(Matius
2:9: “Setelah mendengar kata-kata raja, mereka pun berangkat. Dan lihatlah,
bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan
berhenti di atas tempat di mana Anak itu berada.”)
Para majus berasal dari
Timur, jauh dari Betlehem. Mereka bukanlah orang Yahudi, tetapi dengan berbekal
tanda bintang dan keyakinan, mereka memutuskan untuk meninggalkan kehidupan
mereka yang mapan dan menempuh perjalanan panjang. Mereka tidak tahu apa yang
akan mereka temukan, tetapi keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di
Betlehem membuat mereka berangkat.
Dalam konteks modern,
perjalanan para majus dapat dianalogikan dengan keberanian untuk meninggalkan
zona nyaman. Psikolog Abraham Maslow dalam teorinya tentang hierarchy of
needs menyatakan bahwa manusia cenderung bertahan dalam zona aman karena
takut akan ketidakpastian. Namun, seperti para majus, kita dipanggil untuk
melangkah menuju self-actualization yang lebih besar—menemukan tujuan
dan makna hidup melalui kehadiran Allah.
Kita hidup dalam
masyarakat yang sangat menghargai kenyamanan. Teknologi, kemudahan
transportasi, dan gaya hidup modern sering kali membuat kita menghindari
tantangan. Namun, seperti para majus yang mengikuti bintang, kita dipanggil
untuk berani mengambil langkah yang tidak pasti demi menemukan kemuliaan Allah
dalam hidup kita.
Filsuf Martin Buber
dalam bukunya I and Thou menjelaskan bahwa hubungan sejati dengan Allah
hanya dapat terjadi ketika kita bersedia meninggalkan rutinitas dan keterikatan
pada hal-hal duniawi. Ia menekankan pentingnya melihat hidup sebagai perjalanan
menuju pertemuan dengan Yang Ilahi. Para majus, dengan segala risikonya,
mengajarkan kita tentang komitmen untuk mencari Allah di atas segalanya.
Pada abad ke-19,
seorang misionaris bernama Hudson Taylor memutuskan untuk meninggalkan Inggris
yang nyaman dan pergi ke Cina untuk memberitakan Injil. Taylor mempelajari
budaya lokal, mengenakan pakaian tradisional Cina, dan tinggal di tengah
masyarakat yang berbeda dengannya. Perjalanan ini tidak mudah; ia menghadapi
penolakan, penyakit, dan kesepian. Namun, Taylor melihat bagaimana Allah
bekerja di tengah kesulitannya, membawa banyak orang kepada Kristus.
Kisah Hudson Taylor
mencerminkan keberanian para majus. Untuk melihat kemuliaan Allah, kita harus
bersedia meninggalkan kenyamanan dan melangkah ke wilayah yang belum kita
kenal.
Perjalanan para majus
juga mengingatkan kita bahwa Allah selalu menyediakan penuntun dalam perjalanan
kita, seperti bintang yang mereka ikuti. Penuntun itu bisa berupa Firman-Nya,
doa, atau bahkan pengalaman orang lain. Namun, bintang hanya akan menuntun kita
jika kita memilih untuk melangkah.
Dietrich Bonhoeffer
menulis, “Hanya orang yang percaya yang taat, dan hanya orang yang taat yang
percaya.” Keyakinan para majus mendorong mereka untuk mengambil
langkah-langkah iman. Dalam kehidupan kita, mungkin Tuhan memanggil kita untuk
meninggalkan sesuatu yang nyaman—pekerjaan, hubungan, atau kebiasaan
tertentu—demi melihat kehadiran-Nya dengan lebih jelas.
Refleksi Pribadi
Apakah ada
"bintang" yang sedang Tuhan tunjukkan kepada Anda? Mungkin itu adalah
panggilan untuk mendalami hubungan Anda dengan Allah, atau langkah iman untuk
meninggalkan kebiasaan yang menghambat pertumbuhan rohani Anda. Seperti para
majus, beranikah Anda meninggalkan kenyamanan untuk melihat kemuliaan Allah di
tempat yang belum Anda duga?
Referensi
1.
Alkitab (Matius 2:9)
2.
Abraham Maslow, A Theory of Human
Motivation
3.
Martin Buber, I and Thou
4.
Dietrich Bonhoeffer, The Cost of
Discipleship
5.
Kisah Hudson Taylor dalam China’s
Spiritual Need and Claims
6.
Artikel psikologi dari Journal of
Positive Psychology tentang keberanian untuk melangkah keluar dari zona
nyaman.
Komentar
Posting Komentar