REFRENSI TAMBAHAN PJJ GBKP 03-09 NOVEMBER 2024 "Hidup dan Melakukan Kebaikan Ulangan 10:12-22"

 


Pengantar

Pernahkah kita merenungkan sejenak, mengapa kita merasa terpanggil untuk berbuat baik? Apakah itu datang dari kebutuhan untuk melindungi orang lain, memenuhi nilai-nilai yang ditanamkan dalam diri kita, atau mungkin sebagai ungkapan syukur atas segala kebaikan yang telah kita terima? Gagasan tentang moralitas dan tujuan hidup manusia bukanlah hal baru; berbagai filsuf dan pemikir besar sepanjang sejarah telah memperdebatkan tema ini. Salah satunya, Friedrich Nietzsche, dalam satu kesempatan ia berpandangan bahwa menekankan belas kasih terhadap yang lemah, justru dalam menjadi penghambat potensi manusia itu. Tentu hal ini layak menjadi perenungan kita, namun penting pula untuk kita melihat perspektif berbeda dari Kitab Ulangan 10:12-22.

Motivasi Utama untuk Berbuat Baik

Ayat 12-13 dari Ulangan 10 dimulai dengan pertanyaan sederhana yang seolah-olah ingin memantik kesadaran: “Sekarang, hai Israel, apakah yang diminta dari padamu oleh Tuhan, Allahmu?” Tuhan hanya meminta umat-Nya untuk hidup dalam kasih, takut akan Dia, dan berjalan bersama-Nya.

Tentu, ketaatan kepada Tuhan bukanlah kewajiban kosong, tetapi sebuah tanggapan tulus atas kasih yang besar. Hidup dengan takut akan Tuhan tidak hanya berarti patuh pada aturan, tetapi menyadari bahwa setiap tindakan kita adalah bagian dari hubungan kita dengan Sang Pencipta, memuliakan-Nya dalam segala hal yang kita lakukan. Ini adalah panggilan untuk berbuat baik dari hati yang sungguh-sungguh, di mana motivasi utamanya bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan, tetapi sebagai wujud kasih yang nyata kepada Tuhan dan sesama.

Dengan kata lain, kita akhirnya terbebaskan dari pola pikir "legalisme," di mana kebaikan menjadi beban aturan dan bukan lagi panggilan hati. Mengasihi Tuhan dengan tulus berarti tindakan kebaikan kita muncul dari hati yang penuh syukur, yang sadar bahwa kasih dan perlindungan-Nya adalah alasan kita hidup dan menjadi saluran kasih-Nya di dunia.

Pondasi untuk Kebaikan Sosial

Ulangan 10:18 menggambarkan Allah sebagai pelindung mereka yang lemah – anak yatim, janda, dan orang asing. Ini adalah cetak biru etika Israel, yang mengajarkan bahwa iman sejati mencakup tanggung jawab sosial, khususnya kepada mereka yang lemah. Para teolog Perjanjian Lama seperti Walter Brueggemann dan Christopher Wright melihat bahwa keadilan sosial adalah bagian dari iman, bukan sesuatu yang terpisah darinya. Umat Tuhan dipanggil untuk melakukan hal yang sama, mencerminkan kasih Tuhan dengan membela yang lemah.

Seperti yang telah disinggung dalam pengantar, tentu layak untuk kita memeriksa sikap kita terhadap orang-orang yang rentan. Apakah kita sekadar menunjukkan kebaikan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, atau apakah kita sungguh-sungguh peduli pada kesejahteraan mereka? Tuhan menghendaki umat-Nya untuk berbuat baik kepada orang-orang yang termarjinalkan bukan sekadar sebagai tugas, tetapi sebagai bukti nyata dari iman dan kasih kita. Sebagai refleksi, marilah kita bertanya: Apakah hidup kita benar-benar mencerminkan kasih Tuhan kepada mereka yang rentan? Mungkinkah ada yang bisa kita lakukan lebih dari sekadar memberi sedikit bantuan?

Mengasihi Orang Asing Seperti Diri Sendiri

Ayat 19 memanggil umat Israel untuk “mengasihi orang asing,” mengingatkan mereka bahwa mereka sendiri dahulu adalah orang asing di tanah Mesir. Prinsip ini menekankan bahwa kita perlu melihat dan menghargai orang lain, terlepas dari perbedaan budaya, bangsa, atau latar belakang mereka. Dalam pandangan filsuf Emmanuel Levinas, hubungan kita dengan "yang Lain" bukan hanya tentang menerima tetapi juga menjadi suatu konfrontasi yang memaksa kita melihat keyakinan dan kenyamanan kita.

Kasih kepada orang asing mengajarkan kita untuk merangkul keberagaman, membuka diri terhadap perbedaan, dan bersedia ditantang oleh keunikan mereka. Dalam masyarakat yang semakin beragam, kita diajak untuk mewujudkan kasih sejati yang menghargai setiap manusia sebagai ciptaan Tuhan. Ini adalah panggilan bagi kita untuk tidak takut pada perbedaan, tetapi untuk melihat setiap pertemuan dengan orang lain sebagai kesempatan untuk belajar, berkembang, dan membangun perdamaian.

Berbuat Baik sebagai Respons Syukur atas Kebaikan Tuhan

Ayat 21 mengingatkan umat Israel bahwa Allah adalah yang telah melakukan "perkara besar dan dahsyat" bagi mereka. Dalam pengingat ini, Musa mengarahkan mereka untuk hidup dengan syukur, menjadikan perbuatan baik sebagai ungkapan syukur yang tulus atas semua kebaikan yang telah Allah berikan. Namun, filsuf seperti Slavoj Žižek mengkritik konsep syukur yang sering kali menjadi alat untuk meredakan konflik sosial tanpa menyelesaikan akar masalah ketidakadilan. Syukur dalam pandangan Žižek tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan ketidakadilan yang ada.

Karena itu, dalam hal ini saya menantang kita untuk memastikan bahwa syukur kita bukanlah pelarian dari tanggung jawab sosial, melainkan panggilan untuk memperjuangkan kebaikan yang lebih dalam. Karena syukur yang sejati adalah tindakan nyata, bukan hanya kata-kata. Ini adalah panggilan untuk berbuat baik sebagai bentuk syukur, di mana tindakan tersebut lahir dari kesadaran bahwa kita telah menerima banyak dari Tuhan, dan kita dipanggil untuk membagikannya dengan orang lain.

 

Penutup

Ajaran dalam Ulangan 10:12-22 adalah panggilan bagi kita untuk menjalani hidup yang seimbang, di mana belas kasih terhadap yang lemah tidak membatasi kita, tetapi justru memampukan kita untuk tumbuh bersama. Tuhan menghendaki umat-Nya untuk hidup dalam kasih dan tanggung jawab sosial, sebagai respons terhadap kasih-Nya yang tanpa syarat.

Refleksi ini mengingatkan kita bahwa berbuat baik bukanlah sekadar tindakan moral atau hukum, tetapi adalah tindakan iman yang dilandasi oleh kasih kepada Tuhan. Berbuat baik kepada sesama, terutama mereka yang rentan, adalah wujud dari hubungan kita dengan Tuhan yang mencakup semua aspek kehidupan kita, dari cara kita memperlakukan orang lain hingga bagaimana kita merespons kebaikan Tuhan dengan syukur yang sejati.

Dalam perenungan ini, marilah kita memeriksa kembali motivasi kita, merespons kebaikan Tuhan dengan tindakan nyata, dan menjadikan kasih sebagai pusat hidup kita. Mungkin di tengah dunia yang sering kali penuh prasangka dan ketidakadilan, inilah momen untuk berani hidup berbeda – dengan kasih, keadilan, dan syukur yang tulus.

Komentar