RAJA YANG BAIK UNTUK BERSANDAR -Yesaya 32:1-8 Refrensi Khotbah Minggu GBKP 02 Maret 2025

 

Pembuka: Bayang-Bayang Kepercayaan yang Runtuh

Gereja di zaman ini dihadapkan pada tantangan kepercayaan yang semakin terkikis. Banyak jemaat kehilangan harapan karena gembala mereka tersandung kasus-kasus yang menyakitkan. Di sisi lain, dalam konteks pemerintahan Indonesia, masyarakat terus memperdebatkan figur pemimpin yang bisa diandalkan di tengah gelombang populisme, korupsi, dan ketidakpastian hukum. Media sosial dipenuhi dengan pertanyaan: Siapa yang benar-benar dapat kita percaya? Siapa yang bisa kita jadikan tempat bersandar?

Di tengah ketidakpastian ini, Alkitab mengingatkan kita akan janji seorang Raja yang benar, yang akan memerintah dengan keadilan dan menjadi tempat perlindungan bagi umat-Nya.

Janji Raja yang Memerintah dengan Keadilan (Yesaya 32:1-8)

Yesaya menubuatkan tentang seorang Raja yang akan memerintah dengan keadilan, sementara para pemimpin-Nya akan berperan sebagai perlindungan bagi orang-orang yang lemah. "Sesungguhnya, seorang raja akan memerintah menurut keadilan, dan pemimpin-pemimpin akan memerintah menurut hukum yang benar" (Yesaya 32:1). Dalam dunia politik saat ini, di mana banyak pemimpin lebih mementingkan kepentingan pribadi dibanding kesejahteraan rakyat, gambaran Yesaya tentang Raja yang benar terasa seperti oase di padang pasir.

Secara psikologis, manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk merasa aman dalam kepemimpinan. Teori kepercayaan sosial dalam psikologi menyatakan bahwa masyarakat yang hidup di bawah pemimpin yang adil lebih cenderung mengalami kesejahteraan mental. Sebaliknya, ketika pemimpin berlaku semena-mena, kepercayaan runtuh, kecemasan meningkat, dan ketidakpastian merajalela.

Filsafat politik Aristoteles mengajarkan bahwa pemimpin yang ideal adalah mereka yang mengutamakan keadilan dan kebaikan bersama. Hal ini sejalan dengan etika kepemimpinan dalam Yesaya 32 yang menggambarkan pemimpin sebagai tempat perlindungan, bukan ancaman.

Takut Akan Tuhan: Dasar Keamanan Sejati (Amsal 14:26)

Di tengah ketidakpastian politik dan gerejawi, Amsal 14:26 mengajarkan bahwa "Dalam takut akan Tuhan ada ketenteraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya." Ini menegaskan bahwa pemimpin yang baik bukan hanya cakap dalam kebijakan, tetapi juga takut akan Tuhan, sebab dari situlah lahir kebijaksanaan sejati.

Dalam konteks Indonesia, pemimpin yang benar-benar membawa kesejahteraan adalah mereka yang tidak hanya berorientasi pada pencitraan, tetapi yang mengakar dalam prinsip kebenaran. Sayangnya, sering kali kita terjebak dalam pragmatisme politik—memilih pemimpin yang terlihat kuat, tetapi mengabaikan integritas mereka.

Psikologi moral menekankan bahwa integritas adalah kunci utama dalam membangun kepercayaan sosial. Gereja, dalam hal ini, memiliki peran untuk menjadi suara profetik yang mengingatkan bahwa kepemimpinan yang sejati harus berakar pada nilai-nilai ketuhanan dan moralitas yang kokoh.

Air Mata Raja yang Ditolak (Lukas 13:32-35)

Yesus sendiri mengalami penolakan sebagai Raja yang sejati. Dalam Lukas 13:34, Ia meratap, "Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau."

Gambaran ini menunjukkan hati seorang pemimpin yang sejati: bukan haus kekuasaan, tetapi rindu melindungi dan mengasihi. Namun, sering kali manusia lebih memilih pemimpin yang kuat secara duniawi daripada pemimpin yang benar secara ilahi.

Dalam konteks gereja, banyak komunitas lebih terfokus pada pencitraan dan ekspansi daripada pemuridan yang sejati. Banyak pemimpin gereja yang lebih mementingkan kepopuleran daripada karakter Kristus dalam pelayanan mereka. Akibatnya, gereja kehilangan kekuatannya sebagai tempat perlindungan dan harapan bagi dunia.

Dalam konteks pemerintahan, rakyat sering kali terjebak dalam siklus harapan dan kekecewaan terhadap pemimpin yang mereka pilih. Politik sering kali menjadi arena pragmatisme tanpa nilai moral. Namun, Yesus menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang rela berkorban dan melayani.

Penutup: Bersandar pada Raja yang Benar

Di dunia yang semakin kacau ini, kita membutuhkan Raja yang sejati untuk bersandar. Yesus adalah Raja yang adil, yang takut akan Tuhan, dan yang mencurahkan kasih-Nya bagi umat-Nya. Dialah satu-satunya yang dapat dipercaya sepenuhnya.

Gereja harus kembali kepada panggilan awalnya: menjadi suara kebenaran dan keadilan di tengah dunia yang gelap. Pemerintah, dengan segala tantangannya, membutuhkan pemimpin yang takut akan Tuhan dan mengutamakan keadilan.

Pertanyaannya sekarang: kepada siapa kita benar-benar bersandar? Apakah kita akan tetap mengejar pemimpin duniawi yang terlihat kuat tetapi tidak memiliki keadilan sejati? Atau kita akan bersandar kepada Raja yang benar, Yesus Kristus, yang menawarkan perlindungan sejati bagi kita?

Keputusan ada di tangan kita.

 


Komentar