Kami Hanya Alat, Allah yang Berkarya": Refleksi Bersama Pdt. Seth Peranginangin tentang Visi Diakonia GBKP dalam Arus Global Oleh: Aron Ginting Manik, S.Si Teol C,CM
Ada banyak cara untuk
memahami arah sebuah gereja: melalui dokumen-dokumen visi, laporan tahunan,
atau strategi programatik. Tapi bagi saya, salah satu cara paling jujur adalah
melalui kisah hidup pelayan-pelayan Tuhan yang diam-diam terus menabur kasih di
medan nyata. Itulah mengapa saya merasa percakapan ini menjadi sangat penting.
Wawancara ini lahir
dari sebuah proses panjang: hampir satu dekade menyaksikan bagaimana Pdt. Seth
Peranginangin, lewat dua inisiatif yang dirintisnya—Melumbar Man Teman
(MMT) dan Tim Berita Simeriah—konsisten menghidupi diakonia sebagai
tindakan, bukan sekadar wacana. Dari pelayanan tanggap bencana, pendampingan
kelompok rentan, edukasi publik, hingga jaringan solidaritas lintas jemaat, MMT
dan Tim Berita Simeriah menjadi wajah lain dari gereja yang bergerak dalam sunyi.
“Kami memang bukan
lembaga resmi gereja,” ujar Pdt. Seth membuka pembicaraan, “tapi kami ingin
menghadirkan wajah GBKP yang merespons cepat, hadir nyata, dan tidak menunggu
birokrasi. Itulah kenapa kami berjalan dengan prinsip ‘melumbar’—membagi dari
apa yang ada, bukan dari apa yang cukup.”
Di sebuah sore yang
tenang, saya berkesempatan duduk berbincang dengan Pdt. Seth Peranginangin,
sosok yang telah lama bergumul dalam merumuskan arah dan jati diri Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP) dalam semangat pelayanan diakonia. Percakapan kami mengalir
dari kerangka teologis yang dalam hingga kenyataan konkret pelayanan di tengah
dunia yang terus berubah. Dari sana, saya menyadari bahwa di balik dokumen
programatik yang disusun, tersembunyi sebuah keresahan iman dan harapan yang
membara: bagaimana gereja menjadi rumah yang benar-benar hadir bagi
dunia.
“Kita harus kembali
melihat jemaat bukan sekadar objek pelayanan, tetapi subjek utama dari misi
Allah,” kata Pdt. Seth membuka pembicaraan. “Itu sebabnya kita menyebutnya
sebagai keluarga Allah dalam persekutuan dengan Allah Trinitas. Bukan
hanya kawan sekerja.”
Melampaui Struktur:
Menyentuh Hati dan Realitas
Ia menjelaskan bahwa
reformasi visi diakonia GBKP lahir dari kesadaran akan perlunya gereja
menanggalkan pendekatan yang terlalu institusional dan menggantinya dengan yang
lebih relasional dan kontekstual. “Kita tidak bisa hanya membanggakan gedung
atau sistem. Di tengah dunia postmodern yang sangat cair dan kompleks, gereja
harus menjawab kebutuhan manusia yang konkret.”
Visi itu bukan hanya
tentang apa yang dilakukan, tapi bagaimana dan mengapa. Di
sinilah GBKP menyusun ulang pendekatan diakonia ke dalam empat bentuk:
karitatif, reformatif, transformatif, dan inovatif.
“Misalnya, food bank
itu bukan sekadar bagi-bagi sembako. Tapi bagaimana itu bisa menjadi simbol
solidaritas. Kita menekankan bahwa yang memberi dan menerima ada di posisi
setara—sama-sama anggota tubuh Kristus.”
Diakonia yang Bergerak
Bersama Dunia
Pdt. Seth juga
menekankan pentingnya ekumenisme dan keterlibatan dalam gerakan global seperti
World Council of Churches (WCC). “GBKP bukan gereja yang hidup dalam gelembung.
Kita ini bagian dari tubuh Kristus yang universal. Kita harus hadir di meja
perjamuan global, bukan sebagai penonton, tapi sebagai rekan seperjalanan.”
Keterlibatan dalam
inisiatif seperti Pilgrimage of Justice and Peace dan gerakan keadilan
iklim bukan sekadar ikut-ikutan tren global, melainkan respons iman atas
tantangan zaman. “Ketika bumi merintih, gereja tidak bisa tinggal diam. Kalau
Yesus saja menangis bersama yang menderita, masakan kita tidak?”
Dari Lembaga ke
Kehidupan: Reformasi dari Dalam
Momen yang menyentuh
saya adalah ketika ia berbicara tentang reformasi unit-unit diakonia GBKP,
seperti YKPD, PAK Gelora Kasih, hingga PPOS. “Saya percaya lembaga-lembaga ini
bukan hanya tempat kerja, tapi tempat kita belajar hidup sebagai tubuh Kristus.
Bahkan dalam pelayanan kepada lansia atau penyandang disabilitas, kita sedang
membentuk spiritualitas komunitas.”
Ia menceritakan
bagaimana semangat mediate khas Karo—rasa simpati dan empati—menjadi
landasan praksis yang tidak tertulis tapi nyata. “Itu bagian dari kekayaan
lokal kita yang harus dijaga dalam setiap program. Jangan sampai pelayanan jadi
terlalu teknokratis dan kehilangan jiwanya.”
Gereja yang Menyatu
dengan Kehidupan
Saat ditanya tentang
masa depan diakonia GBKP, Pdt. Seth menegaskan bahwa gereja perlu terus
bertumbuh menjadi gereja yang responsif dan relevan. “Saya bayangkan gereja
yang tidak takut berinovasi, tapi tetap setia pada akar kasih. Gereja yang bisa
bicara soal teknologi, lingkungan, keadilan, dan kesehatan—tanpa kehilangan
identitas sebagai tubuh Kristus.”
Penutup percakapan kami
terasa seperti doa. “Kami ini hanya alat,” ujarnya lirih. “Allah yang berkarya
melalui gereja. Tugas kita hanya taat dan berani hadir.”
Refleksi Penulis:
Komentar
Posting Komentar