Pengantar
Pernahkah kita
merenungkan sejenak, mengapa kita merasa terpanggil untuk berbuat baik? Apakah
itu datang dari kebutuhan untuk melindungi orang lain, memenuhi nilai-nilai
yang ditanamkan dalam diri kita, atau mungkin sebagai ungkapan syukur atas
segala kebaikan yang telah kita terima? Gagasan tentang moralitas dan tujuan
hidup manusia bukanlah hal baru; berbagai filsuf dan pemikir besar sepanjang
sejarah telah memperdebatkan tema ini. Salah satunya, Friedrich Nietzsche, dalam
satu kesempatan ia berpandangan bahwa menekankan belas kasih terhadap yang
lemah, justru dalam menjadi penghambat potensi manusia itu. Tentu hal ini layak
menjadi perenungan kita, namun penting pula untuk kita melihat perspektif
berbeda dari Kitab Ulangan 10:12-22.
Motivasi Utama untuk
Berbuat Baik
Ayat 12-13 dari Ulangan
10 dimulai dengan pertanyaan sederhana yang seolah-olah ingin memantik
kesadaran: “Sekarang, hai Israel, apakah yang diminta dari padamu oleh Tuhan,
Allahmu?” Tuhan hanya meminta umat-Nya untuk hidup dalam kasih, takut akan Dia,
dan berjalan bersama-Nya.
Tentu, ketaatan kepada
Tuhan bukanlah kewajiban kosong, tetapi sebuah tanggapan tulus atas kasih
yang besar. Hidup dengan takut akan Tuhan tidak hanya berarti patuh pada
aturan, tetapi menyadari bahwa setiap tindakan kita adalah bagian dari
hubungan kita dengan Sang Pencipta, memuliakan-Nya dalam segala hal yang kita
lakukan. Ini adalah panggilan untuk berbuat baik dari hati yang
sungguh-sungguh, di mana motivasi utamanya bukan sekadar untuk memenuhi
tuntutan, tetapi sebagai wujud kasih yang nyata kepada Tuhan dan sesama.
Dengan kata lain, kita
akhirnya terbebaskan dari pola pikir "legalisme," di mana kebaikan
menjadi beban aturan dan bukan lagi panggilan hati. Mengasihi Tuhan dengan
tulus berarti tindakan kebaikan kita muncul dari hati yang penuh syukur, yang
sadar bahwa kasih dan perlindungan-Nya adalah alasan kita hidup dan menjadi
saluran kasih-Nya di dunia.
Pondasi untuk Kebaikan
Sosial
Ulangan 10:18
menggambarkan Allah sebagai pelindung mereka yang lemah – anak yatim, janda,
dan orang asing. Ini adalah cetak biru etika Israel, yang mengajarkan bahwa
iman sejati mencakup tanggung jawab sosial, khususnya kepada mereka yang lemah.
Para teolog Perjanjian Lama seperti Walter Brueggemann dan Christopher Wright
melihat bahwa keadilan sosial adalah bagian dari iman, bukan sesuatu yang
terpisah darinya. Umat Tuhan dipanggil untuk melakukan hal yang sama,
mencerminkan kasih Tuhan dengan membela yang lemah.
Seperti yang telah
disinggung dalam pengantar, tentu layak untuk kita memeriksa sikap kita
terhadap orang-orang yang rentan. Apakah kita sekadar menunjukkan kebaikan
untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, atau apakah kita sungguh-sungguh
peduli pada kesejahteraan mereka? Tuhan menghendaki umat-Nya untuk berbuat baik
kepada orang-orang yang termarjinalkan bukan sekadar sebagai tugas, tetapi
sebagai bukti nyata dari iman dan kasih kita. Sebagai refleksi, marilah kita
bertanya: Apakah hidup kita benar-benar mencerminkan kasih Tuhan kepada mereka
yang rentan? Mungkinkah ada yang bisa kita lakukan lebih dari sekadar memberi
sedikit bantuan?
Mengasihi Orang Asing
Seperti Diri Sendiri
Ayat 19 memanggil umat
Israel untuk “mengasihi orang asing,” mengingatkan mereka bahwa mereka sendiri
dahulu adalah orang asing di tanah Mesir. Prinsip ini menekankan bahwa kita
perlu melihat dan menghargai orang lain, terlepas dari perbedaan budaya, bangsa,
atau latar belakang mereka. Dalam pandangan filsuf Emmanuel Levinas, hubungan
kita dengan "yang Lain" bukan hanya tentang menerima tetapi juga
menjadi suatu konfrontasi yang memaksa kita melihat keyakinan dan kenyamanan
kita.
Kasih kepada orang
asing mengajarkan kita untuk merangkul keberagaman, membuka diri terhadap
perbedaan, dan bersedia ditantang oleh keunikan mereka. Dalam masyarakat yang
semakin beragam, kita diajak untuk mewujudkan kasih sejati yang menghargai
setiap manusia sebagai ciptaan Tuhan. Ini adalah panggilan bagi kita untuk
tidak takut pada perbedaan, tetapi untuk melihat setiap pertemuan dengan orang
lain sebagai kesempatan untuk belajar, berkembang, dan membangun perdamaian.
Berbuat Baik sebagai
Respons Syukur atas Kebaikan Tuhan
Ayat 21 mengingatkan
umat Israel bahwa Allah adalah yang telah melakukan "perkara besar dan
dahsyat" bagi mereka. Dalam pengingat ini, Musa mengarahkan mereka untuk
hidup dengan syukur, menjadikan perbuatan baik sebagai ungkapan syukur yang tulus
atas semua kebaikan yang telah Allah berikan. Namun, filsuf seperti Slavoj
Žižek mengkritik konsep syukur yang sering kali menjadi alat untuk meredakan
konflik sosial tanpa menyelesaikan akar masalah ketidakadilan. Syukur dalam
pandangan Žižek tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan ketidakadilan
yang ada.
Karena itu, dalam hal
ini saya menantang kita untuk memastikan bahwa syukur kita bukanlah pelarian
dari tanggung jawab sosial, melainkan panggilan untuk memperjuangkan kebaikan
yang lebih dalam. Karena syukur yang sejati adalah tindakan nyata, bukan hanya
kata-kata. Ini adalah panggilan untuk berbuat baik sebagai bentuk syukur, di
mana tindakan tersebut lahir dari kesadaran bahwa kita telah menerima banyak
dari Tuhan, dan kita dipanggil untuk membagikannya dengan orang lain.
Penutup
Ajaran dalam Ulangan
10:12-22 adalah panggilan bagi kita untuk menjalani hidup yang seimbang, di
mana belas kasih terhadap yang lemah tidak membatasi kita, tetapi justru
memampukan kita untuk tumbuh bersama. Tuhan menghendaki umat-Nya untuk hidup
dalam kasih dan tanggung jawab sosial, sebagai respons terhadap kasih-Nya yang
tanpa syarat.
Refleksi ini
mengingatkan kita bahwa berbuat baik bukanlah sekadar tindakan moral atau
hukum, tetapi adalah tindakan iman yang dilandasi oleh kasih kepada Tuhan.
Berbuat baik kepada sesama, terutama mereka yang rentan, adalah wujud dari
hubungan kita dengan Tuhan yang mencakup semua aspek kehidupan kita, dari cara
kita memperlakukan orang lain hingga bagaimana kita merespons kebaikan Tuhan
dengan syukur yang sejati.
Dalam perenungan ini,
marilah kita memeriksa kembali motivasi kita, merespons kebaikan Tuhan dengan
tindakan nyata, dan menjadikan kasih sebagai pusat hidup kita. Mungkin di
tengah dunia yang sering kali penuh prasangka dan ketidakadilan, inilah momen
untuk berani hidup berbeda – dengan kasih, keadilan, dan syukur yang tulus.
Komentar
Posting Komentar