Merasa Cukup di Tengah Dunia yang Rakus 1 Timotius 6:6-10 (REFRENSI TAMBAHAN PJJ GBKP : 29 SEPTEMBER - 5 OKTOBER 2024)

 


Bayangkan Anda sedang duduk di kafe favorit, menyeruput kopi panas sambil melihat orang-orang berlalu-lalang. Mereka tampak tergesa-gesa, masing-masing sibuk dengan kehidupan mereka sendiri. Mungkin ada yang baru saja membeli ponsel terbaru, ada juga yang memegang tas belanja dari butik-butik mewah. Di tengah hiruk-pikuk ini, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, Apakah aku sudah merasa cukup?

Dalam surat 1 Timotius 6:6-10, Rasul Paulus menulis pesan yang sangat relevan bagi kita yang hidup di zaman modern: “Ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.” Di tengah dunia yang dipenuhi oleh hasrat akan kekayaan, status sosial, dan kepemilikan materi, Paulus mengajarkan kita untuk merasa cukup dan menolak cinta akan uang, yang disebut sebagai akar segala kejahatan. Tapi sebelum Paulus berbicara, ajaran ini sudah lebih dahulu disampaikan oleh Yesus sendiri. Melalui kehidupan dan ajaran-Nya, Yesus menunjukkan bagaimana rasa cukup adalah panggilan untuk hidup dalam kesederhanaan dan mempercayakan segala sesuatu kepada Bapa di surga.

Lalu, bagaimana kita bisa menghayati pesan Yesus tentang rasa cukup di tengah masyarakat yang terus mendorong kita untuk mengejar lebih banyak? Mari kita renungkan

1. Yesus: Sumber Kebahagiaan yang Sejati Bukan pada Kekayaan

Yesus, dalam Matius 6:25-34, memberikan ajaran yang sangat jelas: jangan khawatir akan hal-hal duniawi seperti makanan dan pakaian, karena Bapa di surga tahu apa yang kita butuhkan. Yesus tidak hanya mengajarkan untuk merasa cukup secara fisik, tetapi juga secara spiritual. Ia mengarahkan hati kita kepada pemeliharaan Allah, dan menantang kita untuk mencari kerajaan-Nya terlebih dahulu, karena semua yang kita butuhkan akan ditambahkan kepada kita.

Yesus menegaskan bahwa hidup bukanlah tentang mengejar harta atau kepemilikan. Seperti yang Ia katakan dalam Lukas 12:15, “Hati-hatilah dan jagalah dirimu terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari kekayaannya itu.” Pesan Yesus ini jelas: kekayaan dunia tidak dapat memberi kita kebahagiaan sejati, melainkan kepercayaan kita kepada Allah yang menyediakan segala kebutuhan kita.

2. Paulus: Ibadah yang Dibarengi Rasa Cukup adalah Keuntungan Besar

Menyambung ajaran Yesus, Rasul Paulus dalam 1 Timotius 6:6-10 berbicara tentang bahaya cinta uang dan keinginan untuk menjadi kaya. Ia mengingatkan bahwa kita tidak membawa apa-apa ke dunia ini dan tidak bisa membawa apa pun keluar dari dunia ini. “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah,” kata Paulus, menggemakan ajaran Yesus tentang kepasrahan kepada Tuhan. Paulus tidak menentang kekayaan itu sendiri, tetapi ia menentang perbudakan oleh keinginan untuk memperkaya diri.

Pandangan Paulus ini merupakan ekspresi nyata dari ajaran Yesus tentang hidup dalam keugaharian. Paulus tahu betul bahwa cinta akan uang menjerat banyak orang ke dalam kehancuran. Dalam kata-katanya, “akar segala kejahatan ialah cinta uang.” Sama seperti Yesus, Paulus mengingatkan kita bahwa kebahagiaan dan kedamaian sejati ditemukan ketika kita hidup dalam rasa cukup, tidak terobsesi oleh kekayaan duniawi.

3. Foucault: Pengendalian Diri di Tengah Sistem Kekuasaan

Dalam hal ini, saya juga teringat akan Michel Foucault. Foucault, meskipun bukan seorang teolog, ia memberikan wawasan penting tentang bagaimana kekuasaan duniawi bekerja untuk mengendalikan hasrat manusia. Menurutnya, kita hidup dalam masyarakat yang terus-menerus mendorong kita untuk mengejar lebih banyak—lebih barang, lebih uang, lebih pengalaman. Dalam konteks inilah, ajaran Yesus tentang rasa cukup menjadi bentuk pengendalian diri yang sangat radikal.

Yesus, melalui pengajaran-Nya, mengundang kita untuk tidak hidup di bawah tekanan duniawi yang terus menuntut lebih. Hidup dalam rasa cukup adalah bentuk kebebasan dari cengkraman dunia, sebuah resistensi terhadap kekuasaan yang terus berusaha memanipulasi keinginan kita. Seperti yang Foucault katakan, pengendalian diri menjadi kunci dalam melawan pengaruh kekuasaan eksternal yang tak terlihat, dan ajaran Yesus menawarkan kita kekuatan rohani untuk menjalani hidup yang bebas dari pencobaan kerakusan.

4. Derrida: Dekonstruksi Hasrat Duniawi

Filsuf postmodern Jacques Derrida memberikan pandangan yang membantu kita mengurai betapa kuatnya hasrat duniawi yang diciptakan oleh masyarakat modern. Menurut Derrida, banyak dari apa yang kita inginkan sebenarnya terbentuk oleh struktur sosial yang mengajarkan kita untuk tidak pernah merasa cukup. Derrida mengajarkan tentang dekonstruksi, sebuah proses untuk melihat ke dalam dan meneliti asal-usul hasrat kita.

Dalam terang ajaran Yesus, dekonstruksi Derrida memberi kita alat untuk memahami bahwa sering kali keinginan kita untuk memiliki lebih banyak hanyalah cerminan dari sistem sosial yang salah. Yesus menantang kita untuk memeriksa hati kita: apakah kita mengejar hal-hal duniawi ataukah kita benar-benar mencari kerajaan Allah?

5. Baudrillard: Ilusi Kekayaan dalam Simulacra

Jean Baudrillard memperkenalkan konsep simulacra, sebuah dunia ilusi yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi. Kekayaan, menurut Baudrillard, sering kali hanyalah sebuah simulasi—ilusi kebahagiaan yang dijanjikan oleh barang-barang material. Namun, Yesus menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam harta benda. Cinta akan uang, seperti yang Paulus katakan, hanyalah akar dari penderitaan dan kebinasaan.

Dengan memahami simulacra, kita bisa melihat bahwa apa yang ditawarkan oleh dunia—kekayaan, status, kesuksesan materi—sebenarnya kosong. Yesus, melalui hidup-Nya yang sederhana, menolak semua bentuk ilusi ini. Ia mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dalam hubungan dengan Bapa di surga, bukan dalam kekayaan yang fana.

Kesimpulan: Menghidupi Ajaran Yesus di Tengah Dunia yang Rakus

Saudara-saudari, di tengah dunia yang rakus dan penuh dengan hasrat tak berkesudahan, ajaran Yesus dan Paulus menawarkan jalan yang berbeda—jalan keugaharian, rasa cukup, dan kebebasan dari jerat cinta akan uang. Hidup dengan rasa cukup bukan berarti menolak segala sesuatu, tetapi memilih untuk mempercayai pemeliharaan Tuhan, yang akan memenuhi segala kebutuhan kita.

Yesus telah menunjukkan kepada kita bahwa kebahagiaan dan kedamaian sejati hanya dapat ditemukan ketika kita tidak lagi diperbudak oleh kekayaan, tetapi menjalani hidup dalam kepercayaan penuh kepada Allah. Dalam suratnya kepada Timotius, Paulus menekankan kembali pesan ini: “Ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.”

Maka, mari kita bertanya kepada diri sendiri: Apakah kita merasa cukup? Apakah kita siap untuk hidup dengan percaya kepada Tuhan, yang tahu segala kebutuhan kita, dan berhenti mengejar kekayaan dunia yang fana? Sebab, dalam rasa cukup, kita menemukan kebebasan. Dan dalam kebebasan itu, kita menemukan kedamaian sejati yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan.

Catatan Kaki:

1.      St. Basil dari Kaisarea, On Social Justice, diterjemahkan oleh C. Paul Schroeder, 2009.

2.      Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 3: The Care of the Self, diterjemahkan oleh Robert Hurley, 1986.

3.      Jacques Derrida, Writing and Difference, diterjemahkan oleh Alan Bass, 1978.

4.      Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, diterjemahkan oleh Sheila Faria Glaser, 1994.

Komentar