Penderitaan Itu Untuk Kemuliaan Tuhan (Refleksi Khotbah Minggu GBKP 30 MARET 2025 – Yohanes 12:27-36)

 


Seorang anak kecil duduk di lantai ketika listrik padam. Ia menatap lilin yang menyala di hadapannya, lalu tiba-tiba berkata, “Mama, lilinnya menangis.” Ibunya tersenyum, mengelus kepalanya, dan berkata, “Ya, sayang. Tapi tangisan lilin itulah yang membuat kita bisa melihat dalam gelap.”

Anak itu mungkin belum memahami bahwa lilin yang meleleh adalah harga yang harus dibayar untuk menghadirkan terang. Begitu pula dengan penderitaan—kita sering melihatnya hanya sebagai kesakitan dan kehilangan tanpa menyadari bahwa di baliknya ada sesuatu yang lebih besar. Kita bertanya, “Mengapa aku harus mengalami ini?” tanpa menyadari bahwa Allah sering kali memakai penderitaan untuk menghadirkan kemuliaan-Nya.

Dalam Injil Yohanes 12:27-36, Yesus menghadapi saat-saat menjelang penderitaan-Nya di kayu salib. Namun, yang menarik adalah bagaimana Dia memandang penderitaan itu. Ia tidak berusaha menghindar atau mengeluh, tetapi justru berkata, “Sekarang jiwa-Ku terharu, dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab itulah sebabnya Aku datang ke dalam saat ini.” (Yohanes 12:27). Yesus melihat penderitaan sebagai bagian dari rencana Allah. Bagi-Nya, salib bukanlah kehancuran, tetapi jalan menuju kemuliaan.

Penderitaan Yesus dan Maknanya bagi Kita

Minggu Letare, yang berarti “Lihatlah,” merupakan peringatan di tengah masa Prapaskah untuk melihat harapan dalam penderitaan. Kata ini mengingatkan kita bahwa penderitaan bukanlah akhir, tetapi bagian dari rencana keselamatan. Yesus menunjukkan bahwa penderitaan bisa menjadi alat untuk memuliakan Allah.

Namun, sering kali kita sulit memahami hal ini. Saat menghadapi kesulitan, kita cenderung melihatnya sebagai hukuman atau tanda bahwa Tuhan meninggalkan kita. Kita mungkin bertanya, “Mengapa aku harus mengalami ini? Apakah Tuhan masih peduli?”

Yeremia juga pernah merasa demikian. Dalam Yeremia 20:14, ia berkata, “Terkutuklah hari aku dilahirkan! Janganlah diberkati hari ketika ibuku melahirkan aku!” Kata-kata ini menunjukkan betapa berat penderitaan yang ia alami. Yeremia adalah nabi yang setia, tetapi ia tetap mengalami penolakan, penderitaan, dan kesepian. Dalam keputusasaan, ia merasa seolah-olah hidupnya tidak memiliki tujuan.

Bukankah kita juga pernah merasa seperti Yeremia? Ketika doa kita seolah tidak dijawab, ketika kita menghadapi kegagalan, atau ketika kita kehilangan orang yang kita kasihi—kita bertanya, “Di manakah Tuhan?”

Namun, di sisi lain, Maria, ibu Yesus, memberikan respons yang berbeda. Ketika ia dipilih untuk mengandung dan melahirkan Sang Juruselamat, ia juga menghadapi kesulitan dan ketidakpastian. Namun, ia tetap percaya dan berkata, “Sebab Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.” (Lukas 1:49). Maria tidak memandang penderitaannya sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari karya Allah.

Bagaimana Kita Memahami Penderitaan dalam Terang Kemuliaan Tuhan?

1.      Penderitaan Bukan Akhir, Tetapi Proses

Yesus menunjukkan bahwa penderitaan bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju sesuatu yang lebih besar. Ketika kita mengalami kesulitan, kita perlu bertanya, “Apa yang Tuhan ingin ajarkan kepadaku melalui ini?”

2.      Mengandalkan Tuhan Sebagai Pilot Hidup Kita

Bayangkan seorang pria yang pertama kali naik pesawat dan panik saat mengalami turbulensi. Ia meremas sandaran kursi dengan wajah pucat, sementara di sebelahnya seorang anak kecil tetap tersenyum dan menikmati perjalanan. Pria itu bertanya, “Kenapa kamu tidak takut?” Anak itu menjawab, “Papa saya pilotnya.”

Ketika kita tahu siapa yang mengendalikan hidup kita, kita bisa menghadapi penderitaan dengan lebih tenang. Tuhan tidak pernah membiarkan kita berjalan sendirian. Ia selalu memegang kendali, meskipun kita tidak selalu mengerti rencana-Nya.

3.      Mencari Kemuliaan Tuhan dalam Setiap Keadaan

Yesus berkata dalam Yohanes 12:28, “Bapa, muliakanlah nama-Mu!” Ini adalah doa yang luar biasa, karena Yesus tidak meminta kelepasan dari penderitaan, tetapi meminta agar Allah dimuliakan melalui penderitaan-Nya.

Bagaimana jika kita juga mulai berdoa seperti itu? Daripada terus bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?” kita bisa bertanya, “Bagaimana aku bisa memuliakan Tuhan melalui situasi ini?”

4.      Penderitaan Mengubah Kita Menjadi Pribadi yang Lebih Kuat

Seperti lilin yang meleleh untuk memberikan terang, penderitaan bisa membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih dewasa dalam iman. Kita bisa melihat contoh dalam kehidupan para rasul yang mengalami banyak penderitaan, tetapi tetap setia sampai akhir.

Mengubah Cara Pandang Kita terhadap Penderitaan

Penderitaan sering kali terasa berat, tetapi jika kita melihatnya dalam terang iman, kita akan menemukan makna yang lebih dalam. Kita tidak perlu menghindari penderitaan atau merasa bahwa hidup kita berakhir ketika kita mengalaminya. Sebaliknya, kita bisa melihatnya sebagai kesempatan untuk semakin dekat dengan Tuhan.

Seorang guru pernah berkata kepada murid-muridnya, “Kalian ingin menjadi emas yang berkilau atau besi yang berkarat?” Murid-muridnya bingung dan bertanya apa maksudnya. Guru itu menjelaskan, “Emas harus melewati api agar semakin murni, sedangkan besi yang tidak pernah diproses akan berkarat dan rapuh.”

Demikian pula dengan kita. Jika kita menghindari penderitaan atau terus meratapinya, kita seperti besi yang berkarat. Tetapi jika kita mau percaya bahwa Allah sedang membentuk kita melalui penderitaan, kita akan menjadi seperti emas yang semakin bersinar.

Yesus telah memberikan teladan bagi kita. Ia tidak menghindari salib, tetapi memeluknya sebagai jalan menuju kemuliaan. Kita pun dipanggil untuk melihat penderitaan dengan cara yang baru—bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai bagian dari rencana Allah.

Jadi, ketika penderitaan datang, apakah kita akan mengeluh seperti Yeremia, atau memilih percaya seperti Yesus dan Maria?

Pilihan itu ada di tangan kita.

Komentar