Menanti Pembebasan yang Tuhan Telah Janjikan - Mazmur 119:121-128 (Refrensi Khotbah Minggu Okuli 23 Maret 2025 )
Dalam Minggu Okuli,
kita kembali diingatkan untuk menatap Tuhan sebagai sumber pengharapan dan
keselamatan kita. Kata Okuli berasal dari bahasa Latin yang berarti
"mata," mengacu pada Mazmur 25:15, "Mataku tetap terarah kepada
TUHAN, sebab Ia mengeluarkan kakiku dari jaring." Penghayatan Minggu Okuli
mengajak kita untuk menantikan pembebasan yang Tuhan telah janjikan, bahkan di
tengah penderitaan dan kesesakan hidup.
Namun, dalam penantian
ini, ada satu kenyataan yang sering kali mengusik hati kita: rasa malu. Esra
9:6 mencerminkan isi hati seorang yang sadar akan dosanya, "Ya Allahku,
aku malu dan mendapat cela untuk menengadahkan mukaku kepada-Mu, ya Allahku, sebab
kesalahan kami telah menumpuk di atas kepala kami dan pelanggaran kami telah
membumbung ke langit." Kadang-kadang kita merasa tidak layak datang kepada
Tuhan karena dosa-dosa yang telah kita lakukan. Tetapi ironisnya, ada pula saat
di mana kita malah tidak merasa malu dengan dosa kita, seperti yang terjadi
pada anggota Mahkamah Agama saat Stefanus menegur mereka (Kisah Para Rasul
7:51-58). Dosa yang dibiarkan dan dinormalisasi dapat membutakan hati, sehingga
kita tidak lagi menyadari kesalahan yang kita perbuat.
Dalam kehidupan kita
sehari-hari, sering kali kita mengalami pergumulan batin yang serupa. Ada
kalanya kita merasa bahwa dosa kita begitu besar sehingga kita tidak layak
datang kepada Tuhan. Namun, ada juga saat di mana kita malah mengabaikan dosa
dan hidup seakan-akan Tuhan tidak melihat. Inilah kondisi manusia yang
digambarkan dalam firman Tuhan. Namun, harapan kita bukanlah pada kemampuan
kita sendiri untuk menjadi benar, melainkan pada kasih setia Tuhan yang tidak
pernah berubah.
Mazmur 119:121-128
mengajarkan bahwa hidup di hadapan Tuhan tidak ditentukan oleh perbuatan kita
semata. Pemazmur berseru meminta keadilan dan pembebasan dari Tuhan:
"Lakukanlah kepada hamba-Mu ini sesuai dengan kasih setia-Mu, dan
ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku" (Mzm 119:124). Di sini, kita
belajar bahwa ukuran manusia bukanlah kesempurnaan moralnya, melainkan belas
kasihan Tuhan yang dinyatakan melalui Yesus Kristus di kayu salib. Tuhan
memahami kerapuhan manusia, dan karena itu keselamatan tidak bergantung pada
usaha kita sendiri, tetapi pada anugerah dan kasih Tuhan semata. Kita diundang
untuk datang kepada-Nya dengan hati yang hancur dan penuh kerendahan hati,
menyerahkan setiap kegagalan dan dosa kepada-Nya.
Stefanus memberikan
teladan bagaimana seseorang dapat menanti janji Tuhan dengan penuh keyakinan.
Ketika ia dirajam dengan batu hingga mati, ia tidak jatuh ke dalam
keputusasaan, melainkan berseru, "Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku"
(Kisah Para Rasul 7:59). Dunia mungkin melemparkan "batu-batu"
penderitaan kepada kita, tetapi itu tidak akan menjatuhkan kita ke dalam
kebinasaan. Yesus telah menjadi jaminan kita, dan kematian bukanlah akhir,
melainkan awal dari kehidupan kekal. Dalam konteks kehidupan kita, "batu"
itu bisa berupa penderitaan, kesulitan ekonomi, penyakit, atau bahkan
penganiayaan karena iman kita. Namun, dalam semua itu, kita memiliki kepastian
bahwa kita tidak akan pernah ditinggalkan.
Penantian akan
pembebasan Tuhan bukanlah sikap pasif, melainkan penyerahan total kepada
kehendak-Nya. Kita sering kali memiliki bayangan sendiri tentang bagaimana
Tuhan seharusnya bekerja dalam hidup kita. Namun, iman sejati adalah
mempercayai bahwa jalan Tuhan lebih tinggi daripada jalan kita (Yesaya 55:8-9).
Mazmur 119:126 berkata, "Waktunya bagi TUHAN untuk bertindak, sebab mereka
telah merombak Taurat-Mu." Ini adalah pengakuan bahwa hanya Tuhan yang
memiliki kendali penuh atas waktu dan cara pembebasan-Nya. Sebagai manusia,
kita sering kali ingin segera melihat hasil, ingin segera mengalami pembebasan
dari kesulitan. Namun, Tuhan bekerja dalam waktu dan cara-Nya sendiri, yang
selalu lebih baik dari yang kita pikirkan.
Dalam dunia yang penuh
dengan kesesakan, cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan tetap
menatap pekerjaan Tuhan. Kita tidak selalu mengerti rencana-Nya, tetapi kita
dipanggil untuk tetap setia. Yesus berkata, "Di dalam dunia kamu menderita
penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia"
(Yohanes 16:33). Kedamaian sejati bukanlah ketika segala sesuatu berjalan
sesuai keinginan kita, tetapi ketika kita mempercayakan seluruh kehidupan kita
ke dalam tangan-Nya.
Minggu Okuli menjadi
kesempatan bagi kita untuk memperbarui kembali kepercayaan kita kepada Tuhan.
Kita belajar untuk menantikan dengan sabar, dengan penuh kerendahan hati, dan
dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak akan pernah mengingkari janji-Nya. Tidak ada
penderitaan yang sia-sia bagi mereka yang hidup di dalam Tuhan. Setiap
kesulitan yang kita hadapi, setiap air mata yang kita teteskan, semuanya ada
dalam kendali-Nya. Tuhan sedang mengerjakan sesuatu yang lebih besar daripada
yang bisa kita bayangkan.
Di Minggu Okuli ini,
marilah kita menatap kepada Tuhan, menyerahkan diri dengan penuh kerendahan
hati, dan menantikan pembebasan yang telah dijanjikan-Nya. Sebab janji Tuhan
tidak pernah gagal, dan keselamatan yang sejati hanya ada di dalam-Nya. Amin.
Komentar
Posting Komentar