![]() |
Pendahuluan
Perjalanan misionaris
Hendrik Cornelis Kruyt ke Tanah Karo pada akhir abad ke-19 tidak bisa
dilepaskan dari lanskap politik dan ekonomi kolonial di Sumatra Timur. Ketika
ia menapakkan kaki di Pelabuhan Belawan pada 18 April 1890, Kruyt tidak hanya
memasuki ladang misi yang baru dan asing, tetapi juga sebuah dunia yang sudah
terlebih dahulu dikuasai oleh kekuatan ekonomi kolonial: Deli Maatschappij.
Pertanyaan sederhana seperti "di mana HC Kruyt menginap?" justru
membawa kita pada jaringan kompleks antara kekuatan kolonial, struktur adat
lokal, dan idealisme misionaris yang seringkali berhadapan langsung dengan
realitas imperialisme.
Latar Belakang
Kolonial: Deli Maatschappij dan Kesultanan Deli
Didirikan pada tahun
1869 oleh Jacobus Cremer, Deli Maatschappij (DM) adalah simbol kapitalisme
kolonial Hindia Belanda di Sumatera Timur. Perusahaan ini dibentuk untuk
mengeksploitasi tanah subur Deli demi produksi tembakau yang sangat diminati
pasar Eropa. Pendirian DM memanfaatkan peluang dari Undang-Undang Agraria 1870,
yang membuka pintu lebar bagi investasi swasta Eropa di wilayah yang dianggap
“tidak dimanfaatkan.”
Dalam praktiknya,
Kesultanan Deli menjadi perantara legalitas yang memungkinkan DM memperoleh
konsesi tanah. Sultan memberikan izin penyewaan atas ribuan hektar lahan,
termasuk yang secara adat dimiliki masyarakat Karo Sinembah. Proses ini tidak
hanya memperkuat posisi sultan secara politis, tetapi juga mempercepat
marginalisasi tanah adat. Lahan yang awalnya digunakan secara kolektif oleh
masyarakat adat berubah menjadi tanah konsesi yang didominasi perusahaan asing.
Ekspansi Perkebunan dan
Pengaruh terhadap Masyarakat Adat Karo
Deli Maatschappij pada
akhir abad ke-19 telah berkembang menjadi kekuatan ekonomi dominan. Pada tahun
1871, DM menyewa 7.588 bahu tanah dari Sultan Deli. Luas ini bertambah menjadi
lebih dari 31.563 bahu pada tahun 1889 (1 bahu = ±7.096,50 m²). Salah satu
wilayah strategis yang menjadi pusat produksi tembakau adalah Sei Belumai, di
mana Firma Naeher & Grob beroperasi. Perusahaan ini mendapat keuntungan
besar dari lokasinya yang dekat sungai sebagai jalur logistik alami.
Namun, keberhasilan
bisnis ini dibangun di atas perubahan ekologis dan sosial yang drastis.
Komunitas Karo Sinembah, yang selama ini hidup dari sistem agraris subsisten
dan struktur adat yang kuat, terdesak oleh ekspansi perkebunan. Tanah mereka
dirampas melalui konsesi sepihak dan banyak dari mereka terpaksa bekerja
sebagai buruh dalam kondisi yang eksploitatif. Sistem ekonomi kapitalistik
kolonial menggantikan kemandirian agraris yang telah lama menjadi tumpuan
kehidupan Karo.
Kedatangan Kruyt:
Idealisme di Tengah Kapitalisme
Dalam konteks inilah,
Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) mengutus Hendrik Cornelis Kruyt ke Tanah
Karo. Awalnya, Kruyt menolak tugas tersebut karena keberatannya terhadap
hubungan antara misi Kristen dan kapitalisme kolonial. Ia secara eksplisit menyatakan
penolakannya terhadap industri tembakau dan ketergantungan lembaga misi
terhadap kekuatan ekonomi kolonial.
Setelah negosiasi
panjang, Kruyt akhirnya menerima tugas ini dengan syarat: ia tidak akan menjadi
agen perusahaan atau pemerintah kolonial, dan akan bertugas secara independen
di bawah NZG. Maka pada 18 April 1890, bersama asistennya, Nicolas Pontoh, Kruyt
tiba di Belawan—gerbang timur laut Sumatra yang saat itu menjadi pelabuhan
utama Hindia Belanda.
Dimana Kruyt Menginap?
Antara Rumah Kontrolir dan Wilayah Perkebunan
Banyak yang
bertanya-tanya: di mana Kruyt pertama kali tinggal setelah tiba di Deli?
Catatan sejarah menyebutkan bahwa sebelum melakukan penginjilan di pedalaman,
HC Kruyt sempat menginap di Rumah Kontrolir (Controleurshuis), yang merupakan
tempat tinggal pejabat Belanda yang mengawasi kegiatan administrasi dan ekonomi
kolonial di daerah tersebut. Rumah ini biasanya terletak di tengah kompleks
perkebunan besar, termasuk wilayah sekitar Medan, Deli Tua, dan kawasan
industri tembakau lainnya.
Secara geografis,
kemungkinan besar ia menginap di wilayah Sei Belumai yang kala itu merupakan
jalur strategis menuju Buluh Awar—lokasi misi Kruyt selanjutnya. Dibandingkan
dengan jalur Sibolangit, perjalanan melalui Sei Belumai lebih efisien karena
didukung infrastruktur perkebunan dan sungai yang navigabel. Hal ini memberi
indikasi bahwa—ironisnya—Kruyt, yang sangat kritis terhadap industri tembakau,
memulai pelayanannya dari wilayah yang paling dipengaruhi oleh industri
tersebut.
Paradoks Misi: Melayani di Tengah Sistem yang Ditentang
Kruyt menghadapi dilema
besar. Di satu sisi, ia ingin membawa pesan Injil kepada masyarakat Karo dengan
semangat pelayanan murni, tanpa afiliasi kolonial. Di sisi lain, ia hidup dan
bekerja di bawah bayang-bayang struktur kolonial yang sangat dominan. Masyarakat
Karo, yang sudah terbiasa melihat misionaris sebagai bagian dari mesin
kolonial, menyambut Kruyt dengan kecurigaan. Bagi mereka, agama Kristen tidak
berbeda dari tembakau atau militer: alat penjajahan.
Setelah dua tahun
pelayanan yang berat tanpa hasil yang berarti, Kruyt akhirnya memutuskan mundur
dari ladang misi pada 1892. Ia melanjutkan studi kedokteran di Swiss dan tidak
pernah kembali. Meski demikian, tanggal 18 April 1890 tetap dikenang sebagai hari
kelahiran Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)—sebuah lembaga gerejawi yang kelak
memainkan peran penting dalam dinamika agama dan budaya masyarakat Karo.
Penutup: Refleksi atas
Lokasi dan Sejarah
Pertanyaan mengenai
tempat menginap HC Kruyt bukanlah sekadar detail biografis. Ia membuka tabir
kompleksitas antara kolonialisme, kekuasaan lokal, dan idealisme keagamaan.
Bahwa Kruyt mungkin tinggal di tengah perkebunan yang ia benci menjadi simbol
ironi sejarah kolonial: tidak ada ruang yang benar-benar netral ketika kuasa
ekonomi dan politik mengatur ruang hidup masyarakat.
Namun dari tempat
itulah pula, benih kekristenan pertama kali ditabur di Tanah Karo. Dan dari
kegagalan awal misi Kruyt, muncul gereja lokal yang tumbuh dengan karakter dan
dinamika sendiri—sebuah warisan yang melampaui kompromi dan konflik awal yang
melahirkannya.
Pertanyaan terakhir, selama Kruyt menginap “Apa yang dia lakukan ya?”
Refrensi yang layak
untuk ditelusuri
Referensi
- H. van den Doel, De Stille
Macht: Het Europese bestuur op Java en de Achtergronden van de
Indonesische Revolutie, Amsterdam University Press, 1994.
- George Kahin, Nationalism and
Revolution in Indonesia, Cornell University Press, 1952.
- Arsip Kolonial Hindia Belanda:
Kontrak tanah Deli Maatschappij dengan Kesultanan Deli (1871–1889)..
- Deli Planters Vereniging, Verslag
over de Ontwikkeling van de Tabaaksondernemingen in Deli, 1890–1895.
- Surat pribadi HC Kruyt kepada NZG,
1889–1892 (disimpan di Arsip Misi NZG, Utrecht)
Komentar
Posting Komentar