RENUNGAN NATAL #1 - "Mengapa Kita Harus ke Betlehem?"

 Lukas 2:15: “Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.”



Pada malam yang sunyi di padang rumput Yudea, para gembala mendengar berita yang mengubah hidup mereka. Malaikat datang membawa kabar sukacita: Mesias telah lahir di Betlehem. Perintah sederhana—"Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem"—menggerakkan hati mereka untuk meninggalkan apa yang biasa mereka lakukan.

Betlehem, kota kecil yang mungkin tampak tidak signifikan, menjadi pusat perhatian dunia pada malam itu. Dalam konteks teologis, Betlehem adalah simbol awal rencana keselamatan Allah. Psikolog Viktor Frankl, dalam bukunya Man's Search for Meaning, berbicara tentang kebutuhan manusia untuk menemukan tujuan yang lebih besar dalam hidup mereka. Sama seperti para gembala, kita sering terjebak dalam rutinitas, lupa mencari makna yang sejati. Betlehem mengingatkan kita bahwa dalam kesederhanaan, ada kehadiran Allah yang nyata.

Di dunia yang sibuk saat ini, kita sering kali kehilangan fokus pada apa yang benar-benar penting. Pengalaman para gembala adalah panggilan untuk menghentikan sejenak rutinitas kita, seperti mereka yang meninggalkan kawanan domba mereka demi menjumpai Yesus. Psikolog John Bowlby, dalam teori keterikatan (attachment theory), menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan mendalam untuk merasa terhubung. Betlehem bukan sekadar tempat geografis; ia menjadi titik di mana Allah ingin terhubung secara pribadi dengan kita.

Filsuf Soren Kierkegaard menambahkan perspektif lain. Dalam karyanya Fear and Trembling, Kierkegaard menekankan pentingnya melangkah dalam iman, bahkan ketika kita tidak sepenuhnya memahami tujuan akhir dari perjalanan kita. Para gembala mungkin tidak tahu apa yang akan mereka temui di Betlehem, tetapi mereka tetap pergi karena iman mereka pada pesan yang diterima.

Pada masa Perang Dunia II, seorang perempuan Kristen bernama Corrie ten Boom ditangkap bersama keluarganya karena menyembunyikan orang Yahudi dari Nazi. Dalam kamp konsentrasi, Corrie tetap mempertahankan iman dan kasihnya kepada Allah. Baginya, Betlehem adalah simbol kehadiran Tuhan yang dapat ditemukan bahkan di tempat yang paling gelap. Ia sering berkata, “Tidak ada lubang yang begitu dalam sehingga kasih Allah tidak dapat menjangkaunya.”

Kisah Corrie menegaskan bahwa "pergi ke Betlehem" bukan hanya perjalanan fisik tetapi juga perjalanan spiritual. Itu adalah keputusan untuk mencari Yesus, bahkan di tengah penderitaan dan ketidakpastian.

Kita mungkin tidak dipanggil untuk berjalan ke kota kecil di Israel, tetapi panggilan untuk "pergi ke Betlehem" tetap relevan. Dalam era di mana teknologi dan materialisme sering menjadi pusat perhatian, kita diundang untuk kembali kepada esensi Natal: mencari Yesus yang lahir dalam kesederhanaan.

Seperti yang dikatakan teolog Dietrich Bonhoeffer, "Betlehem adalah tempat di mana Allah memilih untuk mendekati manusia dalam bentuk yang paling rentan dan penuh kasih. Jika kita tidak menemukan Yesus di palungan, kita akan sulit menemukannya di tempat lain."

Refleksi Pribadi

Apa "Betlehem" dalam hidup Anda? Di mana tempat Anda mencari Yesus dalam kesibukan atau tantangan yang Anda hadapi? Sama seperti para gembala, kita perlu menjawab panggilan untuk meninggalkan kenyamanan kita dan melangkah dalam iman.


Referensi

1.      Alkitab (Lukas 2:15)

2.      Viktor Frankl, Man's Search for Meaning

3.      John Bowlby, Attachment and Loss

4.      Soren Kierkegaard, Fear and Trembling

5.      Dietrich Bonhoeffer, God is in the Manger: Reflections on Advent and Christmas

6.      Kisah Corrie ten Boom dalam The Hiding Place

7.      Artikel psikologi dari APA Journal tentang pencarian makna hidup.

Komentar