MELAYANI DENGAN SKK (SUKACITA, KETULUSAN, KETELADANAN) 1 PETRUS 5:2-3

 

Pengantar

Dalam dunia tenaga kerja konstruksi, mereka memiliki aturan baru dengan harus memiliki SKK. SKK adalah singkatan dari Sertifikat Kompetensi Kerja, yang merupakan bukti kompetensi dan kemampuan tenaga kerja di sektor konstruksi. Tapi kita tidak sedang berbicara tentang hal ini, kita bicara tentang SUKARELA, KETULUSAN DAN KETELADANAN sebagai hal yang harus terus diperbaharui dalam kehidupan para pelayan Gereja

Dalam teologi John Calvin, konsep Ecclesia Semper Reformanda—Gereja yang selalu diperbaharui—menggarisbawahi bahwa gereja, bersama dengan para pelayannya, dipanggil untuk terus-menerus memperbaharui dan memurnikan diri. Calvin melihat pembaruan ini bukan sekadar pembaharuan struktur atau tradisi, tetapi perubahan dalam diri setiap pribadi yang melayani, sebuah pertobatan yang berlanjut. Dalam pelayanan, kita sering kali mengira bahwa satu keputusan untuk melayani adalah akhir dari perjalanan rohani. Namun, justru perjalanan itu dimulai di sana—panggilan untuk terus menerus diperbaharui oleh Roh Kudus. Ketika kita merasa nyaman dalam pelayanan, apakah kita juga masih tergerak untuk memperbarui hati dan motivasi kita? Pertanyaannya bukan hanya apakah kita melayani, tetapi bagaimana kita melayani—apakah dengan sukacita, ketulusan, dan keteladanan sebagaimana 1 Petrus 5:2-3 ajarkan?

1. Sukacita: Merawat Api Pelayanan dengan Syukur

Sukacita dalam pelayanan bukan sekadar perasaan yang mudah datang dan pergi, melainkan sikap hati yang lahir dari pengenalan akan Tuhan. Namun, banyak pelayan Tuhan mendapati diri terjebak dalam rutinitas, konflik, atau masalah yang berulang sehingga kehilangan sukacita dalam melayani. Ini adalah undangan untuk berefleksi: Apakah kita masih mendapati sukacita dalam pelayanan ini, atau sudah tenggelam dalam persoalan-persoalan yang membuat kita semakin lelah? Ketika sukacita hilang, mudah bagi pelayanan untuk berubah menjadi beban. Kita mengingat kembali pertanyaan Yesus kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Di balik setiap tugas, Yesus menginginkan hati yang sungguh bersukacita dalam panggilan ini, bukan sekadar rutinitas. Di tengah kesibukan, apakah kita masih memiliki hati yang merayakan kebaikan Tuhan, atau sukacita kita tenggelam dalam keluhan? Sukacita adalah api yang membakar semangat pelayanan kita, yang membuat segala jerih lelah kita menjadi ringan. Jika api itu padam, mungkin ini waktunya kita kembali kepada Tuhan, meminta Dia memulihkan sukacita kita.

2. Ketulusan: Pengabdian Tanpa Pencarian Balas Jasa

Ketulusan adalah fondasi yang tak tergantikan dalam pelayanan. Kita dipanggil bukan untuk mencari penghargaan atau keuntungan, tetapi untuk melayani dengan hati yang bebas dari pamrih. Petrus menegaskan bahwa ketulusan adalah dasar dari pelayanan sejati, karena pelayanan yang tidak tulus akan mudah goyah ketika tidak dihargai atau menghadapi tantangan. Di dunia yang penuh dengan apresiasi dan pengakuan, bagaimana kita menjaga hati agar tetap tulus dalam melayani? Ketika pujian tidak datang, atau bahkan muncul kritik yang tidak adil, apakah kita masih bisa melayani dengan hati yang sama?

Ini adalah momen reflektif: Apakah kita tetap setia melayani ketika upaya kita tampak tidak dihargai, atau apakah kita mulai kecewa dan mempertanyakan panggilan kita? Pelayanan yang tulus memandang kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Kristus memberi teladan ini dengan melayani hingga akhir, bahkan di saat orang-orang yang Dia layani meninggalkan-Nya. Bagi seorang pelayan Tuhan, pengakuan bukanlah tujuan akhir, karena pelayanan yang sejati adalah cermin kasih Allah yang tidak bersyarat. Ketika kita melayani dengan ketulusan, kita mengalami persekutuan yang lebih dalam dengan Tuhan yang telah terlebih dahulu melayani kita.

3. Keteladanan: Menjadi Cermin Hidup Kasih Kristus

Sebagai pelayan Tuhan, Petrus mengingatkan bahwa panggilan kita bukan untuk menguasai, tetapi untuk menjadi teladan bagi jemaat. Keteladanan berbicara lebih kuat daripada kata-kata yang kita ucapkan; jemaat tidak hanya melihat apa yang kita sampaikan, tetapi juga bagaimana kita hidup. Pertanyaannya: Apakah kita telah menjadi teladan yang menginspirasi mereka, ataukah kita malah menjadi batu sandungan?

Keteladanan bukan berarti kita sempurna, tetapi berarti kita bersedia dibentuk dan terus menerus diperbaharui oleh Tuhan. Pelayan Tuhan dipanggil untuk mencerminkan kasih Kristus melalui cara hidup yang menginspirasi jemaat, bukan dengan paksaan tetapi dengan cinta kasih yang murni. Di sini, kita diundang untuk merenungkan apakah perkataan, sikap, dan perbuatan kita mencerminkan Kristus dalam segala hal. Ketika jemaat melihat kita, apakah mereka terdorong untuk semakin mengenal Tuhan atau malah menjauh? Keteladanan itu ditunjukkan dalam kesabaran menghadapi konflik, integritas dalam menjalani tugas, dan keikhlasan dalam setiap tindakan.

Ketika kita merenungkan makna keteladanan, kita menyadari bahwa pelayanan bukan tentang seberapa banyak kita dapat mengubah orang lain, tetapi seberapa kita dapat mencerminkan kasih dan kerendahan hati Kristus dalam hidup kita. Sebuah pelayanan yang dilakukan dengan teladan akan mendorong jemaat untuk mengikutinya dengan sukarela, bukan karena kewajiban atau paksaan.


Penutup: Terus Melayani dengan Hati yang Diperbaharui

Melayani dengan SKK—Sukacita, Ketulusan, Keteladanan—adalah perjalanan panjang yang membutuhkan pengorbanan, tetapi sekaligus membawa berkat yang tak terukur. Ketika kita merasa lelah, kecewa, atau bahkan ragu, ingatlah bahwa Tuhan yang memanggil kita juga akan terus membaharui hati dan semangat kita. Di dalam Yesus, kita menemukan kekuatan untuk melayani dengan sepenuh hati, karena kita tidak melayani untuk penghargaan manusia, tetapi untuk kemuliaan Allah. Seperti yang diungkapkan John Calvin, pembaruan dalam pelayanan adalah perjalanan tanpa akhir. Marilah kita mengizinkan Roh Kudus untuk terus membaharui hati kita agar menjadi pelayan-pelayan yang setia, yang memancarkan sukacita, ketulusan, dan keteladanan dalam setiap langkah kita.

Komentar