Belas Kasihan Tuhan yang Tak Terbatas: Efesus 2:1-10 (Refrensi Khotbah Minggu GBKP 16 Maret 2025 dalam Minggu Reminiscere.)

 


 

Apakah Anda pernah merasa terjebak dalam hidup yang penuh dosa dan tanpa harapan? Bagaimana jika kehidupan yang Anda jalani saat ini sebenarnya adalah kematian rohani yang menjauhkan Anda dari kasih Tuhan? Minggu Reminiscere mengajak kita untuk mengingat belas kasihan Tuhan yang tak terbatas dan bagaimana anugerah-Nya menghidupkan kembali mereka yang telah mati dalam pelanggaran dan dosa.

Dalam perenungan ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana kehidupan tanpa pengharapan membawa manusia semakin jauh dari Tuhan, mengapa pertobatan menjadi langkah yang tidak dapat dihindari, dan bagaimana belas kasihan Tuhan mengubah kehidupan kita, memberi kita pengharapan untuk hidup kekal di dalam-Nya.

Mati Namun Hidup: Kehidupan Tanpa Pengharapan

Efesus 2:1-3 menegaskan bahwa manusia, dalam natur keberdosaannya, sebenarnya mati secara rohani. Tidak ada harapan bagi mereka yang hidup dalam dosa karena mereka mengikuti jalan dunia yang fana ini. Dalam konteks psikologi, kehidupan tanpa pengharapan sering kali dikaitkan dengan nihilisme—pandangan bahwa hidup tidak memiliki makna. Dunia pasca-modern, yang sarat dengan relativisme moral, membuat banyak orang terjebak dalam nafsu daging dan kehendak pikirannya yang jahat. Hedonisme dan konsumerisme menjadi jalan hidup yang mengaburkan kepekaan spiritual manusia.

Secara filosofis, eksistensialisme atheistik seperti yang diajarkan oleh Sartre dan Nietzsche menekankan bahwa manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Namun, dalam realitasnya, tanpa dasar iman kepada Tuhan, banyak yang jatuh ke dalam keputusasaan dan kehampaan. Paulus menegaskan bahwa hidup dalam dosa adalah keterpisahan total dari Allah, suatu kondisi yang membawa pada penderitaan yang kekal.

Kembali kepada Tuhan: Panggilan untuk Pertobatan

Namun, Allah tidak membiarkan manusia tetap dalam kondisi itu. Hosea 14:1-3 menyerukan panggilan pertobatan bagi umat Tuhan: "Bertobatlah, hai Israel, kepada Tuhan, Allahmu, sebab engkau telah tergelincir karena kesalahanmu." Dalam psikologi, pertobatan dapat dikaitkan dengan transformasi kognitif dan afektif seseorang, di mana individu mengalami kesadaran akan kesalahannya dan berkomitmen untuk mengubah hidupnya. Ini sejalan dengan konsep "metanoia" dalam Alkitab, yaitu perubahan pikiran dan arah hidup menuju Tuhan.

Pertobatan sejati bukan hanya sekadar perasaan menyesal, tetapi suatu keputusan yang membawa seseorang keluar dari gelap menuju terang. Dalam kehidupan pasca-modern yang cenderung menghindari konsekuensi moral, panggilan pertobatan menjadi tantangan besar. Namun, ketika seseorang menyadari keterpisahan dirinya dari Tuhan dan dengan rendah hati kembali kepada-Nya, maka belas kasihan Tuhan akan nyata dalam hidupnya.

Belas Kasihan Tuhan yang Menyelamatkan

Zakharia 1:16 mengungkapkan janji Tuhan, "Sebab itu beginilah firman Tuhan: Aku kembali kepada Yerusalem dengan kasih sayang." Efesus 2:4-7 juga menyatakan bahwa belas kasihan Tuhan begitu besar sehingga Ia menghidupkan kita kembali bersama Kristus, meskipun kita mati karena pelanggaran. Ini adalah anugerah yang diberikan bukan karena usaha manusia, tetapi karena kasih Tuhan yang tak terbatas.

Secara teologis, kasih karunia ini menegaskan bahwa keselamatan bukanlah hasil perbuatan baik manusia, melainkan pemberian Allah yang harus diterima dengan iman. Filosofisnya, ini menunjukkan bahwa makna sejati hidup manusia tidak terletak pada pencapaian atau kebebasan eksistensial semata, tetapi dalam hubungan dengan Sang Pencipta. Psikologisnya, mereka yang menerima belas kasihan Tuhan akan mengalami pemulihan batin, dari perasaan tidak berharga dan putus asa menuju kehidupan yang penuh pengharapan.

Hidup dalam Pengharapan Kekal

Efesus 2:8-10 menutup perenungan kita dengan pengharapan bahwa dalam belas kasihan-Nya, Tuhan telah mempersiapkan kita untuk kehidupan yang baru. Rumah yang Tuhan sediakan adalah janji kehidupan kekal bagi mereka yang menerima kasih karunia-Nya. Dalam dunia pasca-modern yang sering kali mengaburkan makna dan tujuan hidup, iman kepada Tuhan memberikan kepastian dan arah yang jelas.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup bukan lagi mengikuti kehendak dunia, tetapi berjalan dalam terang kasih Tuhan. Hidup yang dipenuhi belas kasihan Tuhan adalah hidup yang membawa pengharapan bagi dunia, mencerminkan kasih-Nya melalui tindakan nyata. Dalam refleksi Minggu Reminiscere ini, marilah kita mengingat bahwa belas kasihan Tuhan tidak pernah terbatas. Ia selalu membuka tangan-Nya bagi mereka yang mau kembali, menghidupkan yang mati, dan membawa kita ke dalam kehidupan yang penuh pengharapan dan damai sejahtera yang kekal. Amin.

Komentar