Pendahuluan
Ada ungkapan yang
sering kita dengar, menyatakan bahwa “Kita ini adalah seorang pelayan, bukan
penikmat”. Kata-kata ini selalu disampaikan dalam berbagai kesempatan
dengan tujuan, para pendengar akan semakin militan untuk melayani dan
menciptakan teamwork yang bagus. Namun, rasa-rasanya aku ingin
melengkapi ungkapan ini lagi, bahwa ; “Kita ini perlu berefleksi dalam setiap
pelayanan dan kita harus menikmati juga merefleksikan setiap halnya, bukan
sekedar bertahan”. Kalimat ini terlintas dalam pikiranku dan menjadi motivasiku
untuk bersemangat, bersukacita dan belajar pada proses magang ini.
Mengingat dalam proses
ini; saya yang belum pernah melangkahkan kaki di Unit Pusat Pelayanan Orangtua
Sejahtera (PPOS) dan bahkan kekurangan
informasi mengenai unit PPOS. Seketika ditempatkan dan berproses bersama, itu
menjadi sukacita serta pengalaman yang luar biasa. Bayangkan saja, seperti yang
juga menjadi bagian sejarah dan perdebatan dalam berdirinya PPOS (kala itu
masih bernamakan YAPOS) sejak 15 Agustus 1991, yakni kehadiran unit ini
berbenturan dengan Budaya Karo. Bahkan 5 tahun sejak terbangunnya tempat ini,
tidak ada satupun orangtua yang tinggal dan dititipkan. Walau kini telah
berjumlah 32 orangtua yang dititipkan di tempat ini.
Hal ini sangatlah luar
biasa bagi saya secara pribadi, karena itu saya bersemangat, bersukacita dan
belajar begitu banyak pada proses magang ini;
1.
Bersemangat, Bersukacita dan Belajar Mengikuti Semua Divisi
Saya tidak pernah
membayangkan, betapa sistem di Unit PPOS ini dipersiapkan dengan baik dan
matang. Seperti yang saya lampirkan pada laporan ini, kami diberikan jadwal
untuk mengikuti rutinitas setiap divisi yang ada. Selain daripada Divisi Dapur
dan Laundry, kami yang laki-laki mengambil bagian dalam rutinitas para pegawai.
Tentu, sebagai seorang
yang tidak terbiasa dengan rutinitas; saya mengalami kejutan luar biasa. Inilah
proses awal pembelajaran saya secara pribadi untuk mengikuti rutinitas yang ada
di Unit PPOS, sekaligus mendisiplinkan diri saya kembali untuk mengatur waktu
lebih baik kembali.
Namun proses
pendisiplinan ini tidak menjadi utama. Sebab yang terutama adalah bagian
refleksi yang saya dapatkan dari para pegawai di Unit PPOS. Refleksi ini
bermula ketika, saya mengetahui bahwa ada beberapa pegawai yang ternyata sudah
18 tahun melayani di PPOS. Bahkan ada pula yang masih muda dan lajang, sudah
melayani selama 8 tahun. Mereka yang masih belum berkeluarga, diberikan tempat
tinggal di PPOS dan melayani orangtua yang dititipkan di unit ini. Hal ini,
mematahkan pikiran negatif saya tentang orang-orang muda yang hanya menjadi
penikmat dan tidak mau melayani. Walaupun, jumlah pemuda yang hanya mengejar
kebaktian-kebaktian ala konser, tanpa aksi dan refleksi; menunjukkan eksistensi
pada lawan jenis ada banyak dan sangat diwadahi.
Ya, abaikan
sajalah soal ini. Mari kita kembali kepada poin utama
Karna ini tentang
mereka yang melayani di PPOS. Mereka yang ternyata sering mendapat stigma
sebagai tukang bersih kotoran orangtua yang dititipkan di PPOS. Bahkan lebih
kasar dalam istilah orang Sumatera Utara itu, disebut dengan “Tukang Cebok”.
Tidak berhenti pada hal itu saja, di antara mereka juga sampai mengalami
pelecehan seksual dari orangtua yang dititipkan di PPOS. Ini menjadi tantangan
dan pengalaman yang sangat memungkinkan untuk mereka mengambil pilihan,
meninggalkan tugas mereka sebagai pegawai di PPOS.
Termasuk, bila mereka
hanya sekedar untuk bertahan dan melihat upah yang diberikan. Tentu, mereka
sejak dulu meninggalkan tempat ini. Karena segala pekerjaan, bila dilakukan
dengan tujuan “bertahan”, tentu akan membuat aktivitas kita semakin membosankan
di tempat bekerja kita. Karena itu menjadi seorang pekerja yang melayani,
berefleksi dan menikmati setiap hal yang kita kerjakan itu penting. Sebab,
hanya dengan demikianlah kita mampu melawan stigma negatif yang datang kepada
kita. Secara khusus dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Bahkan, pemikiran
seperti ini membebaskan diri kita sebagai seorang “Buruh” atau “Budak”.
Termasuk soal mental yang kita miliki pula.
Mereka yang sering disebut sebagai “Buruh” atau “Budak”, tidak dilihat dari apa yang mereka kerjakan. Mereka disebut demikian, karena upah dan pekerjaan yang dilakukan jumlahnya sama dan setara. Bahkan, mereka melakukannya dengan terpaksa, tidak bahagia dan terkesan hanya berusaha untuk bertahan.
Namun, ketika melihat
para pegawai di PPOS; mereka tidak berlaku demikian. Oleh sebab itu, mereka
dapat melayani sampai bertahun tahun dan belasan tahun lamanya. Termasuk stigma
negatif yang datang kepada mereka serta pelecehan dan tindakan-tindakan negatif
lainya, dapat dikesampingkan pula.
Hal ini dapat saya
simpulkan ketika obrolan kami di siang hari. Saat itu, saya menyampaikan
beberapa pertanyaan kepada mereka tentang perasaannya melihat berbagai orangtua
yang telah meninggal. Termasuk, alasan serta motivasi untuk mereka bisa
melayani selama itu.
Dari beberapa
jawaban, saya menemukan istilah yang sangat membuat diri haru, katanya;
“Seluruh Nenek dan Kakek yang ada di tempat ini, sudah menjadi orangtua bagi
kami sendiri. Kami melakukannya, seperti kami melakukan untuk orangtua kami
sendiri”. Kata-kata ini seperti memberikan jawaban bagi saya, tentang
perlawanan mereka kepada stigma-stigma yang datang menyerbu para pegawai.
Bahkan di antara mereka juga mengatakan bahwa, “Kelak, orangtua juga akan
menjadi lansia. Mungkin aku tidak bisa membalas kasihnya dengan materi yang
kupunya. Tapi di sini, aku telah belajar untuk kemudian dapat melayani
orangtuaku sendiri di masa lansia”
Efesus 5:2
"Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus
Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita
sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah."
Ketika seorang Kristen
disebut sebagai pengikut Kristus, maka aku tidak perlu jauh-jauh melihat dan
mencarinya. Cukup melihat apa yang para pegawai lakukan, tentang hidup di dalam
kasih dan mengasihi para orangtua di tempat ini dengan ketulusan serta
kerendahan hati mereka.
Tentu, saya juga tidak
ingin menutup-nutupi bahwa ada pula perlakuan yang tampak “keras” dilakukan
kepada orangtua di tempat ini. Tapi, itu muncul bukan karena kebencian atau
ketidaknikmatan mereka dalam melayani dan bekerja di tempat ini. Kesemuanya, hanya
tentang kerapuhan seorang manusia yang memiliki perasaan “Jenuh” dan
“Kebingungan” dalam menghadapi orangtua di PPOS. Sebab, mereka sungguh
mengasihi orangtua di PPOS, seperti mereka mengasihi orangtuanya sendiri.
2.
Bersemangat, Bersukacita dan Belajar dari Cerita Orangtua dan Anak-anak
Saat saya ditugaskan pada divisi Nini-Bulang; saya
merefleksikan beberapa hal yang menarik untuk dilaporkan. Refleksi ini muncul
ketika saya berbicara dengan Orangtua yang dititipkan dan Anak-anak mereka yang
menitipkan orangtuanya di tempat ini;
-
Saat Bersama Nini-Bulang
Sedang
sibukknya anakku tadi?”, kira kira pertanyaan inilah yang sampai kepadaku.
Ketika saya sedang bertugas di divisi Nini Bulang. Pertanyaan itu disampaikan,
bukan karena rasa ingin keluar dari PPOS. Sebaliknya, bila saya bertanya-tanya
pada orangtua yang memungkinkan untuk diajak berdialog. Saya mendapati bahwa
mereka menganggap tempat ini sebagai surga. Seperti kata Nini Karo yang kami
sebut sebagai “KARO VETERAN” yang mengatakan bahwa GBKP sangat mencintai dan
menyayangi mereka. Bahkan Bulang BIAK NAMPE mengatakan hal serupa, bahwa PPOS
adalah surga bagi mereka. Sebab, di antara mereka memiliki anak yang tidak
pernah mengunjunginya sama sekali. Bahkan mereka juga mengerti bahwa beberapa
keluarga di antara mereka tidak memberikan bayaran penuh kepada PPOS dan bahkan
ada pula yang tidak sama sekali membayar karena kehilangan kontak dengan
keluarga mereka. Tetapi GBKP melalui Unit PPOS tetap melayani dan menjaga
mereka. Tanpa melihat denominasi dan agama, GBKP berkarya dan berguna bagi
Orangtua.
Pertanyaan yang
membuatku haru, muncul ketika saya sedang duduk berdua dengan salah satu
orangtua yang saya rahasiakan nama dan sebutannya. Saya mengatakan kepadanya,
bahwa “tadi aku bertemu dengan mamak dan bapakku. Ternyata aku rindu dengan
Bapak dan Mamakku”. Tapi, ceritaku tadi adalah kesalahan yang seharusnya tidak
saya ulangi lagi. Sebab setelah cerita itu, orangtua itu berkata padaku, “Lagi,
Sibuk ya anakku tadi? Kenapa dia tidak berkunjung kemari, sudah lama kulihat
dia tidak berkunjung.” Seketika itu juga, aku meminta izin untuk
meninggalkan percakapan kami dan pergi. Sebab, sontak air mataku terjatuh.
Apakah sedemikian ini, kerinduan orangtua akan anaknya ketika dia sedang
berjauhan.
Di mata Allah, tidak pernah satu masa usia manusia adalah masa yang
percuma, tidak berguna dll. Seorang lansia bukan manusia yang cuma
menunggu pemutusan hubungan kontrak hidup. Manusia lansia tetap berpotensi
menjadi berkat melalui hikmat mereka, pengalaman hidup mereka, ketekunan
doa-doa mereka dan tentu saja nasehat-nasehat mereka. Kita sah-sah saja
menitipkan orang tua kita ke panti jompo, asalkan itu bagian dari penghormatan
dan tanggung jawab kita oleh karena kita bukan ahlinya merawat manusia senja.
Namun yang terjadi pada umumnya, mereka dititipkan ke panti jompo karena
anak tidak mau repot.
Padahal, seperti halnya dengan manusia lainnya. Para
Lansia membutuhkan dukungan emosi. Mereka ingin dikasihi, merasa dibutuhkan dan
diterima, serta dianggap berharga sebagai anggota keluarga.
Menyediakan kebutuhan orang-tua atau kakek-nenek kita
mencakup lebih daripada sekadar memperhatikan kebutuhan materi mereka. Kita
semua memiliki kebutuhan emosi. Setiap orang, termasuk para Lansia, ingin
dikasihi, merasa dibutuhkan, dan diterima, serta dianggap berharga sebagai
anggota keluarga.
Walaupun, tidak jarang orangtua selalu mengharapkan sesuatu
yang melebihi kemampuan anak-anaknya. Ketika anaknya sibuk bekerja, mereka
justru menginginkan anak-anaknya selalu ada. Pandangan ini tentu bisa diterima.
Hal yang tidak dapat diterima,
justru saat si anak tidak
memberikan solusi apapun untuk itu.
Terlepas dari itu
semua, ada salah satu lagu yang saya dengar dari GBKP Pontianak CHORALE yang
rasa-rasanya sulit untuk saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia, karena
membuat liriknya tidak lagi mendalam artinya. Lirik ini tertulis demikian
Lampas
mbelin anakku
Lampas
meteh mehuli
Dibata
negu-negu geluh ndu
Mbelang
perdalan pagi
melala
man tatapen pepagi
Jaga
pusuhndu anakku, jaga pusuhndu anakku
Nggeluh
i doni enda nakku labo gegehta labo pentarta
Nggo
kugejab kel ndube, nggo kuidah kel bage
maka
tuhu melala kel si la bagi ukur ku
Anakku
anakku begi bapa nande ndu
Ntah
kuja gia pagi jabundu, subuk senang ntah mesera
Kami
bapa ras nande ndu ertoto kerna kam,
Pekena-kena
pusuhndu, pekena kinitekenndu
Adi
ndube kel aku idahndu nge ngasupku tentu angkandu geluhta
Nuri-nuri
nandendu nakku, nuri kata mehuli
Anjar
sitik-sitik pekena manjar-anjar geluhndu anakku
Sepertinya,
demikian doa orangtua pada setiap anak-anaknya yang mungkin sedang sibuk.
-
Saat Bersama Anak-anak Mereka yang
Menitipkan Orangtua di PPOS
Berbicara tentang kasih
sayang, tentu apa yang telah Orangtua berikan dalam hidup kita tidak dapat
terbalaskan. Sebagaimanapun materi dan waktu yang kita miliki, sangat tidak
mungkin membalas kebaikan orangtua dalam hidup kita. Karena itu, sering kali saya
mendengar orang-orang berkata, bahwa tanggung jawab seorang anak ada pada
keluarganya.
Matius 19:5-6 TB
Dan firman-Nya: Sebab
itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia.”
Sebab, mereka hidup dan
tumbuh bersama orangtua sampai ia memiliki keluarganya yang baru dan kemudian
meninggalkan orangtuanya; sampai hidup lebih lama dengan pasangannya serta
anak-anaknya. Demikianlah landasan seorang anak untuk memisahkan diri dari orangtuanya.
Apakah, hal ini salah? Etika dan Moral, tidak dapat dilihat dari salah dan benarnya. Tapi dari
kondisi, situasi dan dampak yang dihasilkan dari setiap hal yang dilakukannya.
Mengapa?
Selama saya melayani di
Pusat Pelayanan Orangtua Sejahtera, begitu banyak cerita-cerita sedih yang saya
dengar dari keluarga orangtua disini. Bagaimana mereka dihina dan diklaim
sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih kepada orangtua saat mereka membawa
orangtuanya ke Pusat Pelayanan Orangtua Sejahtera (PPOS) di Sukamakmur,
Sibolangit.
Kisah seperti seorang
Ibu dapat mengasihi 5 anak, sedang 5 anak dapat mengasihi seorang Ibu menjadi
cerita yang sering menghakimi pribadi mereka. Padahal, bila mendengar
kesaksiannya; bukan karena mereka tidak menyayangi dan mampu berterima kasih
kepada orangtua mereka. Tapi situasi dan kondisi untuk memenuhi tanggung jawab
bagi keluarganya, bukanlah hal yang mudah. Bahkan tak jarang mereka seperti
memakan buah simalakama, memilih untuk memberikan waktu bagi orangtua atau
mencari makanan untuk anak-anaknya. Tentu, saudara bisa mengatakan bahwa ini
hanyalah alasan belaka dan menjadi pembenaran bagi keluarga yang menitipkan
orangtuanya di Pusat Pelayanan Orangtua Sejahtera.
Tapi, bagaimana dengan
kebutuhan orangtua lainnya? Apakah kita yakin bahwa yang dibutuhkan para lansia
hanya sekedar anak-anaknya menemani, merawat kebutuhan pangan dan diam di
rumah? Atau setelah manusia menjadi lansia, kita justru melihat mereka tidak lagi
sebagai manusia, dan mendiamkan mereka hanya di rumah begitu saja?
Matius 25:35-40 TB
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan;
ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi
Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku
sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.
Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami
melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi
Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi
Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah
kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan
Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala
sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina
ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Dalam berbagai
pengalaman pelayanan detaser, saya sering melihat para lansia dikurung di dalam
kamar bersama dengan kotorannya. Bahkan tidak jarang kulit mereka berubah
karena kurangnya paparan sinar matahari untuk mereka.
Bagaimana dengan
orangtua yang mobilitasnya sudah terhambat, apakah kondisi rumah sudah aman
untuk mereka? Apakah perlakuan kita yang membiarkan orangtua berdiam di dalam
kamar dan membuat mereka seperti terpenjara disebut sebagai “KASIH SAYANG”?
Seorang Bayi dapat menjadi bosan, lalu menangis dan meronta-ronta. Seorang Anak Remaja dapat memberontak kepada orangtua, ketika dia tidak diberikan waktu untuk keluar rumah dan fokus hanya pada pembelajaran di sekolah saja. Bahkan Orang-Orang Dewasa dapat meninggalkan pekerjaannya ketika hal itu, membuat dirinya seperti terpenjara dan tidak berkembang sama sekali. Lalu, mengapa Para Lansia dibiarkan untuk diam, terkurung dalam Kamarnya? Apakah Para Lansia tidak lagi dapat merasakan bosan? Apakah Para Lansia tidak lagi dapat merasakan Sosial mereka bersama lingkungannya? Terlepas dari penyakitnya yang pikun dan mobilitas mereka yang semakin berkurang, apakah “KASIH SAYANG” namanya ketika PARA LANSIA dikurung dalam kamar dengan semua kebutuhan emosional mereka yang tidak terpenuhi?
Saya tidak mengerti apa
itu “KASIH SAYANG” dan cara mengaplikasikannya kepada orangtua saya dengan
tepat. Hanya saja, ketika saya mendengar seorang Kakek yang dikurung dalam
Kandang Besi bagaikan seekor ANJING di siang hari dan kemudian dikunci pada
malam hari di KAMAR dengan alasan “TAKUT HILANG” dan “SUDAH PIKUN”. Itu tidak
lebih dari pembunuhan yang paling sadis dari seorang anak yang psikopat kepada
orangtuanya.
Jadi, apa itu “KASIH
SAYANG” kepada orangtua?
Saya tidak mampu
memberikan jawaban apapun. Hanya saja, pengalaman di Pusat Pelayanan Orangtua
Sejahtera memperlihatkan saya tentang Para Lansia yang bahagia saat berkumpul
pagi-pagi dengan teman seusianya, sembari menikmati hangatnya sinar matahari di
pagi hari. Lalu mereka disuguhi nutrisi yang cukup, bersama perawatan yang baik
di pagi hari dan sore hari. Sehingga mereka dapat beraktivitas dengan keadaan
yang bersih dan tidur dengan nyaman tanpa kotoran yang melekat ditubuh mereka.
Saya juga melihat
mereka bisa tertawa gembira dalam pelayanan spiritualitas yang diberikan di
Unit Pusat Pelayanan Orangtua Sejahtera. Termasuk, pula emosional ketika para
pengasuh menemani mereka bercerita dan mendengar setiap cerita mereka.
3.
Bersemangat, Bersukacita dan Belajar Membawa Kebaktian di PPOS
Selain dari jadwal
berbagai divisi yang ada, saya juga mendapatkan jadwal untuk membawa Renungan
Pagi bersama Nini-Bulang dan Kebaktian Minggu. Awalnya saya curiga, apakah
kegiatan ini diberikan untuk saya melihat betapa berbahayanya Khotbah bersifat
Dialogis ketika bersama para Lansia atau sebaliknya, saya sedang diajari untuk
berkhotbah Monologis dan berfokus pada mengajar dan mendoktrin para pendengar.
Nyatanya, kecurigaan itu terpatahkan ketika saya berada di tempat ini
Saya justru diajarkan
untuk rendah hati dan rendah diri di atas mimbar. Sebab, bila kedua hal ini
tidak saya pergunakan dan lakukan. Maka saya akan menganggap rendah para
pendengar saya, yakni Nini-Bulang. Walaupun saya sendiri melihat dan menyadari,
bahwa tidak ada
pengajaran yang bersifat continue ketika berhadapan dengan orangtua yang
memang sudah mengalami pikun.
Bagian inilah yang
menarik, ketika saya tidak melihat orangtua yang menjadi pendengar sebagai
orang bodoh dan sulit mengerti apapun. Maka saya dibebaskan dari rasa ingin
mengajari. Sebaliknya, saya justru menjadi seorang yang mengingatkan kembali
tentang bagaimana spiritualitas mereka bersama dengan Tuhan serta memberikan
masukkan tentang pengalaman mereka tersebut.
Bahkan, ketika kami
memberlangsungkan PA dan Jam Doa, kesempatan itu justru memberikan saya
pelajaran-pelajaran yang menarik tentang spiritualitas Orangtua di PPOS. Saya
membayangkan, bila sejak dulu belajar khotbah dan memimpin ibadah di PPOS;
mungkin saya tidak pernah berkhotbah dengan sampulan “mengajar” padahal
sifatnya menghakimi, menyerang dan merendahkan pendengar.
4.
Bersemangat, Bersukacita dan Belajar Konseling di PPOS
Menuju akhir dari
proses magang di PPOS, kami meminta kepada Direktur untuk mendapatkan jadwal
bersama-sama di Divisi Nini-Bulang. Selama proses tersebut, kami memaksimalkan
beberapa kegiatan yang sudah dirangkai dan disusun oleh Pengurus serta Direktur
PPOS. Sebab, kehadiran kami bukan untuk mengajari sebaliknya kami belajar dan
memaksimalkan apa yang telah dikonsep. Apabila kami melakukan hal baru, tentu
ini akan merepotkan para pegawai dan membuat gejolak yang terjadi di antara
Nini-Bulang dengan pegawai.
Apakah, hal ini
mematikan kreativitas kami? Tentu tidak! Sebab saya selalu menyadari bahwa
kreativitas terjadi bukan sekedar melakukan pembaharuan saja. Tetapi juga
memaksimalkan apa yang telah dilakukan dan tersistem di tempat ini dengan versi
kita sendiri. Inilah yang kami lakukan bersama teman-teman magang vikaris
lainnya. Salah satu kegiatan itu adalah konseling yang sudah dijadwalkan. Kami,
memberikan diri untuk bercerita dan mendengar setiap orangtua satu demi satu.
Beberapa di antaranya memang tidak lagi memiliki kesinambungan saat bercerita.
Bahkan tidak jarang di antara mereka yang membuat kami terjebak pada
pengulangan-pengulangan topik perkenalan.
Bagian
itulah yang menarik, selain daripada cerita-cerita mereka yang mengesankan.
Saya belajar untuk memberikan diri secara tulus bagi mereka. Sebab, tanpa itu
saya tentu akan mengalami kebosanan dan mengabaikan cerita mereka. Sementara,
para lansia sangat membutuhkan kedekatan serta pemenuhan emosional tersebut.
Berdasarkan pengalaman
konseling pula, saya menemukan permasalahan baru yang layak untuk saya pelajari
kembali dikemudian hari ini. Pertanyaan tentang, “Apakah seluruh persoalan
emosional yang telah berakar dalam diri mereka dapat disembuhkan dan harus disembuhkan?”.
Ini menjadi persoalan besar dalam diri saya ketika melakukan konseling bersama
mereka. Sebab karena pertanyaan ini, saya tidak berani menyentuh
percakapan-percakapan soal anak, istri dan keluarga. Terlebih lagi, mereka
mengalami demensia yang menyulitkan proses penyembuhan itu sangat sulit
bagi saya.
5.
Bersemangat, Bersukacita dan Belajar Pengaruh Lingkungan di PPOS
Mungkin di antara kita
beranggapan bahwa musim salju tampak sangat indah dengan warna putih di
mana-mana dan penuh keceriaan seperti gambaran di berbagai film. Padahal, bagi
orang-orang yang tinggal di negara empat musim, kedatangan musim dingin adalah
perusak mood. Salju tidak turun dari awan cerah, tetapi dari langit yang
tertutup oleh awan kelabu. Awan kelabu itu bukan seperti hujan yang datang
beberapa jam lalu menghilang dan langit biru tampak kembali, melainkan mampu
bertahan hingga tiga bulan. Sesekali cahaya matahari menyelinap sesekali awan
kelabu hilang, tetapi lebih banyak hari tanpa cahaya matahari.
Tentu yang menjadi
pertanyaan adalah, “Mengapa Musim Dingin itu merusak Mood?” dan “Mengapa kita
membutuhkan Matahari?”
Sadarkah kita ternyata,
salah satu pemicu perasaan kita tidak bahagia dan terjebak dalam stress juga
karena ketiadaan sinar matahari yang dapat diserap tubuh kita. Secara Biologis,
matahari dengan Sinar UVB memicu tubuh untuk memproduksi Vitamin D yang sangat
esensial bagi kesehatan tulang dan kesehatan mental. Salah satu artikel yang
ditulis oleh Turner dan Mainster dalam British Journal of Ophthalmology
menunjukkan bahwa mata memainkan peran penting dalam kesehatan yang baik. Para
penulis menyatakan bahwa “Cahaya terang (≥2500 lux), terutama dari sumber yang
lebih biru seperti cahaya matahari di luar ruangan, dapat mengurangi atau
menghilangkan insomnia dan depresi; meningkatkan serotonin otak , suasana hati,
kewaspadaan, dan fungsi kognitif.” Sebuah studi di Biological Psychiatry pada
tahun 1994 juga menunjukkan bahwa “banyak orang Amerika mungkin menerima
paparan cahaya yang tidak mencukupi untuk mempertahankan suasana hati yang
optimal.” Menariknya, subjek dalam penelitian ini berlokasi di San Diego, California,
dan berusia 40 hingga 64 tahun.
Selain paparan sinar
matahari, salah satu yang mempengaruhi mental kita saat memproses mental adalah
lokasi geografis, apakah kita tinggal di perkotaan atau di daerah yang lebih
hijau. Salah satu penelitian terhadap ribuan orang di Denmark dan di Belanda
menunjukkan bahwa gangguan kejiwaan jauh lebih banyak dialami oleh orang-orang
yang tinggal di daerah urban atau perkotaan. Semakin padat dan kompleks sebuah
kota, semakin kompleks gangguan kejiwaan yang dialami penduduknya. Bahkan,
risiko untuk mengalami beberapa gangguan sekaligus (komorbiditas) semakin
tinggi di lingkungan urban. Penelitian yang dilakukan sekelompok ilmuwan di
University of Exeter Medical School menemukan bahwa orang-orang yang pindah ke
area yang lebih hijau dan terbuka mengalami peningkatan kualitas kesehatan
mental pada tahun-tahun awal perpindahan mereka. Sebaliknya mereka yang pindah
ke area yang lebih padat akan mengalami penurunan kualitas kesehatan mental.
Ada sebuah konsep yang
diperkenalkan oleh ahli biologi Amerika Edward O. Wilson (1984) disebut
Biophilia Hypothesis (Bio = Kehidupan; Philia = Cinta) yang berarti
kecenderungan universal manusia untuk mencintai alam dan ingin kembali ke alam.
Bagaimanapun kehidupan modern menarik kita dari alam, selalu ada bagian dari
jiwa yang terpanggil untuk mengembalikan manusia pada kodratnya, yaitu
mencintai dan hidup selaras dengan alam.
Kecenderungan universal
ini ada pada diri kita karena secara biologis manusia membutuhkan ketenangan
yang diberikan alam, seperti; Fenomena, Pemandangan dan Suara yang berasal dari
Alam. Secara filosofis, kita lahir dari alam dan akan kembali ke alam, sehingga
keterikatan dengan alam selalu terhubung dengan manusia.
Kebahagiaan yang
berasal dari keterikatan kita dengan alam, tentu berbeda dengan perasaan
keterikatan dengan keluarga, teman atau tempat tinggal. Perasaan ini esensial
bagi eksistensi kita sebagai manusia. Meskipun, bisa memperparah kesehatan
mental manusia dengan segala fenomenanya, tapi alam juga mendorong kita untuk
berbuat lebih baik dalam menghadapi dan menjaga kesehatan mental kita.
Saya pikir, pemahaman
ini nyata dan terwujud untuk kesehatan mental Orangtua di PPOS bisa lebih
sejahtera dengan berbagai kegiatan yang kami lakukan bersama di dalam kompleks
ataupun di luar kompleks PPOS. Hal ini jadi ilmu menarik untuk saya bisa sampaikan
ketika saya berada di pelayanan nanti, tentang bagaimana cara perawatan yang
baik pada para lansia. Bahwa mereka membutuhkan kebersihan dan lingkungan asri
untuk kesehatan mental mereka. Bukan dikurung dalam rumah, apalagi di dalam
kamar seperti terpenjara.
Walaupun, saya sadari
pula ada kegiatan yang awalnya tidak menarik dan membuat diri berkeluh kesah.
Sebab kami diberikan tugas untuk membersihkan popok yang telah digunakan agar
tidak menjadi sampah yang sulit diurai. Namun menjadi bahan berguna dalam
menjaga unsur tanah di lingkungan PPOS yakni gel yang terdapat pada popok
bekas. Apabila hal ini tidak dilakukan, tentu akan membuat udara di sekitar
pembuangan popok menjadi tidak segar dan bahkan mengganggu kenyamanan kompleks
dari unit PPOS.
Saya juga
berpengharapan besar, agar program pembebasan lahan dapat berhasil. Mengingat
kebutuhan kesehatan mental yang dibutuhkan orangtua, serta aktivitas yang dapat
dipergunakan lebih banyak. Karena mereka juga membutuhkan aktivitas untuk
melakukan hal-hal produktif. Tentu sesuai dengan keterbatasan serta kemampuan
mereka.
Penutup
Kata “Bersemangat,
Bersukacita dan Belajar” menjadi poin penting dalam proses magang ini. Tentu
hal serupa juga saya sampaikan kepada setiap orang yang masih memperdebatkan
persoalan Budaya dan penitipan orangtua di PPOS. Jelasnya, pernyataan Direktur
PPOS yakni Pdt Frida Debora br Purba menjadi ingatan yang baik untuk saya;
bahwa Gereja tidak pernah memfasilitasi tempat pembuangan bagi orangtua. Karena
faktanya PPOS bukanlah tempat pembuangan, melainkan tempat yang justru
mengajarkan kita tentang kebutuhan-kebutuhan yang juga harus dipenuhi dalam
diri Lansia di masa tua sebagai manusia yang sama seperti mereka di umur
produktif pula. Karena itu saya membayangkan, bila para pegawai bisa menjadi
Trainer atau Narasumber untuk perawatan seorang Lansia.
Sehingga Sosialiasi
mengenai PPOS semakin diperluas dan berkembang. Baik secara konvensional dalam
pertemuan-pertemuan yang difasilitasi oleh GBKP secara keseluruhan. Ataupun
memanfaatkan media digital GBKP untuk bersosialiasi tentang cara pelayanan kepada
para lansia dan yang telah dilakukan lansia kepada para pengguna digital. Saya
membayangkan bagaimana PPOS bisa berdampak lebih luas, bukan hanya dengan apa
yang telah dilakukan secara nyata di dalam kompleks. Tetapi juga, bagi para
pengguna media digital yang selama ini tidak mengerti dan memahami
kebutuhan-kebutuhan para lansia.
Komentar
Posting Komentar