Menuju Peringatan Reformasi Gereja Bagian Kedua : Pengorbanan dan Perubahan

 


Reformasi Gereja bukan hanya tentang pembaruan doktrin atau perubahan struktur, melainkan juga tentang keberanian untuk menghadapi kenyamanan yang menutupi kebenaran. Ketika kebenaran datang, sering kali ia mengguncang kenyamanan yang sudah lama dinikmati oleh banyak orang. Hal inilah yang terjadi pada masa Martin Luther dan para reformator lainnya. Mereka menghadapi tantangan besar saat menyuarakan kebenaran di tengah Gereja yang telah mapan dengan kekuasaan dan tradisi yang kadang melenceng dari ajaran Alkitab.

Kebenaran dan Zona Nyaman

Kebenaran, dalam konteks apapun, seringkali sulit diterima oleh mereka yang hidup dalam zona nyaman. Seperti halnya dalam gereja abad ke-16, banyak pemimpin gereja dan umat yang terbiasa dengan status quo merasa terancam dengan gagasan Luther dan para reformator. Gagasan bahwa keselamatan tidak dapat dibeli melalui indulgensi, bahwa otoritas Alkitab lebih tinggi daripada ajaran gereja, dan bahwa setiap orang percaya dapat berhubungan langsung dengan Tuhan adalah hal yang revolusioner.

Martin Luther dan tokoh-tokoh reformator lainnya tahu bahwa mengangkat isu-isu ini berarti keluar dari zona nyaman mereka. Luther, seorang biarawan yang awalnya menikmati kehidupan religius yang teratur, mulai meragukan ajaran-ajaran tertentu dalam Gereja Katolik yang ia lihat bertentangan dengan Kitab Suci. Begitu pula dengan John Calvin, Huldrych Zwingli, dan reformator lainnya yang menyadari bahwa mengkritik gereja bukanlah tindakan yang mudah. Mereka tahu bahwa harga yang harus dibayar untuk menyuarakan kebenaran sangat mahal.

Pengorbanan: Harga untuk Kebenaran

Dalam Yohanes 12:24, Yesus berkata, "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." Ayat ini menjadi pengingat kuat bahwa perubahan sejati tidak mungkin terjadi tanpa pengorbanan. Seperti biji gandum yang harus mati agar dapat berbuah, demikian pula setiap reformasi dan pembaruan membutuhkan pengorbanan.

Luther sendiri menghadapi konsekuensi berat atas tindakannya. Dia diadili di hadapan dewan gereja dalam Diet Worms pada tahun 1521, di mana ia menolak untuk mencabut ajarannya. Akibatnya, ia diasingkan dan dinyatakan sebagai musuh publik oleh Kekaisaran Romawi Suci. John Calvin juga harus hidup dalam pengasingan, dan banyak reformator lainnya menghadapi ancaman mati, penjara, dan penganiayaan. Namun, mereka tetap teguh karena memahami bahwa pengorbanan adalah harga yang harus dibayar untuk kebenaran yang lebih besar.

Pengorbanan mereka tidak sia-sia. Gerakan Reformasi yang mereka mulai membuahkan hasil yang melimpah: akses terbuka kepada Alkitab, iman yang lebih personal dan mendalam, serta pembaruan gereja di seluruh dunia. Apa yang mereka alami menjadi bukti nyata dari kata-kata Yesus dalam Yohanes 12:24: kebenaran yang ditegakkan dengan pengorbanan akan menghasilkan buah yang berlipat ganda.

Mengharapkan Perubahan Tanpa Pengorbanan adalah Ilusi

Gereja modern sering kali terjebak dalam ilusi bahwa perubahan dapat terjadi tanpa pengorbanan. Kita ingin melihat pembaruan, revitalisasi, dan pertumbuhan, tetapi sering kali enggan menghadapi rasa sakit dan tantangan yang menyertainya. Kita ingin hasil yang cepat dan instan, tanpa harus meninggalkan kenyamanan yang selama ini kita nikmati. Namun, sejarah Reformasi Gereja mengajarkan kepada kita bahwa setiap perubahan besar memerlukan harga yang harus dibayar.

Jika gereja saat ini ingin melihat perubahan yang sejati, maka kita harus siap untuk keluar dari zona nyaman kita. Kita harus bersedia untuk menghadapi isu-isu yang sulit, mengakui kelemahan-kelemahan dalam tubuh Kristus, dan mengambil tindakan untuk memperbaikinya, meskipun itu berarti menghadapi penolakan atau pengorbanan. Kita tidak bisa mengharapkan buah yang melimpah jika kita tidak bersedia untuk "mati" terhadap zona nyaman kita, seperti biji gandum dalam perumpamaan Yesus.

Refleksi Gereja Saat Ini

Dalam konteks gereja masa kini, pertanyaannya adalah: Apa yang kita rela korbankan untuk melihat perubahan sejati? Apakah kita siap untuk menantang budaya konsumtif dalam gereja kita? Apakah kita bersedia mengorbankan popularitas demi menyuarakan kebenaran yang mungkin tidak nyaman bagi banyak orang? Apakah kita bersedia mengambil sikap kritis terhadap praktik-praktik yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, meskipun itu membuat kita tidak populer di mata dunia?

Kita tidak dipanggil untuk hidup dalam kenyamanan, tetapi untuk hidup dalam kebenaran. Jika gereja ingin menjalani pembaruan sejati, kita harus siap untuk keluar dari zona nyaman kita, seperti yang dilakukan oleh Luther dan reformator lainnya. Kita harus bersedia mengorbankan apa yang perlu, agar kebenaran Kristus dapat ditegakkan dan menghasilkan buah yang melimpah bagi dunia.

Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa kebenaran dan pengorbanan selalu berjalan beriringan. Seperti yang diajarkan oleh Yesus, hanya melalui pengorbanan kitalah perubahan sejati dapat terjadi. Reformasi Gereja bukanlah sejarah yang telah berlalu; itu adalah panggilan abadi bagi gereja untuk terus mengalami pembaruan melalui pengorbanan, kebenaran, dan kasih.

Komentar