Apakah pelayanan yang kita
lakukan benar-benar lahir dari panggilan Tuhan atau hanya rutinitas belaka?
Apakah kita telah menjaga kemurnian pelayanan kita, atau tanpa sadar terjebak
dalam perdebatan dan kesia-siaan yang justru menghambat pertumbuhan rohani?
Seberapa besar kita bergantung pada kasih karunia dalam menjalankan tugas yang
Tuhan percayakan?
Malam telah larut, tetapi seorang
pelayan Tuhan masih duduk di bangku gereja yang sunyi. Ia menatap mimbar yang
sepi, tempat Firman Tuhan dikabarkan, dan hatinya dipenuhi oleh perenungan. Ia
mengingat kembali perbincangan dengan jemaat, perdebatan yang terkadang tidak
perlu, serta tanggung jawab yang semakin besar dalam pelayanannya.
Ia teringat akan nasihat Rasul
Paulus kepada Timotius: “Hai Timotius, peliharalah apa yang telah
dipercayakan kepadamu! Jauhilah omongan yang kosong dan yang tak suci serta
pertentangan yang berasal dari apa yang disebut pengetahuan” (1 Timotius
6:20). Kata-kata ini menjadi peringatan sekaligus penguatan—sebuah panggilan
untuk tetap setia dalam pelayanan, menjauhi perdebatan yang tidak membangun,
dan menjadikan kasih karunia sebagai kekuatan utama.
Pelayanan Sebagai Tanggung
Jawab Ilahi
Dalam filsafat eksistensialisme,
terutama dalam pemikiran Martin Buber, ada konsep I-Thou, di mana
hubungan dengan yang Ilahi bukanlah sekadar kewajiban melainkan sebuah
perjumpaan. Begitu pula dengan pelayanan—ia bukan hanya rutinitas atau tugas
administratif di dalam gereja, melainkan sebuah dialog yang mendalam antara
kita dan Tuhan. Melayani adalah wujud pertanggungjawaban iman, bukan sekadar
bentuk aktivitas sosial.
Namun, ada bahaya yang selalu
mengintai di setiap pelayanan: terjebak dalam perdebatan yang tidak membangun.
Omongan kosong dan perdebatan tak berguna sering kali menyita energi,
menggiring kita pada kelelahan spiritual, atau bahkan menjauhkan kita dari tujuan
utama pelayanan. Dalam psikologi komunikasi, fenomena ini dikenal dengan noise,
yakni gangguan dalam penyampaian pesan yang membuat esensi pelayanan menjadi
kabur. Oleh karena itu, seorang pelayan Tuhan perlu memiliki ketajaman
spiritual untuk memilah mana yang patut diperjuangkan dan mana yang hanya
menguras energi tanpa membawa pertumbuhan rohani.
Pengetahuan yang Membawa Pada
Kebenaran
Manusia selalu berusaha mencari
kebenaran, tetapi kebenaran sejati bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dapat
digenggam oleh akal budi. Dalam epistemologi, Plato membedakan antara doxa
(pendapat) dan episteme (pengetahuan yang lebih dalam). Banyak orang
terjebak dalam kesombongan intelektual, menganggap bahwa pengetahuan manusia
adalah kebenaran tertinggi, padahal sesungguhnya, seperti yang dikatakan
Paulus, banyak yang telah menyimpang dari iman karena mempercayai apa yang
disebut pengetahuan itu (1 Timotius 6:21).
Pengetahuan seharusnya menjadi
alat yang membawa kita kepada kebenaran sejati, bukan sekadar menambah
informasi tanpa makna. Teologi Kristen selalu menempatkan hikmat sebagai
anugerah Tuhan yang membimbing manusia pada pengenalan yang lebih dalam akan Dia.
Dengan demikian, seorang pelayan Tuhan tidak boleh merasa cukup hanya dengan
wawasan duniawi, tetapi harus terus bertumbuh dalam hikmat ilahi.
Kasih Karunia Sebagai Sumber
Kekuatan
Di atas segalanya, kasih karunia
adalah fondasi dari segala pelayanan. Melayani Tuhan bukanlah hasil dari
kekuatan manusia semata, melainkan hasil dari anugerah-Nya yang bekerja dalam
diri kita. Dalam psikologi positif, ada konsep grit, yaitu ketahanan dan
semangat untuk tetap berjuang dalam suatu panggilan. Namun, dalam perspektif
Kristen, grit saja tidak cukup tanpa kasih karunia.
Kasih karunia memungkinkan
seseorang untuk tetap setia dalam pelayanan meski menghadapi tantangan dan
kekecewaan. Ketika tenaga melemah dan semangat mulai pudar, kasih karunia
menjadi sumber daya yang menopang dan mengarahkan kembali hati yang lelah kepada
Tuhan. Rasul Paulus mengakhiri suratnya dengan doa yang sederhana namun penuh
makna: “Kasih karunia menyertai kamu” (1 Timotius 6:21). Ini adalah
pengingat bahwa tanpa kasih karunia, pelayanan akan menjadi beban, tetapi
dengan kasih karunia, pelayanan menjadi sukacita.
Kesimpulan: Merangkul Dengan
Erat Panggilan Ilahi
Pelayan Tuhan itu kembali menatap
mimbar, lalu tersenyum. Ia mengerti bahwa tugasnya bukan sekadar mengisi posisi
dalam gereja, melainkan menjadi penjaga atas apa yang telah Tuhan percayakan.
Ia harus menjauhi perdebatan yang tidak berguna, menjadikan pengetahuan sebagai
sarana menuju kebenaran sejati, dan yang terpenting, bergantung penuh pada
kasih karunia Tuhan.
Merangkul dengan erat panggilan
pelayanan berarti menjaga kemurnian hati, selektif terhadap hal yang
diperjuangkan, dan tetap setia di dalam anugerah Tuhan. Sebab pada akhirnya,
pelayanan bukan tentang seberapa banyak yang kita lakukan, tetapi seberapa sungguh
kita bertanggung jawab kepada-Nya. Soli Deo Gloria.
Komentar
Posting Komentar