"Tetapi
Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang
di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik
dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar."
—Matius 5:44-45
Dalam dunia yang
dipenuhi dengan batasan sosial, ekspektasi kelompok, dan tekanan untuk memilih
“sisi” tertentu, perkataan Yesus dalam Matius 5:44-48 terdengar radikal. Ia
mengajak kita untuk mengasihi, bukan hanya orang-orang yang baik kepada kita,
tetapi juga mereka yang menyakiti kita. Kasih yang diajarkan Yesus bukan kasih
transaksional—yang hanya diberikan kepada mereka yang pantas
mendapatkannya—tetapi kasih yang melampaui batas, seperti kasih Bapa yang
menerbitkan matahari bagi semua orang.
Bagi banyak muda-mudi,
konsep kasih seperti ini menantang. Dunia mengajarkan bahwa kasih itu harus
selektif, diberikan hanya kepada mereka yang “sefrekuensi” atau tidak menyakiti
kita. Namun, kasih dalam Kristus tidak bersyarat. Ia mengundang kita untuk melampaui
batas kebiasaan, keegoisan, dan dendam.
Mengapa Sulit
Mengasihi?
Psikologi sosial
menjelaskan bahwa manusia cenderung mengasihi mereka yang memiliki kesamaan
nilai dan pengalaman dengannya. Konsep in-group bias menunjukkan bahwa
kita lebih mudah berempati kepada orang-orang dalam kelompok kita sendiri dan
cenderung menghindari atau bahkan membenci mereka yang berbeda.
Namun, jika kita hanya
mengasihi orang-orang yang serupa dengan kita, bagaimana kita bisa bertumbuh
dalam kasih yang sejati? Mengasihi seseorang yang berbeda atau bahkan menyakiti
kita bukan berarti membiarkan diri disakiti terus-menerus, tetapi itu adalah
keputusan untuk tidak membiarkan kebencian menguasai hati kita.
Kasih yang diajarkan
Yesus lebih dari sekadar perasaan; itu adalah sebuah sikap aktif yang bisa kita
kembangkan. Psikologi positif menunjukkan bahwa tindakan kasih yang disengaja,
seperti mengampuni dan berbuat baik kepada orang lain, dapat meningkatkan kesejahteraan
emosional kita sendiri.
Kasih di Hari
Valentine: Bukan Sekadar Perasaan, Tetapi Pilihan
Hari Valentine kerap
diidentikkan dengan bunga, cokelat, dan ungkapan kasih sayang yang romantis.
Namun, kasih yang diajarkan Yesus jauh lebih dalam dari sekadar perasaan dan
ekspresi sesaat. Kasih dalam Kristus bukan hanya tentang memberi kepada mereka yang
kita sukai, tetapi juga tentang melampaui batas—mengasihi mereka yang sulit
dikasihi, menerima mereka yang berbeda, dan tetap menunjukkan kebaikan bahkan
ketika tidak mendapat balasan.
Sebagai anak muda, kita
sering kali terbawa dalam pemahaman dunia tentang kasih—bahwa kasih diberikan
kepada mereka yang kita pilih, kepada mereka yang menyenangkan, atau kepada
mereka yang sejalan dengan kita. Namun, Yesus justru menantang kita untuk memberikan
kasih yang lebih radikal: kasih kepada mereka yang mungkin tidak layak menurut
ukuran manusia, kasih kepada mereka yang menyakiti, dan kasih yang memberi
tanpa mengharapkan balasan.
Kasih dalam Pergaulan:
Melampaui Ego dan Eksklusivitas
Sebagai anak muda, kita
sering kali membangun hubungan dengan mereka yang sejalan dengan kita—yang
punya hobi sama, visi hidup yang serupa, atau yang selalu mendukung kita.
Namun, Yesus mengajarkan bahwa kasih sejati tidak hanya diberikan kepada mereka
yang mengasihi kita, tetapi juga kepada mereka yang berbeda, bahkan yang
mungkin menyakiti kita.
Dalam lingkungan
pergaulan, apakah kita hanya menunjukkan kasih kepada teman-teman yang baik
kepada kita? Bagaimana dengan mereka yang sering mengabaikan kita, atau bahkan
yang pernah melukai kita? Kasih yang diajarkan Yesus bukanlah kasih yang
terbatas oleh kesukaan pribadi, tetapi kasih yang aktif, yang tetap memberi
bahkan ketika tidak dibalas. Kasih ini menuntut kita untuk tidak menjelekkan
orang yang menyakiti kita, untuk tetap berlaku adil terhadap mereka yang
berbeda pandangan, dan untuk membangun relasi yang tidak dilandaskan pada
keuntungan pribadi semata.
Sahabat yang Berubah
Bayangkan seorang
pemuda bernama Daniel. Ia memiliki sahabat sejak kecil, tetapi ketika beranjak
remaja, sahabatnya mulai berubah dan menjauhinya. Rasa kecewa mengisi hatinya.
Dalam situasi seperti ini, mudah bagi Daniel untuk membalas dengan sikap dingin
atau bahkan kebencian. Namun, ketika ia membaca Matius 5:44, ia sadar bahwa
kasih yang sejati tidak bergantung pada perlakuan orang lain, tetapi pada
keputusan untuk tetap mengasihi. Ia memutuskan untuk tetap bersikap baik dan
mendoakan sahabatnya, meskipun hubungannya tidak kembali seperti dulu.
Dalam kehidupan kita,
adakah teman yang mungkin mengabaikan kita? Atau seseorang yang telah menyakiti
kita dengan kata-kata atau sikapnya? Yesus mengajarkan kita untuk tidak
membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi dengan kebaikan. Meskipun sulit,
kasih yang melampaui batas adalah kasih yang tetap memilih untuk bersikap baik,
bahkan kepada mereka yang tidak membalasnya.
Kelompok yang Tertolak
Di sekolah atau di
lingkungan pergaulan, sering kali ada kelompok tertentu yang "tidak
populer"—mereka yang dianggap aneh, berbeda, atau tidak menarik. Mudah
bagi kita untuk tetap berada dalam zona nyaman dan hanya berteman dengan
orang-orang yang sejalan dengan kita. Namun, kasih yang diajarkan Kristus
mengajak kita untuk melampaui batas pergaulan eksklusif dan menjangkau mereka
yang terabaikan.
Suatu hari, seorang
gadis bernama Maria melihat seorang teman sekelasnya, Rina, selalu makan siang
sendirian. Awalnya, Maria ragu untuk mendekatinya karena takut dikucilkan.
Namun, ia teringat bahwa Yesus tidak hanya datang untuk orang-orang yang
"populer," tetapi juga bagi mereka yang terpinggirkan. Maria akhirnya
memilih untuk duduk bersama Rina, dan dari sana, ia belajar bahwa Rina
sebenarnya memiliki banyak cerita menarik yang selama ini tidak diketahui oleh
siapa pun.
Kasih yang sejati tidak
hanya mengasihi mereka yang mengasihi kita, tetapi juga melibatkan mereka yang
tersisih. Kasih Yesus melampaui batas kenyamanan kita dan mengundang kita untuk
menjadi terang bagi sesama, terutama mereka yang merasa sendirian.
Kasih dalam Keluarga:
Melampaui Luka dan Ekspektasi
Keluarga adalah tempat
pertama kita belajar tentang kasih. Namun, di sinilah juga kita sering
menemukan luka, ekspektasi yang tidak terpenuhi, dan perbedaan yang tajam.
Kasih Yesus menantang kita untuk mengasihi bukan hanya ketika keluarga kita
bersikap baik, tetapi juga ketika terjadi kesalahpahaman, kekecewaan, atau
bahkan ketika kita merasa tidak dipahami.
Mengasihi keluarga
berarti memilih untuk mendengarkan dengan hati yang terbuka, mengampuni meski
sakit, dan tetap menghormati meski ada perbedaan. Kasih ini bukan hanya sekadar
memberi hadiah saat hari istimewa, tetapi juga dalam kesabaran kita saat menghadapi
konflik, dalam pengorbanan kecil sehari-hari, dan dalam doa yang terus
dinaikkan bagi mereka yang kita kasihi.
Luka dalam Keluarga
Seorang anak muda
bernama Samuel tumbuh dengan harapan tinggi terhadap ayahnya. Namun, sejak
kecil, ia sering merasa diabaikan karena ayahnya terlalu sibuk bekerja. Ketika
dewasa, ia membawa luka itu dan merasa sulit untuk menghormati atau menunjukkan
kasih kepada ayahnya.
Suatu hari, ia membaca
Matius 5:48: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di
sorga adalah sempurna.” Ia menyadari bahwa kasih Allah adalah kasih yang
memulihkan dan melampaui luka masa lalu. Dengan berani, ia mulai mengambil
inisiatif untuk berbicara dengan ayahnya, mengampuni kesalahan yang telah lalu,
dan membangun kembali hubungan mereka.
Kasih dalam keluarga
sering kali diuji bukan oleh perasaan sayang, tetapi oleh luka-luka yang tidak
terselesaikan. Namun, Yesus memanggil kita untuk tetap mengasihi, bahkan dalam
situasi yang sulit. Mengampuni bukan berarti melupakan, tetapi memilih untuk
tidak membiarkan luka itu menghalangi kita untuk mengasihi.
Perbedaan yang
Menjauhkan
Setiap keluarga
memiliki perbedaan—perbedaan cara pandang, kebiasaan, dan nilai hidup. Seorang
gadis bernama Anita sering berselisih dengan ibunya mengenai pilihan hidupnya.
Ia merasa ibunya tidak memahami dirinya, sementara ibunya merasa Anita terlalu
keras kepala.
Ketika ia membaca
Matius 5:44, ia sadar bahwa mengasihi ibunya bukan berarti harus selalu sepakat
dengannya, tetapi memilih untuk tetap menghormati dan berkomunikasi dengan
kasih. Ia mulai mendengarkan dengan lebih sabar dan berusaha memahami sudut
pandang ibunya, meskipun mereka tidak selalu setuju. Perlahan, hubungan mereka
pun membaik.
Dalam keluarga, kasih
sejati bukan hanya ketika semuanya berjalan lancar, tetapi juga ketika ada
perbedaan yang menguji kesabaran kita. Kasih yang melampaui batas adalah kasih
yang tetap memilih untuk menghormati dan mengusahakan perdamaian.
Menjadi Sempurna dalam
Kasih: Sebuah Panggilan
Hari ini, saat dunia
merayakan kasih dengan bunga dan cokelat, Tuhan memanggil kita untuk merayakan
kasih dengan sesuatu yang jauh lebih berarti—kasih yang melampaui batas. Kasih
yang tetap memberi tanpa menuntut balasan. Kasih yang memilih untuk merangkul,
meski hati ingin menjauh. Kasih yang berani mengampuni, meski luka masih
terasa.
Mungkin ada seseorang
dalam hidup kita yang telah lama kita hindari. Mungkin ada kesalahpahaman yang
belum terselesaikan. Mungkin ada luka yang kita genggam erat karena sulit
melepaskannya. Tapi hari ini, Yesus mengundang kita untuk mengasihi seperti Dia—tanpa
syarat, tanpa batas.
Sebab kasih sejati
bukan hanya tentang siapa yang layak menerimanya, tetapi tentang keberanian
untuk memberi, seperti Kristus telah memberi segalanya bagi kita.
Jadi,
kepada siapa kita akan membagikan kasih itu hari ini?
Siapakah yang perlu kita rangkul, ampuni, dan doakan?
Karena
sebelum kita belajar mengasihi, ada satu kebenaran yang harus kita genggam
erat: Kita sangat dikasihi.
Kau
sangat kukasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihiku.
Komentar
Posting Komentar