Merangkul Dengan Erat: 1 Timotius 6:20-21 Refrensi Tambahan PJJ GBKP 16-22 Feb 2025

 


Apakah pelayanan yang kita lakukan benar-benar lahir dari panggilan Tuhan atau hanya rutinitas belaka? Apakah kita telah menjaga kemurnian pelayanan kita, atau tanpa sadar terjebak dalam perdebatan dan kesia-siaan yang justru menghambat pertumbuhan rohani? Seberapa besar kita bergantung pada kasih karunia dalam menjalankan tugas yang Tuhan percayakan?

Malam telah larut, tetapi seorang pelayan Tuhan masih duduk di bangku gereja yang sunyi. Ia menatap mimbar yang sepi, tempat Firman Tuhan dikabarkan, dan hatinya dipenuhi oleh perenungan. Ia mengingat kembali perbincangan dengan jemaat, perdebatan yang terkadang tidak perlu, serta tanggung jawab yang semakin besar dalam pelayanannya.

Ia teringat akan nasihat Rasul Paulus kepada Timotius: “Hai Timotius, peliharalah apa yang telah dipercayakan kepadamu! Jauhilah omongan yang kosong dan yang tak suci serta pertentangan yang berasal dari apa yang disebut pengetahuan” (1 Timotius 6:20). Kata-kata ini menjadi peringatan sekaligus penguatan—sebuah panggilan untuk tetap setia dalam pelayanan, menjauhi perdebatan yang tidak membangun, dan menjadikan kasih karunia sebagai kekuatan utama.

Pelayanan Sebagai Tanggung Jawab Ilahi

Dalam filsafat eksistensialisme, terutama dalam pemikiran Martin Buber, ada konsep I-Thou, di mana hubungan dengan yang Ilahi bukanlah sekadar kewajiban melainkan sebuah perjumpaan. Begitu pula dengan pelayanan—ia bukan hanya rutinitas atau tugas administratif di dalam gereja, melainkan sebuah dialog yang mendalam antara kita dan Tuhan. Melayani adalah wujud pertanggungjawaban iman, bukan sekadar bentuk aktivitas sosial.

Namun, ada bahaya yang selalu mengintai di setiap pelayanan: terjebak dalam perdebatan yang tidak membangun. Omongan kosong dan perdebatan tak berguna sering kali menyita energi, menggiring kita pada kelelahan spiritual, atau bahkan menjauhkan kita dari tujuan utama pelayanan. Dalam psikologi komunikasi, fenomena ini dikenal dengan noise, yakni gangguan dalam penyampaian pesan yang membuat esensi pelayanan menjadi kabur. Oleh karena itu, seorang pelayan Tuhan perlu memiliki ketajaman spiritual untuk memilah mana yang patut diperjuangkan dan mana yang hanya menguras energi tanpa membawa pertumbuhan rohani.

Pengetahuan yang Membawa Pada Kebenaran

Manusia selalu berusaha mencari kebenaran, tetapi kebenaran sejati bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dapat digenggam oleh akal budi. Dalam epistemologi, Plato membedakan antara doxa (pendapat) dan episteme (pengetahuan yang lebih dalam). Banyak orang terjebak dalam kesombongan intelektual, menganggap bahwa pengetahuan manusia adalah kebenaran tertinggi, padahal sesungguhnya, seperti yang dikatakan Paulus, banyak yang telah menyimpang dari iman karena mempercayai apa yang disebut pengetahuan itu (1 Timotius 6:21).

Pengetahuan seharusnya menjadi alat yang membawa kita kepada kebenaran sejati, bukan sekadar menambah informasi tanpa makna. Teologi Kristen selalu menempatkan hikmat sebagai anugerah Tuhan yang membimbing manusia pada pengenalan yang lebih dalam akan Dia. Dengan demikian, seorang pelayan Tuhan tidak boleh merasa cukup hanya dengan wawasan duniawi, tetapi harus terus bertumbuh dalam hikmat ilahi.

Kasih Karunia Sebagai Sumber Kekuatan

Di atas segalanya, kasih karunia adalah fondasi dari segala pelayanan. Melayani Tuhan bukanlah hasil dari kekuatan manusia semata, melainkan hasil dari anugerah-Nya yang bekerja dalam diri kita. Dalam psikologi positif, ada konsep grit, yaitu ketahanan dan semangat untuk tetap berjuang dalam suatu panggilan. Namun, dalam perspektif Kristen, grit saja tidak cukup tanpa kasih karunia.

Kasih karunia memungkinkan seseorang untuk tetap setia dalam pelayanan meski menghadapi tantangan dan kekecewaan. Ketika tenaga melemah dan semangat mulai pudar, kasih karunia menjadi sumber daya yang menopang dan mengarahkan kembali hati yang lelah kepada Tuhan. Rasul Paulus mengakhiri suratnya dengan doa yang sederhana namun penuh makna: “Kasih karunia menyertai kamu” (1 Timotius 6:21). Ini adalah pengingat bahwa tanpa kasih karunia, pelayanan akan menjadi beban, tetapi dengan kasih karunia, pelayanan menjadi sukacita.

Kesimpulan: Merangkul Dengan Erat Panggilan Ilahi

Pelayan Tuhan itu kembali menatap mimbar, lalu tersenyum. Ia mengerti bahwa tugasnya bukan sekadar mengisi posisi dalam gereja, melainkan menjadi penjaga atas apa yang telah Tuhan percayakan. Ia harus menjauhi perdebatan yang tidak berguna, menjadikan pengetahuan sebagai sarana menuju kebenaran sejati, dan yang terpenting, bergantung penuh pada kasih karunia Tuhan.

Merangkul dengan erat panggilan pelayanan berarti menjaga kemurnian hati, selektif terhadap hal yang diperjuangkan, dan tetap setia di dalam anugerah Tuhan. Sebab pada akhirnya, pelayanan bukan tentang seberapa banyak yang kita lakukan, tetapi seberapa sungguh kita bertanggung jawab kepada-Nya. Soli Deo Gloria.

Komentar