“Yesus Masuk ke Kota Yerusalem - Matius 21:1-11” Refrensi Tambahan Khotbah Minggu Palmarum di GBKP 13 April 2025
Bayangkan sebuah kota
yang dipenuhi gegap gempita. Warga tumpah ruah ke jalanan, anak-anak
melambai-lambaikan ranting daun palem, dan orang-orang dewasa menghamparkan
jubah mereka di jalan yang akan dilalui oleh seseorang yang mereka sambut
dengan penuh harap. Sorak-sorai "Hosana bagi Anak Daud!" menggema di
udara. Namun di tengah kemeriahan itu, ada satu sosok yang tampak tenang dan
lembut, menunggang seekor keledai—bukan kuda perang. Ia tidak membawa senjata,
tetapi damai. Ia tidak datang untuk naik takhta, tetapi untuk menempuh salib.
Dalam Matius 21:1–11,
Yesus dengan sadar dan simbolik sedang menggenapi nubuat Zakharia 9:9–10. Sang
Raja datang, bukan sebagai penakluk dunia, tetapi sebagai penebus jiwa. Dalam
bahasa simbol, keledai adalah lambang kedamaian, bukan agresi. Maka ketika Yesus
memilih keledai, Ia sedang menantang dan membalikkan seluruh struktur nilai
yang dijunjung tinggi oleh dunia pada masa itu—dan juga masa kini.
Peristiwa masuknya
Yesus ke Yerusalem adalah momen penuh makna yang mengajarkan bahwa pengorbanan
yang dijalani dengan tujuan mulia dapat melampaui penderitaan. Salib menjadi
lambang dari penderitaan yang tidak sia-sia. Ini adalah undangan bagi manusia untuk
menemukan makna bahkan dalam pengalaman hidup yang paling sulit. Maka, parade
ini bukan sekadar perayaan; ini adalah pelajaran spiritual dan psikologis bahwa
kemuliaan sejati lahir dari kerelaan untuk menderita demi kebaikan yang lebih
besar.
Namun realitasnya,
Yerusalem yang menyambut dengan sorak itu juga adalah kota yang menolak. Dalam
Matius 23:37–39, Yesus meratap karena kota itu tidak mau dikumpulkan di bawah
sayap-Nya. Dalam kacamata psikologi sosial, fenomena ini menunjukkan
betapa kuatnya tekanan kolektif dan bias kognitif dapat mengubah opini publik
dengan cepat. Dalam hitungan hari, “Hosana” berubah menjadi “Salibkan Dia!”
Psikologi menjelaskan bahwa manusia sering mengalami dissonance cognitive—ketegangan
antara apa yang diyakini dan kenyataan yang dihadapi. Ketika Yesus ternyata
tidak sesuai dengan harapan mereka sebagai Mesias yang membebaskan secara
politis, mereka pun menolak-Nya.
Sementara Wajah Yesus
yang masuk ke Yerusalem adalah wajah kasih yang lemah lembut, yang mengundang
tanggapan etis dari manusia. Tapi Yerusalem, sebagaimana kita juga sering
melakukannya, memilih untuk tidak bertanggung jawab. Mereka menutup mata pada
wajah yang mengasihi mereka. Levinas menyebut ini sebagai kegagalan mendalam
manusia untuk mendengar panggilan moral dari keberadaan yang lain.
Namun cerita tidak
berakhir di sana. Yeremia 31:12 mengumandangkan janji pemulihan: “Mereka akan
datang dan bersorak-sorai... jiwa mereka akan seperti taman yang diairi dengan
baik.” Dalam bahasa psikologi positif, ini berbicara tentang pemulihan batin dan
potensi pertumbuhan pasca-trauma (post-traumatic growth). Dari luka
salib Yesus, lahir komunitas yang mengalami penyembuhan dan harapan. Dari
kehancuran Yerusalem yang menolak, Allah tetap menyatakan niat untuk
memulihkan. Di sinilah teologi, psikologi, dan filsafat saling bersentuhan:
bahwa dalam kehancuran, masih ada kemungkinan pembentukan jiwa yang lebih
dalam.
Dalam konteks dunia
kita saat ini, Minggu Palmarum menjadi refleksi yang sangat relevan. Di tengah
masyarakat yang haus akan kekuasaan, pencitraan, dan hasil instan, kita
diingatkan bahwa kebenaran tidak selalu hadir dalam sorak-sorai publik.
Terkadang, justru di dalam langkah sunyi menuju penderitaan dan pengorbananlah,
kita melihat gambaran cinta sejati. Yesus masuk ke Yerusalem bukan untuk
dikagumi, tetapi untuk mati. Dan dari kematian-Nya, lahirlah kehidupan baru
bagi semua.
Kita, seperti
Yerusalem, juga bisa menyambut lalu menolak. Kita bisa menyanyikan “Hosana”
dalam ibadah, tetapi menutup telinga saat Dia memanggil kita untuk mengampuni,
melayani, dan memberi. Namun Sang Raja yang datang dengan keledai itu tetap
sabar mengetuk pintu hati kita, dengan mata yang penuh kasih dan harapan.
Minggu Palmarum, dengan
seluruh narasi teologisnya yang kaya, adalah undangan untuk mengenali kehadiran
Allah dalam kelemahan, untuk mendengarkan suara kasih di tengah keramaian
dunia, dan untuk berani memilih jalan damai di tengah dunia yang penuh kekerasan.
Sebab hanya ketika kita menyambut Raja yang datang dalam kasih dan kerendahan,
jiwa kita akan benar-benar menjadi taman yang diairi dengan baik—tempat damai
dan makna bertumbuh bersama.
Komentar
Posting Komentar