"Jadi janganlah malu bersaksi
tentang Tuhan kita, dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia,
melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah. Dialah yang
menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan
perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri,
yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan
zaman." (2
Timotius 1:8-9)
Bersaksi: Panggilan
Kudus Berdasarkan Kasih Karunia Allah
Setiap manusia bergumul
dengan pertanyaan eksistensial: Mengapa saya ada? Apa tujuan hidup saya?
Dalam dunia yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, banyak orang—terutama
anak muda—mencari makna dan tujuan hidupnya. Psikolog Viktor Frankl dalam
bukunya Man’s Search for Meaning menyatakan bahwa makna hidup ditemukan
ketika seseorang mengarahkan dirinya pada sesuatu yang lebih besar daripada
dirinya sendiri, termasuk dalam tindakan pelayanan kepada sesama.
Paulus menyatakan bahwa
panggilan untuk bersaksi bukan hanya sebuah tugas moral, tetapi sebuah panggilan
kudus yang didasarkan pada kasih karunia Allah (2 Timotius 1:9).
Artinya, kita tidak dipanggil karena jasa atau kelayakan kita, tetapi karena
Allah, dalam hikmat dan kasih-Nya, telah menetapkan kita untuk mengambil bagian
dalam karya keselamatan-Nya.
Secara psikologis,
kesadaran bahwa hidup kita memiliki makna yang transenden dapat
meningkatkan kesejahteraan mental dan ketahanan diri dalam menghadapi
kesulitan. Sebuah studi dalam psikologi positif menunjukkan bahwa individu yang
hidup dengan tujuan spiritual cenderung lebih resilient terhadap stres
dan tantangan hidup. Dalam konteks iman, panggilan untuk bersaksi adalah sebuah
jalan menuju pertumbuhan rohani dan psikologis, karena melaluinya kita
belajar untuk tidak berpusat pada diri sendiri, tetapi mengarahkan hidup kepada
Allah dan sesama.
Dalam perspektif
filsafat, panggilan ini mengingatkan kita pada konsep telos dalam
pemikiran Aristoteles—bahwa segala sesuatu memiliki tujuan akhir. Sebagai orang
percaya, tujuan tertinggi (telos) kita bukan sekadar mengejar
kebahagiaan duniawi, melainkan hidup dalam kebenaran dan berbagi kasih karunia
Allah kepada dunia. Dengan kata lain, hidup yang bermakna bukanlah hidup
yang nyaman, tetapi hidup yang berani menjalankan panggilan kudus dari Tuhan.
Berani Bersaksi: Tidak
Malu dan Rela Menderita untuk Kristus
Mengapa banyak anak
muda merasa takut untuk bersaksi? Dari sudut pandang psikologi sosial, manusia
memiliki kecenderungan untuk mencari penerimaan sosial (social
acceptance). Ketakutan akan ditolak atau dipermalukan dapat menimbulkan
kecemasan sosial yang mencegah seseorang mengekspresikan keyakinannya secara
terbuka.
Paulus memahami
tantangan ini ketika ia menulis kepada Timotius: "Janganlah malu
bersaksi tentang Tuhan kita." Kata malu dalam bahasa Yunani
yang digunakan di sini adalah epaischunomai, yang mengacu pada perasaan
takut dipermalukan atau dikucilkan. Paulus ingin menanamkan keberanian dalam
diri Timotius bahwa kesaksian iman bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan
sebuah kehormatan.
Filsuf eksistensialis
Søren Kierkegaard menegaskan bahwa iman sejati menuntut keberanian melawan
tekanan sosial. Dalam karyanya Fear and Trembling, Kierkegaard
berbicara tentang "lompatan iman"—suatu keputusan untuk tetap setia
kepada Allah meskipun bertentangan dengan logika dunia. Bersaksi tentang
Kristus sering kali mengharuskan kita melawan arus budaya yang menuntut kita
untuk menyembunyikan iman agar diterima oleh dunia.
Psikologi juga
mendukung konsep ini. Studi menunjukkan bahwa individu yang memiliki keyakinan
moral yang kuat dan berani menyatakannya memiliki harga diri yang lebih
stabil dan rasa kepuasan hidup yang lebih tinggi. Mengapa? Karena mereka
hidup selaras dengan nilai-nilai yang mereka yakini, bukan sekadar mengikuti
ekspektasi sosial.
Namun, keberanian dalam
bersaksi bukan berarti kita harus menjadi agresif atau memaksakan keyakinan
kepada orang lain. Yesus sendiri tidak pernah memaksa, tetapi menyampaikan
kebenaran dengan kasih dan keteguhan hati. Dengan kata lain, bersaksi
bukan hanya berbicara tentang iman, tetapi juga menjalani kehidupan yang
mencerminkan Kristus.
Cari Jiwa: Misi Utama
dalam Hidup Orang Percaya
Ketika kita memahami
bahwa bersaksi adalah panggilan kudus dan berani menyatakannya, langkah
berikutnya adalah mencari jiwa—bukan sekadar untuk menambah jumlah orang
di gereja, tetapi untuk membawa orang lain kepada kasih Kristus.
Yesus berkata dalam
Lukas 19:10, "Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan
yang hilang." Dalam filsafat etika, tindakan mencari jiwa ini dapat
dipahami sebagai bentuk altruism transendental—sebuah tindakan kasih
yang tidak berpusat pada kepentingan diri sendiri, melainkan pada kepentingan
yang lebih tinggi, yaitu keselamatan orang lain.
Dari sudut pandang
psikologi, membantu orang lain menemukan makna dalam hidup mereka melalui iman
dapat memberikan kepuasan batin yang mendalam. Studi dalam positive
psychology menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam pelayanan dan
berbagi nilai spiritual dengan orang lain mengalami peningkatan
kesejahteraan emosional dan rasa keterhubungan yang lebih besar dengan
komunitas mereka.
Tetapi bagaimana kita
dapat mencari jiwa dengan cara yang relevan di zaman ini?
- Hidup sebagai saksi nyata
– Menjadi pribadi yang mencerminkan kasih, integritas, dan ketulusan lebih
berdampak daripada sekadar kata-kata.
- Membangun hubungan yang tulus
– Bersaksi bukan soal "menang debat" tetapi membangun
persahabatan yang didasarkan pada kasih.
- Menjadi pendengar yang baik
– Banyak orang yang mencari jawaban spiritual sebenarnya hanya butuh
didengar. Kita bisa menjadi tempat bagi mereka untuk bertanya dan
menemukan kebenaran.
- Menggunakan media digital dengan
bijak – Media sosial bisa menjadi alat untuk
menyebarkan nilai-nilai Kristiani secara kreatif dan relevan bagi generasi
muda.
Kesimpulan: Jangan
Malu. Jangan Takut. Cari Jiwa.
Bersaksi bukan sekadar
tugas, melainkan panggilan kudus yang telah ditetapkan Allah bagi kita
sebelum dunia dijadikan. Secara psikologis, memahami bahwa hidup kita memiliki
makna dalam rencana Tuhan memberi kita ketahanan mental dalam menghadapi
tantangan. Secara filosofis, panggilan ini adalah manifestasi dari tujuan hidup
yang lebih tinggi.
Dunia saat ini mungkin
penuh dengan ketidakpastian, tetapi panggilan untuk mencari jiwa tetap tidak
berubah. Kita tidak dipanggil untuk hidup dalam ketakutan atau malu akan iman
kita, tetapi untuk menjadi terang dan garam di tengah dunia yang haus akan
kebenaran.
Maka, jangan malu.
Jangan takut. Cari jiwa. Karena kita telah dipanggil dengan panggilan
kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, tetapi karena kasih karunia-Nya
yang kekal. Amin.
Komentar
Posting Komentar