Perkembangan saat ini,
sering kali mempertanyakan dan membicarakan Relevansi sebuah Gereja akan
perkembangan sekarang. Bahkan, Eka Darmaputera mengajukan kritik keras terhadap
dua dosa sosial Protestantisme Indonesia, yaitu hilangnya signifikansi internal
dan pudarnya relevansi eksternal. Ia menulis:
“… gereja-gereja kita sedang menuju kepada irelevansi total!
Padahal sesuatu yang tidak relevan, tidak mungkin berfungsi. Dan sesuatu yang
tidak berfungsi? Mati! … gereja-gereja kita mengalami insignifikansi total.
Sesuatu yang dianggap tidak berarti, sulit sekali bisa berfungsi. Dan sesuatu
yang tidak berfungsi? Mati!”[1]
Sedang H. Nouwen, godaan
untuk menjadi relevan sangatlah kuat dialami oleh banyak pemimpin Kristen masa
kini, setepatnya karena di dalam iklim sekularisasi ini, “pemimpin-pemimpin
Gereja merasa semakin kurang penting lagi [less and less relevant] dan terdesak
ke pinggiran.”[2]Alhasil,
mereka tergoda untuk justru mengatasinya dengan cara menutupi irelevansinya dan
meningkatkan relevansinya demi memenuhi tuntutan dunia kontemporer. Menurut
Nouwen, solusi semacam ini sungguh keliru. Alih-alih meningkatkan relevansinya,
para pemimpin Kristen justru “dipanggil untuk menjadi orang yang samasekali
tidak relevan, berada di dunia ini tanpa sesuatu pun yang dapat ditawarkan
kecuali dirinya sendiri yang ringkih.”[3]
Sejalan dengan itu,
Joas Adiprasetya menuliskan dalam artikelnya yang berjudul “Dicari : Allah yang
Tidak Relevan”; menyatakan bahwa panggilan untuk menjadi tidak relevan, tidak
mengartikan dengan lari dari dunia (eskapisme). Sikap eskapisme memang membuat
gereja tidak relevan bagi dunia, namun sikap ini juga mengisyaratkan bahwa
dunia tidak relevan bagi Allah dan jelas sikap ini, bagi Joas bertolak belakang
dengan sikap biblis yang
Harus dipahami bahwa
panggilan untuk menjadi tidak relevan tidak sama artinya dengan lari dari
dunia. Sikap eskapisme memang membuat gereja tidak relevan bagi dunia, namun
sikap ini juga mengisyaratkan bahwa dunia tidak relevan bagi Allah. Dan jelas,
sikap ini bertolak belakang dengan sikap dasar Alkitabiah yang menegaskan
betapa berharganya dunia ini bagi Allah.
Bahkan, terusnya Joas menegaskan
bahwa Allah sajalah yang relevan bagi kita, sebab kita (bahkan seluruh ciptaan)
relevan bagi Allah. Kehadiran yang setia di hadapan Allah itulah yang seharus
menyadarkan gereja untuk tidak selalu mengusahakan penyesuaian diri dengan
dunia. “Janganlah serupa dengan dunia ini,” kata Paulus (Rm. 12:2). Gereja
diundang untuk menyesuaikan diri dengan Allah dengan cara selalu setia pada
identitas dan tugas yang Allah berikan kepadanya. Kesetiaan semacam ini sudah barang
tentu berpotensi melawan gerak dunia yang berseberangan dengan Kerajaan Allah,
yang mungkin saja tampil secara frontal atau combative, untuk meminjam istilah
Jon Sobrino (anti-Kerajaan Allah).
Problem mendasar dari
pertanyaan mengenai relevansi gereja adalah mengapa gereja sungguh berhasrat
untuk relevan dan dapat diterima oleh dunia yang nilai-nilai dasariahnya
sungguh berbeda dengan nilai-nilai dasariah Injil Kerajaan Allah itu? Jika
demikian, bukankah Allah diimani oleh gereja melalui Kristus dalam kuasa Roh
adalah Allah yang tak relevan bagi dunia? Dan kepada Allah yang tak relevan
semacam itulah gereja harus menjangkarkan identitas dan kesetiaannya.
Menetapkan sikap dasar gereja sebagai komunitas yang hadir dengan setia tentu
tidak akan menyelesaikan seluruh persoalan. Sebab, kerap kali batas-batas yang
ada antara gereja dan dunia sama sekali tak bening. Warga gereja sekaligus
adalah warga dunia. Karena itu, pergumulan untuk menemukan koordinat yang
paling pas untuk menjadi komunitas yang tak relevan namun tetap hadir di dalam
dunia akan menjadi tugas gereja yang tak kunjung usai. Tugas terus-menerus ini
harus dikerjakan sebagai bagian dari refleksi hidup menggereja dari waktu ke
waktu, dengan kesadaran bahwa relevansi kita satu-satunya di dalam dunia adalah
dengan menjadi tidak relevan bagi dunia dan menjadi relevan bagi Kerajaan
Allah.
Namun kita tidak boleh
berhenti pada kesimpulan saja. Karena, hal yang menjadi bahaya justru ketika
semua persepsi ini menjadi satu alasan untuk kita tidak mengalami perubahan dan
menggereja di dunia. Bahkan saya yakini, untuk itu kata-kata Hunter dalam tulisannya
“To Change the World: The Irony, Tragedy, and Possibility of Christianity in
the Late Modern World” perlu disimak:
Berlawanan dengan realitas saat ini dari momen sejarah kita,
mustahil untuk mengatakan apa yang sebenarnya bisa dicapai. Ada ketidakpastian
yang sulit diatasi yang tidak bisa dihindari. Tentu saja umat Kristiani, dalam
kondisi terbaiknya, tidak akan menciptakan sebuah dunia yang sempurna atau
dunia yang sama sekali baru; tetapi dengan memberlakukan shalom dan
mengusahakannya atas nama sesama melalui praktik kehadiran yang setia,
sangatlah mungkin, hanya mungkin, bahwa mereka akan membantu mengubah dunia menjadi
sedikit lebih baik.[4]
Perkataan ini haruslah
menjadi cambukan luar biasa untuk kita. Sebab ada banyak persoalan yang
menunjukkan bahwa Gereja bukan hanya tidak relevan bagi dunia, tetapi juga
tidak lagi relevan dengan Kerajaan Allah. Bahkan tak jarang pula, Pelecehan
Spiritualitas dan Toxic Positivty terus-menerus dikembangkan atas
nama Firman Allah. Gereja tidak lagi melihat dan menyadari kerapuhan manusia. Sehingga
Gereja tidak lagi sejuk bagi mereka yang ingin datang dalam kerapuhannya
sebagai manusia.
Perjumpaan Yesus dengan
Perempuan Kanaan dalam Matius 15:21-28 saya pilih untuk kita merefleksikan hal
ini. Mengapa? Kisah ini menceritakan sebuah kisah menarik mengenai perempuan
Kanaan yang datang kepada Yesus untuk meminta pertolongan untuk menyembuhkan
anaknya yang mengalami kerasukan setan. Jika dilihat dari latar belakang
perempuan Kanaan ini, bangsa Kanaan merupakan salah satu dari sekian banyak
bangsa yang hendak dimusnahkan Allah melalui bangsa Israel. Allah berjanji untuk
membawa bangsa Israel ke tanah Perjanjian, yaitu tanah Kanaan dan untuk itu
bangsa Israel harus menaklukkan orang-orang Kanaan yang menempati tanah itu.
Selain itu, ada alasan di balik perintah Allah untuk memusnahkan bangsa Kanaan
yang berhubungan dengan kebudayaan dan agama Kanaan[5].Dengan
demikian, dari kebudayaan dan agama yang mereka miliki bangsa Kanaan adalah
bangsa yang sangat berdosa bagi Allah, mereka tidak hanya melakukan hal-hal
yang sangat dibenci Allah, tetapi juga mencoba menjerat orang Israel untuk
mengikuti kebiasaan agama mereka. Jadi, memang patut bangsa Kanaan memperoleh
hukuman dari Allah. Kehidupan mereka yang penuh dengan berbagai penyimpangan
membuat mereka menjadi bangsa yang bejat dan tidak layak untuk Allah sehingga
pantas untuk dimusnahkan[6]
Apa yang relevan bagi
dunia? Perempuan Kanaan tidak mendapatkan kelayakan dari Kristus. Tapi apa yang
relevan bagi Kerajaan Allah? Anugerah keselamatan dianugerahkan oleh belas
kasihan dari Allah dalam diri Tuhan kita Yesus Kristus. Nah, bagaimana bila hal
ini terjadi di Gereja? Saya pikir, sering persoalan “birokrasi”, “administrasi”
dan anggapan untuk menjadi Gereja yang “tegas” menghalang-halangi juga bahkan
memberikan pembiaran kepada mereka yang meninggalkan Gereja. Bahkan istilah “Menjaga
Identitas juga tradisi” sering kali mengabaikan “kasih” dalam Gereja. Alhasil,
Gereja tidak lagi menghadirkan “Shalom” pada mereka yang ingin dan sudah ada di
dalam Gereja.
Mari kita refleksikan! Ingatlah
bahwa menjadi tidak relevan bagi dunia karena para pemimpin Gereja dan
orang-orang di dalam Gereja “tidak ingin belajar” tidak sama dengan menyampaikan
Suara Kenabian. Segala sesuatu yang dituliskan dalam dokumen-dokumen Gereja
adalah buatan manusia yang diilhami oleh Roh Kudus. Tetapi, Roh Kudus juga
terus bekerja bagi kita dari dahulu, kini dan nanti.
[1] Eka
Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka
Darmaputera, ed. Trisno Sutanto and Martin L. Sinaga (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001), 470
[2] Henri J.
M. Nouwen, Dalam Nama Yesus: Permenungan Tentang Kepemimpinan Kristiani
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 19.
[3] Henri J.
M. Nouwen, Dalam Nama Yesus: Permenungan Tentang Kepemimpinan Kristiani
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 18.
[4] Hunter,
To Change the World: The Irony, Tragedy, and Possibility of Christianity in the
Late Modern World, hal 286
[5] Rouw,
Randy Frank. (2017). Kepercayaan Rahab Berdasarkan Yosua 2:1-24. Jurnal
Jaffray, 15(2), 201-230. https://ojs.sttjaffray.ac.id/JJV71/article/view/259.
[6] Hubbard,
W. S., D. A. Lasor, dan F. W. Bush. (1993). Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat
dan Sejarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Komentar
Posting Komentar