaya” memberikan waktunya untuk mengasah gergajinya. Sedang “si
miskin” hanya memaksakan gergaji tumpul dalam menyelesaikan tugasnya.
Komentar
Posting Komentar